Oleh: Mita Amelia
Awal tahun 2020, dunia seolah mendapatkan sebuah guncangan yang terasa tidak secara nyata guncangannya, tetapi mampu membuat semua penduduk bumi merasakan akibatnya. Bukan satu atau dua negara saja yang merasakan guncangan tak bertenaga ini, tetapi hampir seluruh bagian peta bumi digambarkan merah yang menandakan betapa daruratnya kondisi dunia yang sudah renta ini.
Guncangan tersebut tidak hadir dalam bentuk gempa ataupun tsunami, bukan pula gunung merapi yang berlomba-lomba mengeluarkan lahar panas dari inti mereka yang seolah menunjukkan siapa yang memiliki lahar paling panas dan menyengsarakan maka dialah gunung paling gagah di bumi. Bukan juga banjir yang dahsyat dan mampu menghanyutkan semua benda mewah hingga sampah yang dimiliki oleh manusia.
Pandemi Covid-19, sebuah kejutan yang mampu membungkam perekonomian dunia, menutup akses pariwisata, merumahkan banyak pekerja, hingga menjadi pembatas antara guru dan muridnya. Wabahnya yang menyebar di mana-mana seolah menjadi momok mengerikan yang tak diinginkan kehadirannya tetapi tak dapat ditolak pula kelancangannya.
Tak ada suka yang tercipta dari hadirnya, yang ada hanya duka menganga yang kian hari menebar berbagai prasangka. Ada yang mengira jika Covid-19 hanya sebuah permainan orang-orang berkuasa semata, ada pula yang percaya dan berlindung diri dari kejaran virus yang hadirnya tak dapat ditangkap mata.
Namun, percaya ataupun tidak nyatanya Covid-19 ini benar-benar merajalela. Kehadirannya membawa bencana dari mulai individu hingga negara. Berbagai kebijakan yang menuai pro dan kontra dibuat untuk menyelamatkan dan melindungi masyarakat dari ganasnya wabah yang melanda. Pembatasan demi pembatasan diberlakukan, kebiasaan baru digalakkan, bantuan-bantuan disalurkan, dan sumber-sumber penghasilan banyak yang dibekukan.
Baca Juga: Pendekatan dan Strategi Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga
Inilah masalah lain yang timbul selain daripada masalah kesehatan. Banyak pekerja yang dirumahkan, banyak kepala rumah tangga yang kehilangan kerja. Terutama rakyat miskin yang bekerja hari itu untuk makan di hari itu, yang tak punya tabungan untuk mencukupi kebutuhan. Tidak bisa ongkang-ongkang kaki menyimak berita pandemi, karena ada anak dan istri yang perlu diberi nasi.
Menerobos aturan membuatnya terkena hukuman, mengharap bantuan tak bisa selalu diandalkan. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh seorang kepala keluarga yang memiliki beban dan tanggungan? Pandemi memang mematikan dan sudah memakan banyak korban. Namun, kelaparan pun tak dapat dilupakan begitu saja.
Berawal dari hilangnya kemampuan untuk memberi makan, menimbulkan masalah baru dalam kerukunan. Perdebatan-perdebatan pasangan menjadi awal kehancuran sebuah fondasi yang selama ini dibina dengan cara yang aman. Bukan rumah yang tak kokoh, bukan pula tangga yang mudah roboh. Namun, keruntuhan rumah tangga banyak keluarga yang disebabkan oleh peliknya masalah ekonomi yang melanda sebagai akibat dari pandemi.
Anak dan istri memilih pergi, kembali pulang ke kampung halaman. Padahal mereka tak mampu menjamin akankah hidup dalam ketercukupan setelah mengalami perpisahan.
Menilik dari tingginya kasus perceraian sebagai akibat lain dari pandemi Covid-19, sudah seharusnya kita membangun sebuah kesadaran jika keluarga adalah tameng berharga yang perlu dijadikan perlindungan walau kehancurannya sangat rentan. Sebuah cobaan yang kini melanda dunia bukan hanya berakibat pada satu atau dua manusia. Semua merasakannya, terbukti dari beritanya yang sampai ke mana-mana.
