“Muhammadiyah perlu menghias diri dengan kebudayaan, dengan pelestarian dan pewarisan, tidak saja dengan kemajuan dan kreativitas. Tidak ada untungnya untuk menanggalkan warisan budaya yang dengan susah payah telah dibangun berabad-abad”. Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2018: 179).
***
Benarkah Muhammadiyah adalah gerakan anti-kebudayaan? Lebih dari seperempat abad yang lalu, cendekiawan Muslim Indonesia Kuntowijoyo telah menjawab pertanyaan itu. Dengan tegas ia menyatakan bahwa Muhammadiyah bukanlah gerakan anti-kebudayaan, tetapi “gerakan kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama”. Muhammadiyah mengganti kebudayaan lama yang berciri pelestarian dan pewarisan dengan kebudayaan baru yang berciri kemajuan dan kreativitas.
Munculnya “tuduhan” terhadap Muhammadiyah itu adalah buah dari kesalahpahaman tentang definisi budaya. Merujuk Koentjaraningrat, Soehadha menjelaskan bahwa apa yang disebut “budaya” sebenarnya punya ruang lingkup yang sangat luas, yang mencakup sistem gagasan, perilaku/tindakan, dan hasil karya manusia. Sayangnya, selama ini makna budaya hanya dikerucutkan ke dalam seni atau tradisi yang sebenarnya merupakan satu unsur saja dari kebudayaan.
Dalam Pengantar Ilmu Antropologi (2002), Koentjaraningrat menyebut ada 7 (tujuh) unsur kebudayaan, yaitu: (a) sistem religi dan upacara keagamaan; (b) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (c) sistem pengetahuan; (d) bahasa; (e) kesenian; (f) sistem mata pencaharian hidup, dan; (g) sistem teknologi dan peralatan. Tujuh unsur itulah yang menurut Soehadha harus dilihat di dalam Muhammadiyah.
Senada dengan tesis Kuntowijoyo, Dosen Antropologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan bahwa Muhammadiyah bukan gerakan yang kering apalagi anti terhadap kebudayaan. Muhammadiyah, kata dia, menempatkan diri sebagai organisasi yang kritis terhadap peradaban, termasuk terhadap budaya lokal dan budaya yang datang dari luar. “Muhammadiyah itu mengambil posisi kritis. Bukan kering, tapi menyaring,” ujarnya ketika dihubungi Suara ‘Aisyiyah.
Semuanya Itu Budaya
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Wening Udasmoro menjelaskan bahwa budaya punya sifat dibuat dan membuat. Artinya, ia tidak sekadar nguri-uri (melestarikan) budaya yang sudah ada, tapi juga mampu membuat budaya baru. “Prosesnya memang dialektik antara yang dibuat dengan yang membuat. Tidak ada yang stagnan. Semuanya bergerak. Maka budaya itu bukan lagi sekadar produk, melainkan on going process,” terang dia.
Wening menerangkan, gerak kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang dan waktu (space and time). Di ruang dan waktu yang berbeda, setiap individu atau masyarakat niscaya punya sistem gagasan, perilaku, dan hasil karya yang berbeda. Bahkan di dalam ruang dan waktu yang sama, perbedaan itu masih sangat mungkin terjadi karena setiap individu punya habitus yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, ia menunjukkan adanya perbedaan antara standar kecantikan perempuan masa kini dengan masa lalu. “Yang disebut perempuan cantik itu beda loh antara sekarang dengan mungkin 20-30 lalu. Dulu yang disebut perempuan cantik mungkin seperti orang Barat, tapi sekarang kan bergeser ke Korea. Makanya sekarang produk kosmetik yang laris itu produk-produk Korea,” papar Wening ketika dihubungi via Zoom oleh Suara ‘Aisyiyah.
Proses pembentukan kebudayaan baru itu, menurut Wening, kini tidak hanya melibatkan subjek-subjek besar seperti pemerintah dan/atau pemimpin. Terutama setelah hadirnya teknologi digital, individu yang dulunya cuma punya peran minor kini menjelma menjadi kekuatan besar di dalam proses gerak kebudayaan. Seorang individu, netizen misalnya, bisa menjadi kekuatan baru yang mengubah budaya masyarakat, mulai dari cara berpakaian, gaya hidup, bahasa, dan lain-lain.
Lebih lanjut, Wening menegaskan bahwa tidak ada identitas budaya yang murni, apalagi di era pelipatan ruang dan waktu saat ini. Setiap kebudayaan selalu berkait kelindan dengan kebudayaan yang lain. “Banyak orang dengan keukeuh ingin mempertahankan identitasnya, seakan-akan itu asli. Tapi pertanyaannya, adakah identitas yang asli? Tidak ada. Semua identitas itu campuran,” katanya.
Kebudayaan Baru
Sebagaimana disinggung di muka, Muhammadiyah–‘Aisyiyah mengambil posisi kritis terhadap budaya yang sudah ada dan yang datang kemudian. Menurut Soehadha, sikap kritis itu patokannya adalah sistem gagasan yang merupakan inti dari kebudayaan. Di dalam konteks kebudayaan Muhammadiyah, sistem gagasan itu adalah tauhid, perilaku/tindakannya adalah amar makruf nahi mungkar, dan hasil karyanya adalah majelis/lembaga/amal usaha.
“Kalau ingin melihat kebudayaan Muhammadiyah ya harus melihat sistem gagasan Muhammadiyah secara keseluruhan. Tidak bisa sekadar melihat hasil karyanya saja. Kebudayaan Muhammadiyah itu ya membumikan tauhid ke dalam kehidupan yang praksis. Jadi sistem gagasan Muhammadiyah itu perubahan ke arah peradaban yang berkemajuan,” paparnya.
Baca Juga: Dakwah Kebudayaan, Tugas Raksasa yang Harus Bisa
Pemikiran dan gerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah, kata Soehadha, sebenarnya sudah mencerminkan sistem gagasan Persyarikatan yang bersumber pada ajaran al-Quran dan sunnah maqbulah. Tauhid yang menjadi inti kebudayaan Muhammadiyah itu lalu diaktualisasikan dalam rangka membentuk peradaban yang berkemajuan. Wujudnya adalah gerakan yang menyentuh aspek kemanusiaan dan mengakomodir kemajuan zaman, seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
Tauhid juga menjadi filter untuk menyaring budaya yang ada. Dengan adanya filter tersebut, semestinya warga Muhammadiyah tidak mudah menyalahkan warisan kebudayaan lama dan pada waktu bersamaan tidak mudah kagum dengan kebudayaan baru. Kata kuncinya adalah kritis dan selektif. “Semua yang lokal itu belum tentu baik, tetapi juga belum tentu buruk. Yang modern dan posmodern juga seperti itu, belum tentu baik dan belum tentu buruk,” ungkap Soehadha.
Hanya saja, banyak warga Muhammadiyah yang tidak menyadari itu, karena selama ini mengikuti definisi yang salah kaprah tentang kebudayaan, misalnya menganggap bahwa budaya (lokal) tidak sesuai dengan ajaran Islam. Implikasinya, aktivitas laku kebudayaan sebagian warga Muhammadiyah menjadi “kering”.
“Kurang jelasnya definisi kebudayaan itulah yang memengaruhi cara pandang warga Muhammadiyah terhadap produk-produk kebudayaan dan bagaimana pandangan orang di luar Muhammadiyah terhadap Muhammadiyah,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ke depan Muhammadiyah-‘Aisyiyah perlu merumuskan konsep kebudayaan yang jelas dan disepakati bersama; konsep kebudayaan Muhammadiyah-‘Aisyiyah itu seperti apa? Arahnya mau ke mana? visi dan misinya apa? strategi branding-nya bagaimana? Dan seterusnya.
Perumusan konsep kebudayaan ini, menurut Wening, bukan dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak kreativitas individu, sebaliknya justru diharapkan dapat menjadi pendorong agar setiap warga ‘Aisyiyah berperan besar di dalam proses kebudayaan dengan segala kreativitasnya. Pada waktu bersamaan, kreativitas individu harus tetap berada di dalam koridor ke-‘Aisyiyah-an.
Perumusan konsep kebudayaan itu menjadi penting agar warga ‘Aisyiyah mantap untuk melakukan proses membuat budaya di dalam ‘Aisyiyah. “Saya yakin di ‘Aisyiyah kan kreativitasnya beda-beda. Itu harus diakomodasi dengan pemikiran kolektif yang kontributif bagi individu di satu sisi, dan individu itu pun ketika berkreasi kontributif terhadap ‘Aisyiyah,” pungkas Wening. (Sirajuddin)