Oleh: Wawan Gunawan Abdul Wahid
Muhammadiyah adalah ormas Islam yang bertujuan menegakkan ajaran Islam dan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Muhammadiyah berkomitmen untuk menegakkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Di antara ajaran Islam yang terus menerus digelorakan dan diejawantahkan Muhammadiyah adalah ajaran tentang Islam berkemajuan.
Visi Islam berkemajuan yang dipahami Muhammadiyah disemburatkan ke berbagai gerak langkah organisasi. Dari sekian yang menjadi komitmen Muhammadiyah adalah visi perempuan berkemajuan. Visi Muhammadiyah tentang perempuan berkemajuan dapat dilihat pada karya-karya yang dihasilkan Muhammadiyah.
Ahmad Dahlan sebagai Tokoh Penggerak Kemajuan
Diyakini bahwa Kiai Ahmad Dahlan adalah manusia reformis yang gandrung dengan perubahan. Sosok reformis Ahmad Dahlan tidaklah muncul dengan tiba-tiba. Visi berkemajuan yang menghinggapi Ahmad Dahlan berawal dari kebiasannya mempertanyakan berbagai hal yang berada disekitarnya.
Ia pun belajar dengan menyauk pelbagai bacaan dan pengalaman. Ahmad Dahlan membaca berbagai kitab mazhab dan aliran. Sejak dari yang skriptualis hingga yang liberal. Mulai dari aliran Hanbali hingga Hanafi bahkan Mu’tazili. Yakinlah bahwa Ahmad Dahlan adalah manusia pembelajar atau manusia mujaddid.
Baca Juga: Profil Kiai Ahmad Dahlan: Pikiran dan Gerakan yang Melampaui Zaman
Perspektif Mut’tazili yang reformis yang dipelajari Ahmad Dahlan terungkap saat Ia membaca kitab tafsir al-Manar yang lebih lengkap disebut sebagai Tafsir al-Quranil Hakim asy-Syahir bi Tafsir al-Manar yang disusun oleh Sayid Ahmad Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh. Kiranya dari halaman-halaman tafsir inilah manusia Ahmad Dahlan mengambil pelajaran bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah. Yang membadakan keduanya adalah martabat dan kualitas keimanannya.
Dari bacaan itulah Ahmad Dahlan tiba pada simpulan bahwa sebagaimana halnya laki-laki perempuan pun punya kewajiban untuk hadir di ruang publik. Ahmad Dahlan tegaskan bahwa “urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat”. Kalimat yang tampak “biasa-biasa saja” jika dibaca saat ini, tetapi ia menjadi luar biasa pada saat pertama kali diucapkan oleh penuturnya. Sebab dari kalimat tersebut dapat difahami bahwa sebagaimana halnya laki-laki dibebani kewajiban berdakwah maka perempuan pun dikenai beban kewajiban yang sama.
Baca Juga: Benarkah Perempuan Tercipta dari Tulang Rusuk Laki-laki?
Karena itu pada saat yang sama alasan ini mencuatkan satu hal. Yaitu bahwa paham keagamaan Kiai Dahlan sangatlah progresif. Paham dimaksud adalah bahwa Kiai Dahlan meyakini bahwa Islam mengajarkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Karya-karya Muhammadiyah untuk Perempuan Berkemajuan
Muhammadiyah adalah Ormas Islam yang memiiliki pengalaman panjang dalam mendesain berbagai langkah untuk memuliakan perempuan. Langkah-langkah dimaksud, utamanya dapat dibaca dalam berbagai dokumen yang dihasilkan Muhammadiyah. Berikut ini karya-karya terpenting dimaksud:
‘Aisyiyah Momentum Pertama Perempuan Berkemajuan
Di antara karya Muhammadiyah yang sarat dengan ajaran berkemajuan adalah ketika Kiai Ahmad Dahlan mendirikan ‘Aisyiyah pada tahun 1917. Aisyiyah mengasilkan buah karya seperti pendirian taman kanak-kanak yang kemudian dikenal dengan nama Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal.
Tahun 1922 ‘Aisyiyah merintis pendirian tempat salat khusus bagi perempuan di Kauman Yogyakarta dan dikenal dengan nama Musala ‘Aisyiyah. Tahun 1923 ‘Aisyiyah melakukan gerakan pemberantasan buta huruf Arab Latin dengan kegiatan belajar membaca dan menulis, yang salah satu pesertanya adalah Nyai Walidah sendiri.
Tahun 1926 diterbitkan Majalah Suara ‘Aisyiyah. Tahun 1930 ikut serta dalam mengadakan Kursus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan setelah Kongres Pemuda tahun 1928 Tahun 1934 menyelenggarajkan Lomba Bayi Sehat bersamaan dengan pelaksanaan Kongres ‘Aisyiyah ke-26 di Yogyakarta.
Baca Juga: ‘Aisyiyah: Spirit Perempuan Berkemajuan
Visi perempuan berkemajuan yang diwarisi ‘Aisyiyah tampak pada hadirnya dua sosok Siti Hayinah dan Siti Munjiyah. Dua Srikandi ‘Aisyiyah ini terlibat aktif dalam Kongres Perempuan Pertama pada tahun 1928.
Tuntunan Mencapai Istri Islam Yang Berarti
Karya Muhammadiyah untuk visi perempuan berkemajuan terbaca pada upayanya membantu Ibu-ibu ‘Aisyiyah periode awal untuk Tuntunan Mencapai Istri Islam Yang Berarti. Ini adalah buah Kongres ‘Aisyiyah ke-26 yang dilangsungkan di Yogyakarta. Karya ini jika tidak dibaca secara menyeluruh terkesan sebagai karya biasa yang hanya menginformasikan tuntunan bagi warga ‘Aisyiyah khususnya dan perempuan Muslimah pada umumnya. Pengantar dokumen ini menerankan bahwa:
Aisjijah sebagai salah satoe pergerakan kaoem iboe di Indonesia jang berasas Islam, bahagian dari Persjarikatan Moehammadijah, dengan tidak mengoerang-ngoerangkan akan gerakan dan oesahanja didalam mentjapai maksoednja, poen mengharapkan kepada kaoem iboe oemoemnja dan Moeslimat choesoesnja serta Aisjijah achasnnja soepaja sedikit-sedikitnja berboeat dan setidak-tidaknja bersifat sebagaimana jang berboeat dalam boekoe “Toentoenan” ini, jang mana sekarang dikobar-kobarkan dan telah dipoetoeskan didalam Congres.
Secara garis besar Tuntunan Istri Islam yang Berarti memuat dua belas poin penting. Kedua belas poin penting tersebut adalah: (1) memelihara rumah tangga suaminya; (2) menggembirakan suaminya; (3) menurut perintah suaminya; (4) menjaga kesucian dirinya dan rumah tangganya; (5) mengasuh (momong) anak-anaknya; (6) membantu suami dalam mendidik anaknya; (7) menutup rapat auratnya; (8) tidak bertingkah (berlagak-lagu) yang tidak patut; (9) tidak bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya; (10) kalau bepergian menetapi putusan Majelis Tarjih; (11) tetap tinggal di rumah dan jika keluar tidak sebagai perempuan jahiliyah; (12) berbuat baik kepada sanak kerabat, besan, dan pelayan.
Bagian yang sangat berkemajuan dari tuntunan ini adalah dimuatnya dalil tentang tatacara bepergian yang dicantumkan secara utuh. Itu disajikan dalam bagian sepuluh tuntunan. Yaitu kalau bepergian supaya menetapi putusan Majelis Tarjih. Dalil dimaksud adalah: “tidak halal bagi perempuan bepergian sehari kecuali dengan mahramnya.”
Bahwa Nabi saw. melarang perempuan bepergian perjalanan dua hari atau dua malam kecuali beserta suaminya atau mahramnya. Dalil tersebut di atas terkesan melarang perempuan melakukan perjalanan yang lebih dari dua hari kecuali disertai mahramnya. Lalu bagaimana dengan para istri yang melakukan perjalanan lebih dari dua hari dua malam baik untuk tugas atau perjalanan demi tunaikan kewajiban agama?
Baca Juga: Atiyatul Ulya: Potret Perempuan Berkemajuan pada Masa Nabi
Tuntunan ini menjawab bahwa “perempuan boleh bepergian perjalanan sehari ke atasnya dengan seorang dirinya kalau untuk keperluan syara’ serta aman”. Tuntunan ini mendasarkan argumennya pada Hadis riwayat Bukhari dari Adiy bin Hatim. Hadis ini menegaskan bahwa Adiy menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seorang perempuan yang menaiki unta sendirian. Ia tidak ada rasa takut kepada siapapun selain kepada Allah. Ia tunaikan thawaf sendirian dan seterusnya.
Ini berarti bahwa karya Muhammadiyah yang bertajuk Tuntunan Mencapai istri Islam yang Berarti secara implisit telah menuntunkan bahwa secara substantif persoalan mahram itu adalah adanya rasa aman yang dirasakan perempuan.
Putusan ini penting dikemukakan untuk menjawab pandangan sebagian kalangan Muhammadiyah yang berpendapat bahwa perempuan yang lakukan perjalanan lebih dari dua hari dua malam mesti disertai mahram. Pandangan ini tentu saja dapat menyulitkan mereka melakukan perjalanan hingga berhari-hari berminggu-minggu bahkan hingga berbulan-bulan hinga masuk tahunan jika itu dikaitkan dengan seorang perempuan yang hendak malanjutkan studinya di luar negeri tanpa disertai mahramnya.
Adabul Mar’ah fil Islam
Berselang tiga puluh tujuh tahun Muhammadiyah menghasilkan karya sangat penting yang bertajuk Adabul Mar’ah fil Islam, Etika Perempuan dalam Islam. Karya ini dihasilkan Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Garut tahun 1976.
Bagian terpenting dari kitab ini adalah dimuatnya prinsip-prinsip musawah, persamaan antara laki-laki dan perempuan. Ini dijelaskan sebanyak dua kali. Pertama ketika tuntunan ini mengantarkan buku ini pada halaman awalnya dan kedua saat menjelaskan hukum perempuan menjadi hakim. Prinsip-prinsip dimaksud adalah:
(1) “Islam memberikan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan, yang artinya masing-masing itu mempunyai hak dan mempunyai kewajiban, walaupun di dalam beberapa hal ada perbedaannya disebabkan perbedaan jenisnya”;
(2) “Di sisi Allah perempuan dan laki-laki masing-masing bertanggungjawab atas perbuatannya tentang amal shalih yang mendatangkan pahala atau perbuatan dosa yang menyebabkan hukuman”.
Dua poin tentang kesetaraan ini penting untuk dikemukakan dengan dua tujuan. Pertama, Tuntunan Adabul Mar’ah fil Islam sejak awal nyata-nyata telah menyajikan prinsip-prinsip kesetaraan yang para ahli disini baru memperbincangkannya pada awal tahun sembilan puluhan.
Kedua, prinsip-prinsip tadi menjadi bingkai para ulama Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam melahirkan beberapa poin ketentuan hukum berkaitan dengan kegiatan perempuan di ruang publik. Yaitu bahwa perempuan diperbolehkan menjadi hakim, terlibat secara aktif dalam panggung politik, terlibat aktif di medan jihad, berkontribusi dalam kancah ilmu pengetahuan dan dunia kesenian.
Wallahu A’lam bish-Shawab.