Dalam keadaan paceklik dengan wabah seperti ini, kekuatan dalam segala hal harus dibangun. Kesehatan yang menjadi modal utama, finansial sebagai bekal, dan keluarga yang selalu menjadi tempat ternyaman. Perekonomian yang jatuh hingga banyak orang tak kebagian makan sudah sepantasnya membuat keutuhan anggota keluarga semakin mengerat. Saling menguatkan satu sama lain dan bukannya saling meninggalkan.
Pergi dan memilih berpisah hanya akan membuat kita menjadi sendiri-sendiri dalam menghadapi pandemi, dan hal tersebut akan jauh lebih sulit untuk dirasai. Berhasil keluar dalam keterpurukan akan mengukir makna yang dalam, tak semua orang bersedia untuk bertahan dalam kesusahan.
Ketika kelaparan mulai menjadi malang dalam keluarga, hal yang patut dilakukan adalah saling bahu membahu. Menguatkan mental satu sama lain, saling berusaha dan membantu sama lain, hingga di kemudian hari merasakan hasil dalam kebersamaan.
Seorang ibu rumah tangga hendaklah menurunkan egonya, melihat suami gagal mendapat upah hendaklah ia menyemangatinya. Mendoakan yang terbaik dan kemudahan jalan bagi suaminya untuk menjemput rezeki. Bahkan kini banyak para istri yang turut mencari nafkah, menutupi lubang-lubang kebutuhan yang tak mampu ditutupi suaminya.
Dan seorang anak, hendaklah ia menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya. Tidak lagi banyak menuntut apalagi di tengah ekonomi yang terimpit pandemi. Senantiasa tidak lagi banyak pinta yang tak berguna, masih bisa membeli kuota untuk sekolah sudah merupakan nikmat yang luar biasa.
Baca Juga: Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga Sakinah
Keluarga dapat bertahan karena adanya kerja sama satu sama lain anggotanya, juga keikhlasan yang senantiasa menghiasi hatinya. Rasa cinta dan kasih sayang yang seharusnya semakin berkembang setelah berenang dalam kesulitan bersama. Saling bergenggam tangan dan menguatkan satu sama lain menjadi kunci dari kokohnya semua keluarga.
Tak ada pohon yang tak diterpa angin, begitu pula keluarga. Jika akarnya kuat maka pohon itu akan tetap berdiri dengan gagah tanpa takut goyah. Sama seperti keluarga, cinta dan kasih sayang yang diciptakan dalam sebuah kebersamaan menjadi akar yang selanjutnya menjadi penguat. Saling merangkai ikatan-ikatan keikhlasan yang akan membuat keluarga tak runtuh walau diterpa badai dan guruh.
Pepatah yang mengataka jika “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” itu benar adanya. Bayangkan saja bagaimana bisa sapu lidi mengumpulkan debu jika ia hanya sendiri?
Sama seperti manusia, berada di tengah-tengah keluarga akan menguatkan diri manusia itu sendiri dari berbagai cobaan dunia. Karena keluarga adalah tempat berbagi kasih juga berbagi kisah. Mulai dari keluh hingga peluh, dari suka sampai duka yang melanda.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya setiap anggota keluarga saling menjaga kebersamaan dan keeratan hubungan keluarga. Pandemi akan berakhir, kisah pilu akan berlalu, dan kesulitan akan segera mudah. Jangan mundur dan hancurkan kebersamaan keluarga karena sebuah kesulitan yang bahkan sama sekali tidak diharapkan oleh semua orang.
Entah itu kepala keluarga, ibu rumah tangga, ataupun anak, semuanya sama-sama mempunyai andil yang besar untuk menjaga kerukunan keluarga. Karena keluarga tak bisa dibangun seorang diri. Dan setiap makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri.
Sebab itu, mari kita sama-sama menjaga dan mempertahankan keluarga kita. Anggaplah pandemi, kesulitan ekonomi, dan semua masalah lainnya yang melanda sebagai penguat rasa dan penguat kebersamaan yang akan menjadi sebuah kenangan bermakna di kemudian hari.
Keluarga adalah rumah paling nyaman dan tepat bagi setiap insan untuk pulang dalam keadaan apa pun: senang ataupun sedih. Menyadari hal tersebut, marilah kita sama-sama menjaga keutuhan keluarga kita dengan segenap keikhlasan yang ada dalam dada. Karena dalam kebersamaan keluarga, semuanya akan terasa lebih indah dan mudah.