Keluarga Sakinah

Keluarga, Pilar Perkaderan di Era Pandemi

Anak

AnakOleh: Siti ‘Aisyah

وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (٥) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (٦)

 Artinya, Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, (6). yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai” (Q.S. Maryam [19]: 19).

Ayat tersebut mengabadikan kisah Nabi Zakaria. Ketika sampai usia lanjut dan belum juga dikaruniai putra, beliau memohon kepada Allah melalui rintihan doa-doanya. Beliau memohon putra yang dapat melanjutkan risalah kenabian sekaligus sosok yang Allah ridhai.

Ayat-ayat tersebut ditempatkan untuk mengawali tulisan ini sebagai isyarat pentingnya kaderisasi, termasuk dalam keluarga. Dalam keluarga sekalipun, kita perlu menyiapkan generasi penerus dalam melanjutkan estafet perjuangan demi tegaknya risalah diniyah yang dibawa para utusan Allah.

Basis Keberlanjutan Dakwah

Pemikiran pentingnya kaderisasi dalam organisasi ‘Aisyiyah juga diilhami ayat tersebut, sehingga berdirilah organisasi Siswo Projo Wanito (Siswo Proyo Wanito) pada tahun 1919. Siswo Projo Wanito (SPW) merupakan perkumpulan di luar sekolah bagi murid-murid putri. Melalui SPW, para remaja berlatih berorganisasi dan menimba ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, serta berlatih berbagai keterampilan hidup dan keterampilan memimpin.

Dalam perkembangannya, nama SPW diubah menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) dalam Konggres ‘Aisyiyah ke XX di Yogyakarta, 1931. Nama ini diambil dari bahasa Arab yang berarti “yang  tumbuh menjadi ‘Aisyiyah, tunas ‘Aisyiyah”. Pemberian nama ini lahir dari kesadaran bahwa kader-kader NA akan tumbuh menjadi ‘Aisyiyah. Dengan semboyan “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti”, NA disiapkan agar hidup subur sebelum ‘Aisyiyah itu patah, dan siap sedia sebagai penerus sebelum yang senior pergi.

Keluarga memiliki kedudukan strategis dalam kehidupan kemanusiaan. Fungsi utamanya tidak dapat digantikan oleh institusi sosial lainnya. Dalam Buku Tuntunan menuju Keluarga Sakinah (Keputusan Munas Tarjih ke-28 di Palembang tahun 2014), diidentifikasi ada 12 fungsi, dua di antaranya yaitu fungsi internalisasi nilai-nilai keislaman dan fungsi kaderisasi.

Internalisasi Nilai-nilai Keislaman dalam Keluarga

Dalam menunaikan fungsi penanaman nilai-nilai keislaman, keluarga merupakan wahana menanamkan, mensosialisasikan, dan mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam yang berkemajuan. Keluarga di lingkungan Muhammadiyah-’Aisyiyah dituntut menampilkan keteladanan (uswah hasanah) dalam mempraktikkan tatanan kehidupan yang islami melalui praksis pendidikan dalam keluarga. Hal ini merupakan implementasi dari pesan normatif Q.S. at-Tahrim [66] ayat 6 yang mengamanahkan pada orang tua untuk menjauhkan diri dan segenap anggota keluarga dari siksa neraka. Upaya tersebut dilakukan melalui nasihat dan pengajaran (Al-Maraghi).

Di era pandemi, keluarga menjadi pusat pendidikan nilai-nilai Islam berkemajuan. Hal ini dioperasionalisasikan dengan pendidikan. Salah satunya dengan memahamkan anggota keluarga nilai-nilai dasar Islam dalam menjaga diri dari wabah Covid-19 di tengah banyaknya paham Islam konvensional yang menolak menerapkan protokol kesehatan dan menolak vaksin.

