Kita mungkin tidak pernah membayangkan bahwa kita akan disuguhi fenomena kekerasan pada anak dan remaja yang kisahnya mengharu biru. Nyawa melayang sia-sia, konflik yang tidak pernah kunjung selesai. Lingkungan di mana kita tinggal menjadi lingkungan yang tidak aman dan nyaman. Pertanyaannya mengapa hal ini bisa terjadi?
Tengok saja kasus meninggalnya siswa SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta yang disebabkan perilaku “klitih” dari beberapa remaja beberapa waktu lalu sangat mengagetkan karena hanya dipicu masalah sangat sederhana. Para pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan mereka telah dijatuhi hukuman antara 3-4 tahun.
Kemudian, tahun 2017 diwarnai kabar duka adanya peristiwa kematian mahasiswa STIP Jakarta dan beberapa lainnya luka-luka akibat kekerasan yang dilakukan oleh seniornya di kampus. Kasus kematian mahasiswa UI yang ditemukan meninggal di danau yang ada di lingkungan kampus tersebut yang sampai saat ini belum terungkap. Pertanyaannya mengapa anak-anak dan remaja semakin banyak terlibat tindak kekerasan dan menjadi korban kekerasan?
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Kasus tertinggi anak berhadapan dengan hukum (ABH) mencapai 1.002 kasus, disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan alternatif 702 kasus, kejahatan anak berbasis siber (cyber crime) 414 kasus, selanjutnya kasus pelanggaran anak dalam pendidikan 328 kasus.
Dibanding dengan tahun 2015 dengan tahun 2016 adalah pergeseran dominasi kasus berdasarkan pengelompokan jenis pelanggaran. Tahun 2015 kasus anak di bidang pendidikan menempati urutan ketiga setelah kasus bidang ABH, keluarga, dan pengasuhan alternatif. Namun tahun 2016, kasus kejahatan berbasis siber (pornografi dan cyber crime) menempati urutan ketiga, baru pendidikan (KPAI.go.id akses 15 Januari 2017)
Kekerasan pada anak dan remaja atau terlibatnya anak dan remaja pada tindakan kekerasan atau kejahatan lainnya, termasuk cyber crime pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor. Negara sendiri sebenarnya sudah melakukan upaya intervensi antara lain melalui UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan UU No 32 Tahun 2002. Pada dasarnya undang-unang ini mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera.
Untuk mencegah cyber crime ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Namun sebuah regulasi sebagus apapun tidak akan mempunyai makna apa-apa apabila dalam implementasinya tidak dilaksanakan dengan baik. Dalam kenyataannya kasus-kasus kekerasan dan kejahatan yang menimpa atau pelakunya anak dan remaja masih terus bermunculan. Berdasarkan kenyataan ini maka memproteksi atau melindungi anak dari korban kejahatan (termasuk cyber crime) dan terjerat dalam tindak kejahatan tidak bisa semata-mata diserahkan pada pemerintah. Keluarga, masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan mempunyai tanggung jawab untuk itu. (berbagai sumber, susi)
Bersambung ke Kekerasan pada Anak dan Remaja: Fenomena Gunung Es (Part 2)
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Februari 2017, Rubrik Idea
Sumber Ilustrasi : https://elshinta.com/news/195405/2019/12/18/ini-jenis-kekerasan-pada-anak-yang-jarang-disadari-orang-tua