Oleh: Siti Noordjannah Djohantini
Dakwah yang dilakukan ‘Aisyiyah harus bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan, sebagaimana semangat dasar keagamaan dalam al-Maun. Dakwah ‘Aisyiyah harus membawa kemajuan hidup umat manusia, termasuk mengentaskan masyarakat yang dhu’afa dan mustadh’afin dari ketertinggalan dan ketertindasan, di antaranya masyarakat marjinal.
***
Islam sebagai agama yang membawa risalah rahmatan lil alamin harus didakwahkan sehingga mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Islam sesungguhnya telah menunjukkan bukti sejarah sejak Nabi Muhammad hingga peradaban umat sesudahnya bahwa Islam mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, penindasan, kesewenang-wenangan sosial, dan masalah lainnya yang terjadi di tengah masyarakat.
Prof. Amin Rais menyatakan bahwa melalui Tauhid, Islam tampil sebagai agama keadilan (din al-‘adalah, the religion of justice), yang artinya antara lain membebaskan kaum dhu’afa (lemah) dn mustadh’afin (tertindas). Termasuk dalam membebaskan kaum marjinal, yakni kaum dhu’afa atau mustadh’afin yang mengalami peminggiran atau terpinggirkan dalam kehidupannya.
Keberpihakan ‘Aisyiyah
‘Aisyiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar serta Gerakan Tajdid pada prinsipinya merupakan gerakan untuk mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat. Tujuannya ialah terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, menurut ‘Aisyiyah, terdapat kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, yang mengantarkan umat manusia pada keselamatan di dunia dan akhirat.
Di antara ciri masyarakat yang diidam-idamkan Islam ialah terciptanya keadilan dan kemajuan, termasuk bagi masyarakat yang marjinal sebagai bagian dari masyarakat dhu’afa dan mustadh’afin. Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, ‘Aisyiyah terus berusaha secara tersistem melalui organisasi pergerakan, sehingga kaum marjinal dapat dibebaskan dari beban kehidupannya menuju kondisi yang lebih baik.
Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua dinyatakan bahwa Islam itu agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan (din al-hadharah). Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi.
Karenanya, dakwah yang dilakukan ‘Aisyiyah harus bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan, sebagaimana semangat dasar keagamaan dalam al-Maun. Dakwah ‘Aisyiyah harus membawa kemajuan hidup umat manusia, termasuk mengentaskan masyarakat yang dhu’afa dan mustadh’afin dari ketertinggalan dan ketertindasan, di antaranya masyarakat marjinal.
Masyarakat Marjinal
Masyarakat marjinal adalah masyarakat yang terpinggirkan dari kebijakan-kebijakan pembangunan. Kelompok masyarakat ini menjadi korban kebijakan negara yang tidak berpihak pada mereka, baik secara kultural maupun struktural, yang tersebar di pedesaan maupun perkotaan.
Ketidakberpihakan negara dan pembangunan tersebut semakin memperlemah posisi kelompok ini sehingga berdampak pada ketertinggalan pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik secara luas. Kelompok ini tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana warga negara yang lain dalam mengakses, mendapatkan manfaat, dan berpartisipasi dalam pembangunan yang menguntungkan mereka.
Selain itu, yang disebut kelompok marjinal adalah mereka yang mengalami diskriminasi, eksploitasi, dan pengasingan dalam berbagai aspek lainnya. Dengan demikian, maka kelompok marjinal tidak selalu miskin ekonomi, tetapi sebagian yang terpinggirkan bisa saja karena terpinggirkan secara sosial,-politik dan tidak mau disebut miskin secara ekonomi. Namun, masyarakat miskin adalah kelompok yang termarjinalkan akibat dari berbagai kebijakan yang tidak memihaknya.
Menurut Robert Chamber (1987), pengertiaan masyarakat marjinal sebetulnya sama dengan apa yang disebut deprivation trapatau, yaitu terperangkap kemiskinan yang terdiri dari lima unsur: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur ini sering saling mengikat sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin, dan akhir-akhirnya menimbulkan proses marjinalisasi.
Masyarakat marjinal, secara ekonomi tergolong masyarakat miskin atau tingkat kesejahteraannya masih sangat rendah. Mereka adalah masyarakat yang terpinggirkan dari proses pembangunan, seperti kelompok migran, yakni penduduk yang datang ke kota untuk mengais kehidupan sementara tidak memiliki kemampuan dan keterampilan (unskill labour).
Sebagian besar mereka bekerja pada sektor informal atau berprofesi sebagai buruh, seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung, anak jalanan, buruh (termasuk buruh perempuan), kelompok masyarakat yang tergusur oleh pembangunan, pengemis, gelandangan, dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga kelompok marjinal yang hidup di pedesaan dan pesisir, mereka adalah para petani kecil dan buruh petani, nelayan, dan bahkan masyarakat yang tidak punya alternatif untuk bekerja atau pengangguran. Kelompok marjinal lainnya adalah buruh migran, mereka yang mengadu nasib ke luar negeri sebagai TKI dan TKW yang jumlahnya sangat besar dengan permasalahan yang kompleks.
Masih banyak lagi masalah yang menyangkut kaum marjinal atau dhu’afa dan mustadh’afin di negeri ini, selain karena terpinggirkan secara ekonomi, misalnya lemah akidah, dan akhlak moral, terkucilkan secara sosial, dan lain sebagainya.
(bersambung…)