Oleh: Sri Handayani
Indonesia masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual pada anak. Sayangnya, mayoritas korban memilih tidak melaporkan kejahatan tersebut. Alasannya mulai dari takut, malu, proses yang rumit, hingga kebijakan yang dianggap tidak ramah terhadap korban.
Padahal, para korban kekerasan seksual setidaknya mengalami tiga dampak sekaligus. Pertama, dampak psikologis. Menurut studi, 79 persen korban kekerasan dan pelecehan seksual akan mengalami trauma yang mendalam. Selain itu, stres yang dialami korban dapat menganggu fungsi dan perkembangan otaknya.
Kedua, dampak fisik. Kekerasan dan pelecehan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Selain itu, korban juga berpotensi mengalami luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.
Ketiga, dampak sosial. Korban kekerasan dan pelecehan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial. Pengucilan ini seharusnya dihindari karena korban pastinya butuh motivasi dan dukungan moral untuk bangkit lagi menjalani kehidupannya.
Salah satu penyebab utama semakin tingginya kasus-kasus kekersan seksual adalah semakin mudahnya akses pornografi di dunia maya, dengan ribuan situs yang sengaja ditawarkan dan disajikan kepada siapa saja dan di mana saja.
Baca Juga: Fenomena Inses: Akar Persoalan, Langkah Preventif, dan Upaya Perlindungan Korban
Rendahnya kontrol yang ketat terhadap situs-situs tersebut ditambah dengan gerakan pendidikan moral dan pendidikan seksual yang kurang efektif di sekolah-sekolah. Demikian juga hukuman yang terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku.
Jika dilihat dalam angka, realitas kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut: setidaknya 1 dari 3 anak perempuan (2 kali lipat sering dilaporkan daripada anak laki-laki), perempuan mengalami kekerasan seksual sebelum usia 18 tahun, dan 1 dari 4 anak perempuan mengalaminya di bawah usia 14 tahun.
Bentuknya sangat beragam. Mulai dari memperlihatkan alat kelamin pada anak, rabaan di wilayah kelamin atau payudara, penetrasi vaginal/anal/oral, atau dipaksa untuk menjadi obyek pornografi.
Pelaku pada umumnya adalah orang-orang terdekat atau yang dikenal korban, misalnya ayah kandung/ayah tiri/paman/kakek/ saudara, kenalan keluarga, ulama/guru, teman yang lebih tua usianya, atau orang asing.
Cara yang biasanya dilakukan adalah dengan bujukan (akan diberi permen/uang), tipuan (pura-pura diajak bermain atau untuk melipur pelaku), atau ancaman maupun paksaan dengan kekuatan fisik.
Pelaku mengeksploitasi ketidakmatangan anak serta belum berkembangnya kemampuan anak untuk memahami apa yang terjadi pada dirinya. Orang tua atau orang dewasa pada umumnya tidak peka dan tidak percaya ketika anaknya mengatakan sesuatu yang menunjukkan ia telah mengalami perlakuan seksual yang tidak semestinya.
Anak dianggap mengkhayal atau mencari perhatian. Ibu yang mengetahui anaknya menjadi korban inses ayah kandung/tiri umumnya menunjukkan sikap yang justru tidak mendukung anak (misalnya cenderung memarahi atau menutup mata/pura-pura tidak tahu).
Sikap serupa ini umumnya merupakan cerminan dari ketidakmampuannya menghadapi rasa tidak percaya yang bercampur dengan kemarahan yang besar pada pelaku, maupun kekecewaan dan rasa bersalah yang luar biasa pada diri sendiri karena tidak mampu menjaga anaknya dengan lebih baik.
Reaksi psikologis yang umumnya terjadi dalam jangka pendek adalah: ketakutan yang bercampur dengan kemarahan, menunjukkan sikap bermusuhan, merasa malu dan bersalah, harga diri yang rendah, cemas, terlalu dini menunjukkan perilaku-perilaku seksual, berperilaku seks berisiko, dan gangguan perilaku (lari dari rumah atau sering bolos).
Baca Juga: Macam-Macam Penyimpangan Seksual
Sementara dampak jangka panjang bila pengalaman kekerasan seksual di masa kecil tidak ditangani dengan baik, besar kemungkinan pada masa remaja atau dewasanya anak akan menunjukkan: kecenderungan depresi, cemas, sulit tidur, gangguan disosiasi dan harga diri yang rendah.
Hal ini terutama terjadi pada mereka yang mengalami inses dari ayah kandung/tiri. Mereka umumnya menunjukkan gangguan perilaku/kepribadian yang lebih berat. Lebih besar kemungkinan bagi mereka mengalami kembali kekerasan seksual, termasuk perkosaan, pada masa remaja/dewasa dibanding mereka yang tidak pernah mengalaminya di masa kecil.
Ada beberaoa indikator telah terjadinya kekerasan seksual, yakni: pertama, adanya perubahan pada perasaan, sikap maupun perilaku anak pada hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas.
Kedua, pengetahuan yang tiba-tiba dimilikinya tentang seks. Ketiga, reaksi yang sangat kuat pada kontak fisik, seperti misalnya sangat menarik diri dari kontak fisik atau sebaliknya mempunyai ketertarikan yang besar untuk bermain-main dengan seksualitasnya.
Keempat, kemunduran perkembangan secara fisiologis atau perilaku yang tiba-tiba berubah, misalnya perubahan kebiasan tidur, makan, prestasi di sekolah (mundur sekali atau malah berprestasi).
Kelima, mengalami masalah dalam hubungannya dengan orang lain di sekolah, misalnya bermasalah dengan kedisiplinan, menghindar dari tugas-tugas, dan menarik diri. Keenam, ketegangan emosi, misalnya selalu takut, cemas, mudah tersinggung, mudah marah, dan depresi.
Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekerasan seksual, hendaknya orang dewasa yang berperan sebagai pelindung maupun berpotensi memberi dukungan utama pada anak perlu membaca informasi tentang kekerasan seksual pada anak untuk memahami penyebab, pelaku, dampak pada korban, tanda-tanda yang ditunjukkan anak yang mengalami kekerasan seksual, serta dukungan yang dibutuhkan.
Selain itu juga perlu mengubah keyakinan-keyakinannya yang mungkin selama ini salah. Sedini mungkin mengajarkan anak untuk mengenali bagian-bagian tubuhnya sendiri, serta daerah mana yang boleh disentuh orang lain dan mana yang tidak.
Segera memberitahu anggota keluarga bila ada orang yang melakukan hal-hal yang tidak wajar pada tubuhnya, serta tidak mudah percaya pada orang lain atau diajak main ke tempat sepi.