Oleh: Dati Fatimah
Suatu siang di akhir 2019, saya berkesempatan bertemu dan mengunjungi Ibu Ruwaida Untingo, di rumahnya yang sederhana di Poso. Ibu Ruwaida merupakan
satu di antara 3 perempuan yang terlibat dalam proses perundingan Malino I, dan menjadi perempuan yang menjadi wakil kelompok muslim. Ibu Ruwaida menceritakan bagaimana situasi ketika konflik kekerasan terjadi di Poso. Kekacauan dan silang sengkarut informasi menjadi kondisi yang dihadapi di Poso, ketika konflik kekerasan pecah pada tahun 2000.
Namun demikian, ibu Ruwaida yang saat itu menjadi Ketua Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Poso, segera bergerak cepat untuk memobilisir dukungan. Walau kondisi serba tidak terkendali, namun gerak cepat ini membuahkan hasil dengan berdirinya Posko untuk pengungsi ketika pecah kerusahanbesar pada tahun 2000.
Ibu Ruwaida menuturkan, bahwa posko ini merupakan posko yang pertama berdiri dalam merespons darurat kemanusiaan di Poso waktu itu. Walau dilingkupi berbagai keterbatasan, Posko menjadi ujung tombak dalam upaya merespons kebutuhan darurat, termasuk dalam menjawab kebutuhan dan perlindungan bagi perempuan dan anak.
Apa yang diceritakan dari pengalaman ibu Ruwaida di atas, menjadi narasi penting perempuan ketika menghadapi dan melakukan respons terhadap konflik kekerasan. Konflik kekerasan, sebagaimana juga krisis yang lain, memiliki dimensi gender yang kuat, karena membentuk cerita yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan dalam merespons dan bertahan serta memulihkan kehidupan setelah konflik kekerasan.
Konflik membawa dampak yang menyakitkan bagi semua orang, lakilaki dan perempuan, namun seringkali dengan cara yang berbeda karena dipengaruhi oleh norma sosial – gender yang ada. Dampak konflik bagi perempuan dan anak seringkali diperparah karena kemampuan untuk bisa bertahan, mencari perlindungan dan
bantuan ketika situasi darurat kemanusiaan, dan saat berupaya memulihkan kehidupan, seringkali dibatasi oleh norma sosial yang tidak adil gender.
Perempuan misalnya, sering tidak bisa mewakili dirinya sendiri, yang berakibat pada dampak konflik yang lebih dalam dan kesulitan mengakses bantuan dan skema perlindungan ketika situasi darurat kemanusiaan. Lantaran peran gender dan norma sosial – gender yang ada, perempuan menghadapi risiko yang khas dalam situasi konflik kekerasan, seperti risiko menjadi korban kekerasan seksual khususnya perkosaan.
Bahkan, Perserikatan BangsaBangsa (PBB) melalui Resolusi Dewan Keamanan No S/RES/1325 menyerukan perlunya langkah khusus dalam perlindungan perempuan dan anak perempuan dari kekerasan berbasis gender dalam situasi konflik, khususnya konflik bersenjata. Namun di sisi yang lain, upaya-upaya perempuan dalam merajut perdamaian, juga menjadi bagian penting penyelesaian konflik kekerasan.
Melalui peran-peran yang informal dan sehari-hari, perempuan berperan penting dalam membuka sekat pembuka menuju perdamaian. Dari cerita ibu Ruwaida, kecekatannya dalam membuka posko menunjukkan kelihaian perempuan dalam memetakan jejaring sosial, yang mayoritas merupakan jejaring informal yang berbasis kepercayaan. Model jejaring informal seperti ini, cepat bisa dimobilisasi untuk merespon situasi krisis ketika konflik kekerasan terjadi.
Baca Juga: Dua Anggota SUMU Menang Kompetisi Bisnis Nasional
Apa yang dilakukan oleh ibu Ruwaida ini, juga banyak ditemukan di berbagai konteks konflik kekerasan di Indonesia, dari Aceh, Poso hingga Maluku. Di berbagai konteks ini, perempuan melakukan peran-peran yang sederhana namun sangat berarti, seperti melalui aktivitas perdagangan di pasar yang melintasi sekat konflik,
atau berbagi makanan dan upaya perawatan dan pendidikan anak yang mengantarkan pada meleburnya sekatsekat antar komunitas yang berkonflik.
Sayangnya, kontribusi perempuan ini sering bersifat informal, dan sering tidak dianggap penting. Prugl et al (ed, 2022) misalnya, merumuskan bahwa walaupun perempuan berkontribusi nyata dalam upaya membangun perdamaian, peminggiran terhadap perempuan terjadi ketika proses pengambilan keputusan dilakukan. Perempuan dikecualikan dalam proses penting negosiasi damai dan proses ekonomi maupun politik formal diperuntukkan bagi laki-laki. Sementara perempuan dikondisikan untuk berkutat pada proses informal di tingkat akar rumput.
Pada konteks Aceh misalnya, studi Rahmawati (2019) menemukan bahwa perempuan eks kombatan tidak diikutsertakan dalam program-program reintegrasi pascakonflik, kecuali jika mereka dekat dengan elit laki-laki. Karenanya, proses perdamaian, seringkali menjadi siklus yang justru mereproduksi ketidakadilan gender, ketika tidak ditemukan upaya menjawab kondisi dan kebutuhan serta keterwakilan perempuan. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa hanya segelintir perempuan yang terlibat dalam proses perdamaian formal untuk penyelesaian konflik di Indonesia (Buchanan, 2010). Pada proses perjanjian damai Poso (Malino I), hanya terdapat 3 perempuan dalam proses perundingan damai: 2 mewakili komunitas Kristen dan 1 dari perempuan muslim, yaitu ibu Ruwaida Untingo tersebut.
Minimnya ketewakilan perempuan dalam proses perun-dingan damai, juga ditemukan dalam perundingan damai di Aceh. Hanya ada seorang perempuan terlibat sebagai anggota pendukung Gerakan Aceh Merdeka. Untuk perjanjian Mali-no II, sebagai penyelesaian dari konflik kekerasan Maluku, terdapat 1 wakil perempuan Kristen dan 2 perempuan Katolik namun tidak ada wakil perempuan muslim dalam perjanjian ini. Bagian yang menyerukan tentang pentingnya partisipasi perempuan yang setara dan bermakna, juga menjadi bagian kunci dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB nomer 1325 tersebut. Resolusi ini juga menegaskan pentingnya partisipasi perempuan dalam upaya negosiasi perdamaian, pembangunan dan pemeliharaan perdamaian, serta juga dalam tanggap darurat kemanusiaan dan rekonstruksi pasca konflik.
Partisipasi perempuan ini, menjadi kunci untuk memastikan bahwa siklus ketidakadilan gender, tidak akan tereproduksi justru ketika proses pedamaian (formal) dilakukan, karena tidak merepresentasikan suara dan kepentingan perempuan itu sendiri.
Di Indonesia, resolusi ini telah diadopsi dan sekaligus dikontekstualisasi melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (P3AKS). Langkah maju yang sudah dilakukan ini, masih perlu terus dikawal untuk mendorong adopsi dan pengembangannya di tingkat daerah. Upaya ini menjadi bagian penting untuk mendorong perlindungan dan sekaligus partisipasi bermakna perempuan dalam upaya membangun perdamaian.
*Ketua Divisi Riset, Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) – PP ‘Aisyiyah 2022-2027. Sehari-hari, bekerja sebagai konsultan gender


9 Comments