Baca Juga: Komitmen Keluarga Sakinah Aktivis ‘Aisyiyah

Dalam paham Islam berkemajuan, takdir tidak dipahami menyerah tanpa usaha. Pemahaman terhadap takdir juga dilakukan dengan pendekatan burhani, yakni pemahaman menggunakan rasionalitas dalam memahami kebenaran teks-teks al-Quran dan Sunnah Maqbūlah. Internalisasi nilai-nilai dasar Islam dilakukan dengan 3 cara.

Pertama, menanamkan nilai-nilai keimanan yang meyakini bahwa Allah Sang Pencipta (tauhīd rubūbiyyah) telah menciptakan virus Corona (Covid-19) sesuai dengan takdir. Artinya, Covid-19 hadir sebagai bagian dari ketentuan Allah. Meskipun demikian, bukan berarti kita berpasrah saja tanpa ada usaha untuk menghindari mudharat virus ini.

Covid-19 telah diteliti oleh para ahli mikrobiologi. Ia memiliki ukuran sangat kecil. Dari sunnatullāh virus, diketahui bahwa virus ini dapat menginfeksi manusia dan beberapa hewan. Ia diperkirakan menyebar melalui tetesan yang dikeluarkan saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara. Selain itu, kita  juga dapat menyebarkan virus ini dengan menyentuh permukaan yang ada virus di atasnya, lalu menyentuh mulut, hidung, atau mata seseorang.

Virus ini memiliki kelemahan. Ia bisa mati sebelum masuk ke tubuh manusia dengan sabun dan suhu panas. Di samping itu, antibodi dapat mencegah berkembangnya virus dalam tubuh manusia. Itulah sebabnya, menerapkan protokol kesehatan 6M dan vaksinasi menjadi ikhtiar dalam menghadapi takdir Allah berupa diciptakannya Covid-19.

Protokol kesehatan 6M ini meliputi mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, termasuk saff distancing, mengurangi mobilitas, menghindari kerumunan, dan menghindari makan bersama. Protokol 6M dan vaksinasi dilakukan dengan niat ibadah karena Allah azza wajalla.

Kedua, menanamkan kayakinan bahwa Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih selalu memberi jalan keluar pada setiap kesulitan. Keyakinan bahwa setiap kesusahan pasti datang bersama kemudahan (Q.S. al-Insyirah [94]: 5) akan melahirkan optimisme dan menghilangkan putus asa.

Optimisme adalah berbaik sangka kepada Allah (ḥusnuẓhzhan billāh) bahwa usaha kita tidak akan sia-sia. Optimisme dibangun atas usaha keras untuk memutus mata rantai Covid-19. Allah akan mengubah nasib suatu kaum selama mereka berusaha keras melakukan perubahan (Q.S. Ar-Ra’du [13]: 11; An-Najm [53]: 39). Selain itu, tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan disertakan pula kesembuhannya (Q.S. Asy-Syu’ara’ [26]: 80).

Nabi Muhamamd shallallahu ‘alaihi wasallam mendorong sikap optimis dalam sabdanya:

إنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

Artinya, “Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit sekaligus obatnya. Oleh karena itu, berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram (H.R. al-Ṭabrānī).

Ketiga, menanamkan nilai-nilai perlindungan (al-ḥifẓ) sebagai bagian dari tujuan syariah (maqāṣid al-syarīʻah) yang berlandaskan firman Allah dalam Q.S. al-Anbiya’ [21] ayat 107. Hal ini dikarenakan syariah Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan dan kerusakan. Tujuan dimaksud mencakup perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs), perlindungan keturunan atau keluarga (ḥifẓ al-nasl), perlindungan akal pemikiran dan pendidikan (ḥifẓ al-ʻaql), perlindungan harta dan pemenuhan kebutuhan ekonomi (ḥifẓ al-māl), serta perlindungan terhadap agama dan toleransi kehidupan beragama (ḥifẓ al-dīn).

Nilai-nilai perlindungan di masa pandemi ini menekankan bahwa kemaslahatan dan keselamatan bukan hanya milik agama dan golongan tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia tanpa diskriminasi. Para duafa’ mustad’afin mendapat perhatian lebih karena mereka merupakan kelompok rentan yang lemah, baik karena terdampak penyakit maupun karena terdampak secara ekonomi.

