PerempuanWawasan

Kartini dan Dalil tentang Emansipasi Perempuan

Kartini dan Emansipasi Perempuan
Kartini dan Emansipasi Perempuan

Kartini dan Emansipasi Perempuan

Oleh: Dewi Halimah

Kartini adalah perempuan yang berjuang untuk pendidikan kaum perempuan pada zamannya. Ia adalah perempuan yang dinamis dan berjiwa ‘pemberontak’. Kartini menjadi simbol gerakan perempuan di Indonesia. Hari lahirnya, 21 April, selalu dirayakan sebagai hari emansipasi perempuan. Pada 1969, Kartini disebut sebagai seorang “Pahlawan Nasional”.

Perjalanan Hidup

Kartini lahir di Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, sebuah daerah di Pantai Utara, pada 21 April 1879 M bertepatan dengan 28 Rabiul Akhir 1308 H. Pada saat kelahirannya, ayahnya masih menjabat sebagai Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Jepara. Ayah Kartini adalah seorang yang berpikiran maju. Ia mengizinkan anak-anak perempuannya mengikuti pendidikan sekolah dasar bersama-sama dengan kakak-kakak mereka. Sesuatu yang luar biasa pada zamannya.

Meskipun demikian, ada saatnya Kartini menjalani hidup dalam pingitan ‘kurungan emas’. Demikian ia menyebut istana ayahnya dalam salah satu suratnya. Sambil menunggu saat dikawinkan dengan laki-laki yang belum pernah dilihat sebelumnya, Kartini memulai surat-menyuratnya dengan beberapa tokoh Belanda yang merupakan representasi dari luapan amarahnya terhadap segala bentuk penghalang aktivitasnya.

Kartini merumuskan idenya dalam beberapa unsur pokok; Pertama, ia memandang pendidikan bagi perempuan sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya. Sebab ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anaknya lebih baik. Kedua, tidak hanya perempuan dari kalangan miskin, bahkan kalangan atas pun harus diberi kesempatan menjadi pencari nafkah sendiri dan mencari pekerjaan yang cocok bagi mereka. Ketiga, poligini harus dihapuskan karena merendahkan martabat kaum perempuan.

Kartini melukiskan masa kecilnya yang penuh diskriminasi antar-anak selir ayahnya dengan nada pedih kepada Ny. HG de Booij-Boissevain. Sementara itu, kepada Ny. van Zeggelen Kartini melukiskan pengasuhan dirinya yang dilakukan oleh ‘ibu utama’, sedangkan ibu kandungnya seusai melahirkan pergi dari rumah itu. Kepada Estelle Zeehandellar, Kartini juga menuliskan perasaan marahnya atas diskriminasi para gurunya. Sesudah berhasil mengatasi berbagai kesulitas yang besar, akhirnya ia berhasil membuka sekolah yang pertama untuk para gadis pribumi di pekarangan rumah orang tuanya.

Pada 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, yang sudah mempunyai sekian istri selir dan sekian banyak anak. Dalam suratnya kepada Tuan dan Nyonya Abendanon, Kartini menulis tentang keputusasaannya karena harus menikah dengan seorang laki-laki yang sudah mempunyai beberapa istri.

Akan tetapi, dalam hal lain Bupati Rembang itu berpikiran cukup maju. Ia menyokong cita-cita Kartini, dan mengizinkannya melanjutkan sekolah di Rembang. Agaknya Kartini sendiri mau menerima keadaan yang dihadapinya. Perkawinanya tidak berlangsung lama. Pada tahun 1904, Kartini meninggal dunia pada saat berusia dua puluh lima tahun, saat ia melahirkan.

Meletakkan Makna Emansipasi Kartini dalam Ajaran Islam

Merayakan emansipasi sebagai kontribusi berharga yang telah dilakukan Kartini harus diletakkan dalam maknanya yang benar sesuai ajaran Islam. Islam tidak menghendaki praktik penindasan dalam bentuk apapun. Kesalahan memaknai emansipasi dalam kebebasan semu –penyalahartian pembebasan demi kepentingan yang salah sebagaimana banyak diadopsi dari term Barat yang sebagian telah menyimpang—berarti menyediakan penindasan baru bagi zamannya, dan itu jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Dalam ajaran Islam, kedudukan perempuan diberi penghormatan yang tinggi pada level hukum dan masyarakat. Dalil yang menunjukkan tentang kedudukan tinggi kepada perempuan terdapat pada ayat-ayat al-Quran dan beberapa hadits yang berbicara soal itu. Misalnya, mengenai masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi perempuan hidup-hidup, ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. sangat revolusioner, yakni, “yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik sikap dan perilakunya terhadap kaum perempuan”. Atau pula, “barangsiapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk surga”. Kemudian, “surga itu berada di bawah telapak kaki ibu”.

Baca Juga

Titik Temu Kesetaraan Gender

Dalam catatan sejarah dapat ditelusuri bahwa ajaran Islam telah mengangkat derajat perempuan sama dengan laki-laki dalam sektor hukum, dengan memberikan hak dan kedudukan kepada perempuan yang sama dengan laki-laki sebagai ahli waris mendiang orang tua atau keluarga dekatnya. Hukum Islam pula yang memberikan hak kepada perempuan untuk mempunyai harta atas namanya sendiri. Padahal ketika itu kedudukan perempuan sangat rendah, bahkan dalam masyarakat Arab yang bercorak patrilineal sebelum datang Islam, perempuan mempunyai banyak kewajiban, tetapi hampir tidak mempunyai hak.

Beberapa ayat-ayat al-Quran yang penting adalah: kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam pandangan Allah swt (QS. al-Ahzab [33]: 35; QS. Muhammad [47]: 19). Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (QS. an-Nisa [4]: 4, 32). Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan (QS. an-Nisa [4]: 7).

Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan (al-hadits). Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam kesempatan untuk memutus ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui lembaga fasakh dan khulu’, seperti suaminya zalim, tidak memberi nafkah, gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi kewajibannya, dan lain-lain.

Perempuan adalah pasangan laki-laki; hubungan mereka ada kemitraan, kebersamaan, dan saling ketergantungan (QS. an-Nisa [4]: 1; QS. at-Taubah [9]: 71; QS. ar-Rum [30]: 21; QS. al-Hujurat [49]: 13). QS. al-Baqarah [2]: 187 menyimbolkan hubungan saling ketergantungan itu dengan istilah pakaian; “perempuan adalah pakaian laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian perempuan”. Kedudukan perempuan sama dengan kedudukan laki-laki untuk memperoleh pahala (kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah di dunia (QS. ali-Imran [3]: 195; QS. an-Nisa [4]: 124; QS. at-Taubah [9]: 72). Hak dan kewajiban perempuan-laki-laki, dalam hal tertentu sama (QS. al-Baqarah [2]: 228; QS. at-Taubah [9]: 71), dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS. al-Baqarah [2]: 228; QS. an-Nisa [4]: 11, 43).

Related posts
Berita

Melangkah Menuju Kesetaraan: Antropologi Kampus oleh PK IMM Teknokrat UMG

Gresik, Suara ‘Aisyiyah – Auditorium Universitas Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur menjadi saksi dari upaya Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PK IMM) Teknokrat…
Sosial Budaya

Kerajaan Raja dan Ratu, Bukan Raja dan Babu

Oleh: Lailatul Qoderia Saat ini, segala sesuatu yang terjadi di luar sana sangat mudah dan cepat untuk kita dapatkan, walaupun beberapa informasi…
Perempuan

Kekuatan Era Digital dalam Menggalakkan Emansipasi Perempuan

Oleh: Eva Alisya Febrianti* Gerakan Emansipasi Perempuan Tuntutan persamaan kaum perempuan dengan kaum laki-laki muncul pada abad ke-18 di Barat bersamaan dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *