Oleh: Hana Mufidatul Roidah*
Harga bahan pokok yang terus naik, biaya pendidikan yang kian mencekik, dan ketidakpastian ekonomi yang tak kunjung reda kini menjadi kenyataan yang dihadapi banyak keluarga di Indonesia.
Di tengah situasi ini, tak sedikit rumah tangga yang goyah. Perselisihan soal keuangan menjadi pemicu pertengkaran, bahkan perceraian. Anak-anak pun kerap menjadi korban dari suasana rumah yang tak lagi damai.
Namun di tengah tekanan ekonomi yang menghimpit, pertanyaan penting muncul: mungkinkah keluarga tetap harmonis ketika dompet menipis dan masa depan terasa samar?
Islam mengajarkan bahwa keluarga bukan hanya ikatan darah dan tempat berlindung, melainkan juga medan perjuangan spiritual. Di sanalah nilai-nilai sabar, syukur, dan kasih sayang diuji. Krisis ekonomi bukan semata ujian finansial, melainkan juga ujian keimanan, kedewasaan, dan kesetiaan terhadap komitmen yang pernah diikrarkan di hadapan Allah SWT.
Ketika Ujian Ekonomi Mengetuk Pintu Rumah
Setiap keluarga, sekaya apa pun, tidak akan terlepas dari ujian. Namun ujian ekonomi seringkali menjadi yang paling berat karena menyentuh aspek dasar kehidupan manusia: kebutuhan.
Ketika penghasilan berkurang, pekerjaan tak pasti, atau harga-harga melonjak, banyak pasangan kehilangan kesabaran dan arah. Padahal, Islam telah menegaskan bahwa ujian adalah bagian dari perjalanan hidup.
Allah SWT berfirman, “Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]:155)
Ayat ini menunjukkan bahwa ujian, termasuk dalam bentuk krisis ekonomi, adalah cara Allah menguatkan keimanan manusia. Dalam rumah tangga, ujian ekonomi justru bisa memperkokoh hubungan bila dijalani dengan komunikasi dan saling pengertian. Suami tidak merasa sendiri memikul beban, dan istri tidak menambah beban dengan keluh kesah yang berlebihan.
Nabi Muhammad saw. pernah hidup dalam kesederhanaan bersama keluarganya. Diriwayatkan bahwa di rumah beliau kadang tak ada makanan selama beberapa hari. Namun beliau dan istri tetap saling menguatkan, bukan saling menyalahkan. Dari keteladanan ini kita belajar bahwa ukuran keharmonisan bukan banyaknya harta, tetapi kesediaan untuk bersama dalam suka dan duka.
Iman sebagai Pondasi Ketahanan Keluarga
Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, iman menjadi tiang utama keluarga. Ketika iman melemah, rasa lelah dan kecewa mudah berubah menjadi pertengkaran dan keputusasaan. Namun keluarga yang memelihara nilai iman dan tawakal akan menemukan ketenangan di tengah keterbatasan.
Konsep qanaah (merasa cukup) dalam Islam bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi kesadaran bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada banyaknya harta.
Baca Juga: Perempuan dan Dapur: Kodrat atau Konstruksi Sosial?
Rasulullah saw. bersabda, “Berbahagialah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Keluarga yang beriman akan menempatkan rezeki sebagai amanah, bukan ukuran cinta atau kehormatan. Mereka akan saling mendukung untuk hidup sederhana, menjauhi gaya hidup konsumtif, dan mengutamakan keberkahan daripada kemewahan.
Dalam ajaran Islam, tanggung jawab ekonomi keluarga tidak hanya dibebankan kepada suami. Istri juga memiliki peran penting dalam mengelola keuangan, mendidik anak dengan nilai hemat, serta menjadi penyejuk hati ketika kondisi sulit. Sejarah Islam membuktikan, banyak perempuan yang ikut berperan dalam menopang perekonomian keluarga tanpa kehilangan kehormatan dan kelembutan.
Gerakan ‘Aisyiyah menaruh perhatian pada pemberdayaan ekonomi perempuan berbasis nilai Islam. Melalui program ekonomi produktif dan pendidikan keluarga, ‘Aisyiyah mengajarkan bahwa perempuan bisa menjadi pelaku ekonomi yang berdaya, mandiri, dan berakhlak. Dalam keluarga yang berlandaskan iman, kerja keras dan spiritualitas berjalan beriringan, menciptakan harmoni yang kokoh di tengah badai ekonomi.
Menemukan Bahagia di Tengah Keterbatasan
Banyak keluarga mengira bahwa harmoni hanya bisa dibangun dengan kecukupan materi. Padahal, kebahagiaan justru sering tumbuh di tengah kesederhanaan. Keluarga yang harmonis bukan keluarga tanpa masalah, melainkan keluarga yang mampu melewati masalah bersama.
Kuncinya terletak pada komunikasi, rasa empati, dan doa bersama. Saat suami-istri saling terbuka dalam menghadapi kesulitan, mereka membangun rasa percaya yang lebih kuat. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan seperti itu akan belajar tentang arti tangguh, sabar, dan ikhlas nilai-nilai yang jauh lebih berharga daripada kemewahan materi.
Dalam pandangan Muhammadiyah, keluarga merupakan madrasah pertama tempat nilai-nilai akhlak, kerja keras, dan tanggung jawab ditanamkan. Prinsip ini sejalan dengan visi Islam berkemajuan yang menghendaki keluarga sebagai pusat pembentukan manusia beriman dan berilmu.
Ketika dunia di luar penuh tekanan, rumah harus menjadi tempat pulang yang damai. Kedamaian itu tidak lahir dari rumah megah atau isi lemari yang penuh, tetapi dari hati yang saling memahami. Keluarga yang menghidupkan salat berjamaah, berbagi rezeki sederhana dengan senyum, dan saling mendoakan sebelum tidur, sejatinya telah memiliki kekayaan yang tak ternilai: kekayaan batin.
Krisis Jangan Sampai Mengguncang Kasih Sayang
Krisis ekonomi memang mengguncang banyak hal, tetapi tidak seharusnya mengguncang cinta dan keimanan dalam keluarga. Islam mengajarkan bahwa ujian adalah jalan menuju kedewasaan spiritual.
Di tengah harga yang melambung dan rezeki yang seret, ada ruang luas bagi kesabaran, pengertian, dan kasih sayang untuk tumbuh. Allah SWT berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq [65]:2–3)
Keluarga yang harmonis bukanlah keluarga tanpa kesulitan, tetapi keluarga yang memilih untuk tetap berpegangan tangan ketika badai datang. Mungkin dapur sederhana, baju sering dijahit ulang, dan tabungan menipis, tetapi jika hati dipenuhi iman dan cinta, rumah itu akan selalu hangat.
Krisis ekonomi bisa mengguncang dompet, tapi tidak perlu mengguncang kasih sayang. Sebab harmoni sejati bukan diukur dari seberapa banyak yang dimiliki, melainkan seberapa dalam keluarga saling mencintai dan percaya bahwa rezeki dan ketenangan selalu datang bersama mereka yang bersyukur.
*Mahasiswa Ilkom UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah

