Sosial Budaya

Kerajaan Raja dan Ratu, Bukan Raja dan Babu

raja dan ratu

Oleh: Lailatul Qoderia

Saat ini, segala sesuatu yang terjadi di luar sana sangat mudah dan cepat untuk kita dapatkan, walaupun beberapa informasi yang disajikan tidak begitu penting dan bermanfaat untuk kehidupan kita. Saat ini, mudah sekali kita mendapati suatu konten yang sengaja dibagikan ke dalam media sosial yang bertujuan agar hal tersebut menjadi viral.

Beberapa waktu yang lalu, misalnya, saya mendapati ada sebuah video yang hanya berdurasi beberapa menit saja, namun mampu mengundang ratusan bahkan ribuan komentar dan atensi netizen. Video tersebut berisi tentang sepasang suami-istri dan bayi mereka yang sedang berada di tempat makan atau restoran. Sepintas mungkin tidak ada yang salah dari kegiatan mereka, namun setelah disaksikan sampai habis, saya paham kenapa netizen tidak bisa diam saja.

Di dalam video terlihat pasangan ayah dan ibu muda itu seperti tidak memiliki kekompakan dalam mengurus anak mereka. Di dalam unggahan tersebut, si ibu sibuk menggendong anaknya sambil sesekali menyendok makanan yang sedang dia santap, sedangkan si ayah hanya acuh kepada istri dan anaknya. Ia malah sibuk menatap telepon genggamnya. Belum lagi jika dilihat dari penampilan, si ibu terlihat lebih sederhana dan bahkan terlihat tidak rapi, dibanding si ayah yang terlihat jauh lebih rapi.

Pemandangan seperti ini mungkin sudah sering kita lihat di beberapa tempat dan situasi. Tidak usah jauh-jauh, mungkin saat kita ada acara keluarga, ada saja salah satu keluarga kita yang juga begitu, di mana istri sibuk menyiapkan segalanya untuk suami, anak, dan untuk dirinya sendiri. Sementara itu, sang suami hanya asyik menunggu atau ngobrol dengan orang lain.

Terkadang mungkin masih ada keluarga kita yang menganggap bahwa laki-laki senantiasa harus dilayani atau disiapkan, semisal dia mau makan. Beberapa kali saya mendengar ada generasi tua yang mengingatkan kepada anaknya atau cucunya yang sudah memiliki suami, “Itu loh, suamimu mau makan”, atau “Suamimu mau makan, disiapkan dulu sana”.

Ya, itu yang mengingatkan juga perempuan dan sama-sama seorang istri dan juga seorang ibu. Tapi, apa sudah pernah kalian jumpai ada suami yang sekadar sadar atau sampai lingkungan sekitar yang sampai mengingatkannya seperti, “Itu loh, istrimu mau makan, anakmu tolong dijaga dulu”. Sesimpel itu, namun nyaris tidak terdengar sama sekali.

Tidak jarang istri malah dianggap rempong, lama, dll. saat hendak berpergian, padahal hal tersebut karena semuanya ia lakukan sendiri dan siapkan sendiri. Bukan hanya untuk keperluan dirinya sendiri, tapi untuk keluarganya.

Baca Juga: Pendidikan Kesetaraan dalam Keluarga

Belum sampai di sana. Benar saja, dua malam sebelum saya menyelesaikan tulisan ini, saya kembali melihat kejadian serupa. Sepasang suami-istri muda dan bayinya sedang makan di salah satu restoran yang ada di daerah saya. Di saat si istri terlihat kerepotan karena harus makan sembari memangku serta mengawasi gerakan anaknya, si suami yang duduk di depan istrinya itu malah asyik bermain gim tanpa mau tahu kepayahan yang ada di depannya, apalagi sampai membantu.

Saya dan teman saya yang melihat hal tersebut pun merasa geram: setidakpaham itu, kah? Sempat berasumsi apa karena si anak tidak mau jika tidak dengan ibunya? Tetapi, rasanya jika benar pun hal itu tambah salah lagi: bagaimana bisa seorang anak tidak bisa dekat dengan ayahnya? Padahal, kewajiban dalam menjaga serta mendidik anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu atau suami dan istri, bukan hanya tanggung jawab seorang ibu saja.

Saya kembali bertanya-tanya: sebenarnya bagaimana kehidupan mereka di dalam sebuah pernikahan dan keluarga? Jika melihat di sekitar kita, memang yang namanya double burden di dalam suatu rumah tangga masih terpampang jelas. Seorang perempuan yang menjadi ibu dan juga bekerja di luar rumah masih diharuskan untuk mampu mengurus segala keperluan keluarganya di rumah, seperti memasak, mengurus pakaian, mengurus anak, dan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya. Sebaliknya, jika diperhatikan di sekitar kita, laki-laki masih jauh dari kewajiban-kewajiban domestik itu saat sudah di rumah.

Perlu kita ingat bahwa peran perempuan di dalam suatu keluarga adalah sebagai anak untuk orang tuanya, sebagai istri untuk suaminya, dan sebagai ibu untuk anak-anaknya. Tentu hal tersebut juga tidak berbeda dengan laki-laki sebagai anak untuk orang tuanya, suami untuk istrinya, dan ayah untuk anak-anaknya.

Pada hakikatnya, kodrat seorang perempuan ialah menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Terlepas dari keempat hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kodrat seorang perempuan. Maka yang saya maksud di sini adalah bisa saja tatanan ataupun stigma-stigma yang salah tentang perempuan harus atau hanya bisa mengurus dapur, sumur, kasur, atau perempuan harus mengurus anak dan suaminya dengan menyiapkan makananya, membersihkan rumahnya, mengurus pakaiannya, dll. adalah hal yang bisa dikerjakan dan menjadi tanggung jawab bersama, baik suami maupun istri. Stigma atau pandangan bahwa perempuan wajib melakukan dan bertanggung jawab penuh atas pekerjaan domestik yang ada di rumah harus segera kita tinggalkan.

Sebagai generasi muda, saya merasa kita sudah harus mengubah semua itu, walaupun dengan cara perlahan dan sederhana. Jangan lagi kita mengikuti atau bahkan melanjutkan bagaimana orang tua-orang tua kita terdahulu dalam menyusun tatanan di dalam keluarga.

Mau tidak mau, kita sudah harus melek terhadap kesetaraan gender, bukan hanya perempuan saja, namun juga laki-laki. Sudah seharusnya seorang laki-laki pun paham akan pekerjaan domestik yang selama ini dirasa hanya milik perempuan saja, karena sejatinya itu adalah hal yang harus bisa dilakukan untuk bertahan hidup.

Mampu merawat diri sendiri dan peka terhadap sekitar merupakan di antara hal yang harus dipahami dan dilakukan untuk bertahan hidup. Suatu keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berstatus sebagai suami dan istri maupun anak harus bisa bersinergi dalam melakukan pekerjaan domestik yang ada di rumah. Rumah tangga ideal adalah yang dinahkodai oleh raja dan ratu, bukan raja dan babu. Sudah saatnya kita saling meratukan dan juga merajakan satu sama lain.

Related posts
Berita

Melangkah Menuju Kesetaraan: Antropologi Kampus oleh PK IMM Teknokrat UMG

Gresik, Suara ‘Aisyiyah – Auditorium Universitas Muhammadiyah Gresik, Jawa Timur menjadi saksi dari upaya Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PK IMM) Teknokrat…
Berita

Salmah Orbayinah: Tidak Ada Ketidaksetaraan Gender di Muhammadiyah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Ketua Umum PP ‘Aisyiyah, Salmah Orbayinah menegaskan bahwa nilai dasar Islam adalah menghargai…
Berita

Firly Annisa: Jadikan Digital Sebagai Ruang untuk Wujudkan Kesetaraan Gender

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Memperingati Hari Perempuan Internasional tahun 2023, Pimpinan Pusat Aisyiyah adakan Live Session bertajuk “DigitALL: Innovation and Technology for…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *