Oleh : Masyitoh Chusnan
Judul di atas bukan bermaksud untuk membandingkan antara Empat Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar” seperti yang dirilis dalam website resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dengan pendidikan ‘Aisyiyah Berkemajuan. Melainkan sebuah upaya elaborasi hal-hal yang positif, inovatif, dan bahkan mungkin fleksibel.
Terminologi berkemajuan dalam pendidikan ‘Aisyiyah memiliki berbagai dimensi. Pertama, berkemajuan dalam semangat, cita-cita¸ alam pikiran, perilaku, dan gerak langkah yang senantiasa berorientasi ke masa depan. Kedua, berkemajuan untuk mewujudkan kualitas anak didik yang unggul, berakhlak baik, bermoral tinggi, serta memiliki ketakwaan, kesalehan sosial, dan individual. Ketiga, berkemajuan untuk menjadi unggul dalam menciptakan peradaban yang pada saatnya akan mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta semesta yang rahmatan lil’alamin.
Banyak pakar pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan sebuah upaya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia. Pendidikan bertujuan untuk mengubah perilaku serta meningkatkan kualitas pribadi menjadi lebih baik, saleh, dan bertakwa. Pada kenyataannya, pendidikan bukan lagi suatu upaya yang sederhana, melainkan sebagai suatu sistem yang di dalamnya mengandung elemen-elemen yang beragam dan saling berkaitan.
Problematika Ujian Nasional
Pendidikan tidaklah statis. Itulah sebabnya pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan peningkatan serta manajemen yang baik, sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan kehidupan masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud tampaknya menyikapi tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dengan menggulirkan empat pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar“ yang terdiri atas Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasioanl (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi.
Jika dicermati secara mendalam, kebijakan yang diberlakukan untuk tingkat sekolah (bukan perguruan tinggi) itu tampak positif, baik bagi masyarakat, pemangku pendidikan, maupun untuk anak didik. Meski tak dapat dimungkiri ada pula kelemahannya. Misalnya, rencana penghapusan USBN yang akan digantikan dengan ujian (asesmen) yang dilakukan oleh sekolah. Sistem ini tentu membuat guru dan pihak sekolah lebih leluasa dalam menilai hasil belajar siswa mengingat sekolah lebih mandiri dan guru tentu lebih tahu tentang perkembangan murid-muridnya.
Sebetulnya, semangat UU Sistem Pendidikan Nasional telah memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk menentukan kelulusan siswanya. Namun keberadaan USBN justru membatasi keleluasaan tersebut. Kebijakan baru mengganti USBN dengan ujian (asesmen) mengembalikan otonomi sekolah yang sebenarnya merupakan amanat undang-undang tersebut.
Sementara itu, kebijakan UN akan diakhiri pada tahun ini (2020), dan tahun 2021, UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter (SK). Menurut penulis, sistem ini memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Plt. Dirjen PAUDNI, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Prof. Harris Iskandar, Sistem Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) sudah diuji coba sejak 2015 melalui program AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), dan uji coba SK, yang menyelipkan questioner dalam UN. Artinya, program ini sesungguhnya sudah lama digulirkan, meski terbatas. AKM dan SK nampak lebih komprehensif karena tidak hanya memiliki aspek kognitif dari hasil belajar siswa saja, tetapi juga menyentuh karakter siswa.
Dalam AKM dan SK, terdapat unsur literasi (kemampuan bernalar tentang menggunakan bahasa), numerasi (kemampuan bernalar menggunakan matematika), dan penguatan karakter itu sendiri, seperti gotong royong, jiwa sosial, dan kebhinekaan. Namun, adakah karakter yang sangat fundamental, seperti karakter ketakwaan, religiusitas, dan karakter lain yang menjadi dasar sebagai manusia saleh? Inilah yang mungkin menjadi titik kelemahan.
Kelemahan lain misalnya, UN berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, sementara AKM dan SK hanya mengedepankan kemandirian sekolah dan kemerdekaan belajar. Di satu sisi, UN memang menjadi beban bagi siswa, guru, dan orang tua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. Namun, UN dapat menggambarkan seberapa jauh kualitas pendidikan nasional, sehingga seluruh komponen pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, maupun pihak sekolah dapat mengevaluasi semua kekurangan yang dimiliki dan mencari solusi bagaimana mutu pendidikan Indonesia menjadi sesuatu yang dibanggakan.
Selanjutnya dapat anda baca pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 4 April 2020