Keyakinan pada tiga nilai dasar ini mewujud pada upaya perlindungan dengan menerapkan peraturan hukum konkret (al-ahkām al-farʻiyyah), yaitu panduan beribadah di masa pandemi yang telah dituntunkan oleh Majelis Tarjih Muhamamdiyah, ikhtiar menerapkan protokol kesehatan 6M, dan melakukan vaksinasi. Ketiga hal tersebut merupakan upaya sungguh-sungguh dalam perubahan kebiasaan baru untuk memutus mata rantai penyebaran virus dan mewujudkan kesehatan bersama (al-jihād li al-muwajjahah).

Pilar Perkaderan   

Pilar perkaderan dalam ’Aisyiyah selain dilakukan melalui perkaderan Pimpinan, perkaderan Ortom, perkaderan amal usaha, perkaderan profesi, dan perkaderan komunitas, juga harus meliputi perkaderan keluarga sebagai media pendidikan pertama dan utama yang berjalan secara natural. Keluarga memiliki fungsi kaderisasi untuk menyiapkan anak-anak dan anggota keluarga lainnya agar tumbuh menjadi generasi muslim yang dapat menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan dakwah di kemudian hari.

Kaderisasi keluarga dapat dilakukan secara kultural dengan menanamkan, menginternalisasikan, dan membudayakan ideologi Muhammadiyah dan paham Islam berkemajuan dalam keluarga. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dalam kehidupan keluarga perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Sembilan Prinsip Kaderisasi Digital

Di era pandemi, panduan ibadah yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah seperti disampaikan di atas dan panduan protokol kesehatan lainnya dari Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) perlu diperkenalkan dan diwujudkan dalam keluarga. Pengenalan tokoh-tokoh Muhamamdiyah-’Aisyiyah, dan buku-buku keluaran Muhammadiyah-’Aisyiyah serta putusan dan fatwa Tarjih hendaknya menjadi bahan literasi keluarga. Pelibatan anggota keluarga dalam kegiatan Muhammadiyah-’Aisyiyah dan Ortom, baik secara langsung maupun tidak langsung, perlu terus dilakukan.

Demikianlah, kita perlu mengembangkan pemahaman literasi akan sunnatullāh Covid-19 pada budaya dan gaya hidup bersih dan sehat dalam keluarga. Dalam hal ini, pendekatan spiritual melalui amalan-amalan ibadah dalam keluarga dapat digunakan sebagai pengejawantahan sabda Nabi Muhamamd shallallahu ‘alaihi wasallam.

نَوِّرُوْا مَنَازِلَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ (رواه البيهقى عن أنس)

Artinya, “terangilah rumah-rumahmu dengan salat (sunnah) dan membaca al-Qur`an (H.R. Baihaqi dari Anas).

Harapannya, melalui fungsi internalisasi nilai-nilai Islam dan fungsi kaderisasi dalam keluarga, spirit dan estafet perjuangan dan dakwah Islam berkemajuan semakin dirasakan eksistensi dan manfaatnya dalam kehidupan.

Related posts
Perempuan

Peran Perempuan dalam Mendukung Keberhasilan Puasa Keluarga

Oleh: Zubaida Rohmawati* Puasa adalah salah satu ibadah yang dilakukan oleh umat muslim di seluruh dunia. Selain sebagai bentuk ibadah, puasa juga…
Konsultasi Keluarga

Bagaimana Menghadapi Suami Egois?

Pertanyaan: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Kak ‘Aisy yang saya hormati, saya seorang ibu rumah tangga, sudah menikah selama sebelas tahun, dan mempunyai dua…
Hikmah

Tulisan Azhar Basyir: Keluarga Menurut Islam

Islam mengajarkan bahwa anak-anak berhak diasuk orang tuanya. Semua biaya yang diperlukan untuk mengasuk anak dibebankan kepada ayahnya. Mengasuh anak yang masih…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *