Filosofi pendidikan Islam yang dibangun oleh K. H. Ahmad Dahlan adalah berkemajuan. Hingga saat ini, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah memiliki banyak amal usaha di bidang pendidikan, di antaranya Taman Kanak-kanak, Madrasah, Pondok Pesantren, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi. Dalam mengembangkan pendidikan itu, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah juga mengupayakan kaderisasi bagi pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah pada masa depan.
Pendidikan di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan keberadaan ulama yang dapat mengarahkan umat. Karena itu, dibentuklah sekolah-sekolah kader ulama Muhammadiyah, seperti Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah serta Pendidikan Ulama tarjih Muhammadiyah (PUTM) putra dan putri. Lembaga pendidikan tersebut berada langsung di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam data sementara Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren Muhammadiyah (LP3M), tercatat ada 344 Pondok Pesantren Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sangat eksis dan diminati oleh para calon santri-santri dan kader penerus Muhammadiyah.
Fahmi Muqoddas, Ketua Badan Pembina Harian Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) berharap agar warga Muhammadiyah-’Aisyiyah membim-bing putra-putrinya menjadi generasi ulama Muhammadiyah-’Aisyiyah ke depan lewat PUTM. PUTM selama ini menampung kurang lebih 200 kader ulama tarjih Muhammadiyah. Dengan dinamika yang ada PUTM berusaha memenuhi kebutuhan ulama-ulama Muhammadiyah di seluruh daerah di Indonesia.
“Pendidikan di PUTM tidak hanya belajar di ruangan, tetapi juga terjun langsung mengabdi ke masyarakat. Kesediaan mengikuti program pengabdian ini menjadi kontrak para calon kader ulama sebelum masuk PUTM,” kata Fahmi saat ditemui redaksi Suara ‘Aisyiyah di kediamannya, Sabtu (14/12).
Selain itu, PUTM juga bekerja sama dengan Universitas Ahmad Dahlan untuk Program Studi S1 Ilmu Hadis dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk Program S1 Pendidikan Agama Islam. Setelah lulus, para santri PUTM melanjutkan pengabdian lagi selama tiga tahun, baru setelah itu mendapat ijazah kelulusan.
Ciri Kader Ulama Muhammadiyah
Lebih lanjut, Fahmi Muqoddas me-ngatakan bahwa memang secara formal lulusan PUTM dapat dikatakan sebagai ulama Muhammadiyah, meskipun menjadi ulama itu juga harus mempunyai jam terbang, tidak cukup hanya empat tahun di PUTM. Mereka bertugas di berbagai daerah, diminta untuk aktif di PCM, PDM, PWM, serta di bidang tarjih dan tajdid. Di sanalah mereka menambah khazanah keilmuannya dan kepiawaiannya dalam bidang hukum tarjih.
Fahmi mengutip ciri-ciri ulama Muhammadiyah, sesuai yang disampaikan Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, yaitu (i) menguasai ilmu-ilmu agama Islam, (ii) menguasai ilmu-ilmu lain untuk memperkaya wawasan dalam berijtihad, (iii) memiliki tingkat kesalehan dan menjadi figur yang dapat menjadi contoh oleh orang-orang di sekitar, umat, dan masyarakat, serta (iv) dapat membaca kitab putih, kitab kuning, dan mengusai bahasa Asing selain bahasa Arab.
Kemampuan tersebut membuat ulama dapat mengetahui perkembangan pemikiran Barat terhadap Islam, yakni memahami pendapat para orientalis tentang Islam. Dengan menguasai kha-zanah yang berbahasa Asing tersebut, wawasan keagamaan ulama itu menjadi up to date serta mampu menjawab persoalan kontemporer. Menurut Fahmi, ulama Muhammadiyah juga tidak dapat dibatasi usia. Mereka yang muda, tetapi memiliki karakter tersebut dapat dise-but sebagai ulama. Para sesepuh yang memiliki karakter tersebut juga dapat disebut sebagai ulama.
Tugas Keluarga Muhammadiyah
Di sisi lain, Fahmi mengakui bahwa minat warga Muhammadiyah untuk menjadi ulama Muhammadiyah masih lebih sedikit dibandingkan dengan minat mendalami ilmu-ilmu lain. Sebagian pihak memilih bidang studi yang menjanjikan kehidupan duniawi dan kehidupan pragmatis yang secara ekonomi menjanjikan. Karena itu, tanggung jawab bidang keulamaan kemudian diserahkan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam tanggung jawab Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Kendala lain dalam mengelola PUTM ialah belum adanya gedung yang tetap. Selama ini PUTM masih mengontrak. Mengingat hal ini, Fahmi kemudian mengutip kata-kata Prof Kuntowijoyo yang pernah mengatakan, Muhammadiyah tanpa ulama itu akan berubah menjadi gerakan pendidikan saja. “Saya mempunyai harapan agar putra-putri dari keluarga Muhammadiyah-‘Aisyiyah itu tidak semua dimasukkan ke perguruan tinggi umum, tetapi harus ada di antara mereka yang dise-rahkan ke PUTM atau dapat diawali dengan menyekolahkan di Mu’allimin dan Mu’allimaat,” harapnya.
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 1 Januari 2020, hlm. 16-17
Sumber ilustrasi : http://www.ziyad.web.id/2014/08/ngapain-ke-putm-pendidikan-ulama-tarjih.html