Oleh: Cholifah Syukri
Nama lengkapnya Abdul Ar-Razaq. Putra dari Kiai Fachruddin ini kerap disapa Pak AR. Ia menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1968-1990. Kurang lebih selama 22 tahun ia memegang jabatan tersebut. Bisa dibilang ia adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menjabat dengan durasi paling lama.
Pak AR dikenal sebagai orang yang zuhud. Emha Ainun Najib atau akrab disebut Cak Nun menyebut bahwa Pak AR adalah tipikal orang yang tidak tertarik akan keduniawian. Bagi Pak AR, rezeki, baik berupa harta maupun jabatan adalah hal-hal yang tidak menarik. Jika ia mendapat rezeki berupa uang, maka ia akan segera memberikannya ke masjid-masjid, fakir miskin, dan lembaga dakwah.
Dalam disertasi Masyitoh Chusnan, buku Biografi Pak AR karya Sukriyanto AR, maupun buku Pak AR Sang Penyejuk karya Syaefudin Simon, kezuhudan Pak AR cukup menginspirasi para pembacanya. Ketiga buku tersebut banyak mengupas tentang ketulusan Pak AR yang patut diteladani setiap muslim, khususnya warga Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Menjalin Silaturahmi
Tak hanya terkenal sebagai pribadi yang zuhud, sosok Pak AR juga dikenal hobi bersilaturahmi kepada masyarakat di luar Muhammadiyah. Bagi Pak AR, silaturahmi sudah menjadi bagian hidup kesehariannya. Di mana pun, kapan pun, bahkan saat bertugas resmi pun, ia manfaatkan kesempatan itu untuk mengunjungi banyak orang.
Suatu waktu, pada tahun akhir 1970-an, ketika melakukan kunjungan ke Jawa Timur, termasuk ke Banyuwangi, ia menyempatkan diri untuk menengok sang cucu di Kecamatan Ambulu, Jember. Ia juga menyempatkan berkunjung ke dua keponakannya, putra-putri dari Kiai Dimyati dan Kiai Maksum, yang aslinya berasal dari Wonokromo, Yogyakarta. Mereka telah lama hijrah di Banyuwangi dan mendirikan Pondok Pesantren di daerah Kepundungan.
Baca Juga: Menggali Kebijaksanaan dari Pribadi Zuhud Pak AR
Kebetulan, kedua putri Kiai Maksum dan Kiai Dimyati bertempat tinggal di kampung Silir yang berlokasi tidak jauh dari Ambulu. Kiai Burhan, suami dari keponakannya itu adalah pengasuh dan perintis Pesantren Yaasinat yang dikenal sebagai pesantren anak-anak. Bisa dibayangkan pada tahun itu, fasilitas kendaraan belum semudah saat ini.
Betapa kagetnya sang keponakan yang tiba-tiba dikunjungi paman yang berdomisili di Yogyakarta. Mereka tidak menyangka kedatangan tamu dari jauh yang lama tidak bertemu. Keakraban sesama saudara walau berbeda paham agama, terjalin begitu erat tanpa sekat. Hingga sekarang hubungan keluarga ini terjalin dengan baik.
Menjenguk Orang Sakit
Sekitar tahun 1980-an, Pak AR juga menengok Kiai Sunardi Syahuri yang sering dipanggil dengan Pak Nardi, yang saat itu sedang sakit dan dirawat di RS Bethesda Yogyakarta. Setelah mengobrol beberapa waktu, Pak AR pamitan. Saat itu, Pak Nardi bertanya, “Setelah dari sini, Pak AR mau tindak kemana?” “Setelah dari sini saya akan terus menengok orang-orang yang sakit di Bethesda,” jawab Pak AR.
Pak Nardi penasaran dan bertanya siapa kenalan yang juga sakit dan dirawat di rumah sakit tersebut. “Ya mereka yang sakit di Bethesda ini kan banyak,” respons Pak AR. “Siapa saja mereka? Mereka kan agamanya macam-macam. Apa Pak AR kenal dengan orang-orang yang sakit itu?” jawab Pak Nardi penasaran.
“Mas Nardi, apa yang perlu ditengok itu hanya mereka yang agamanya Islam dan apa harus kenal? Apa ada hadis yang melarang menengok orang Nasrani yang sakit? Apa ada hadis yang melarang menengok orang sakit yang belum dikenal?” ujar Pak AR sambil tersenyum. “Mboten ngertos, Pak AR langkung priksa” (Nggak tahu, Pak AR lebih tahu).
Baca Juga: Muhammadiyah Hadir untuk Kemanusiaan Universal
Selesai pamitan dengan Pak Nardi, Pak AR lantas masuk dari satu kamar pasien ke kamar pasien lainnya sampai jam besuk habis. Agama yang dipeluk para pasien ini pun beragam, ada yang Islam, abangan, Katolik, Protestan, dan lain-lain. Kepada setiap pasien, Pak AR mengenalkan diri sebagai Ketua Muhammadiyah.
Kepada setiap yang ditengok Pak AR bertanya dengan ramah, siapa namanya, tinggalnya di mana, sakitnya apa, sakitnya sudah berapa lama dan seterusnya. Ia meminta mereka untuk sabar dan terus berikhtiar agar segera sembuh. Kepada keluarga yang menunggu, Pak AR juga memintanya agar tetap sabar. Ketika pamit, Pak AR juga mendoakan mereka agar segera sembuh. Begitulah Pak AR yang rajin bergaul, bahkan dengan orang yang sebelumnya tidak ia kenal.
Berdakwah di Tanah Papua
Sekitar tahun 1976, Pak AR bertugas meninjau Muhammadiyah di Papua. Sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, kunjungan resmi ke daerah tentu disambut dengan gembira oleh pimpinan Muhammadiyah setempat. Saat itu, kondisi dakwah Muhammadiyah di Papua masih dalam tahap merintis. Pimpinan Muhammadiyah bersama masyarakat Papua merasa tersanjung dan bersemangat dikunjungi pimpinannya.
Tentu tidak semua adalah penduduk asli Papua. Di antaranya ada yang berasal dari Jawa, Sulawesi, hingga Kalimantan. Semuanya membaur dan menyatu dengan semangat kekeluargaan. Mereka menerima wejangan agama Islam dengan bahasa yang sederhana, mudah, dan mencerahkan. Wejangan itu meningkatkan wawasan keislaman, semangat persaudaraan sesama muslim, dan sebangsa Tanah Air Indonesia.
Di sela-sela kunjungan, Pak AR juga menyempatkan diri untuk mengunjungi penduduk asli suku Asmat di pedalaman. Tekad berdakwah pada suku Asmat merupakan panggilan hati, semata-mata untuk menyampaikan ajaran Islam walau harus melampaui medan perjalanan yang cukup terjal.
Pada saat itu, suku Asmat belum banyak mendapatkan fasilitas pendidikan formal sebagaimana penduduk daerah lain. Mereka juga belum banyak mendapat bimbingan keagamaan. Dengan materi dan bahasa dakwah yang sederhana dan ringan, Pak AR menyampaikan pentingnya kebersihan, kebersamaan, dan persaudaraan. Ia juga mengajak mereka untuk mengenal Tuhan Sang Pencipta sehingga kehidupan masing-masing warga dapat semakin tenang, tentram, aman, dan damai.