Oleh: Alimatul Qibtiyah*
Bekerja secara umum adalah suatu proses kegiatan yang melibatkan mental dan fisik serta dilakukan seseorang untuk mendapatkan imbalan, baik berupa uang atau barang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.
Usia bekerja atau sering disebut dengan usia produktif (15-64 tahun) di Indonesia berkisar 70 persen dari total populasi di tahun 2020. Adapun persentase penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) tercatat sebesar 30 persen. Persentase penduduk usia produktif tampak sedemikian besar. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia masih berada pada era bonus demografi.
Bekerja menjadi kewajiban yang harus diemban setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup di sini untuk sebagian orang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi juga kebutuhan eksistensi diri. Salah satu indikator seseorang ada atau eksis adalah di saat keberadaannya membawa kemanfaatan kepada orang lain. Hal ini dikuatkan dengan suatu hadis yang berbunyi:
خير الناس انفعهم للناس
Artinya, “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”.
Persoalan yang biasa muncul di masyarakat ketika bicara pekerjaan adalah adanya pemahaman yang kurang tepat, yang mana seolah bekerja itu hanya jika menjadi Aparat Sipil Negara (ASN) atau kerja di kantoran. Padahal berdasarkan data BPS dan BKN per 31 Desember 2021, jumlah ASN di Indonesia hanya sekitar 3% (3995.634) dari total angkatan kerja (131.05 juta) dan jika dilihat dari jumlahnya, ada kecenderungan menurun pada setiap tahunnya.
Pemahaman yang sempit ini semakin kurang relevan saat disesuaikan dengan era digital ini, di mana banyak anak muda yang bekerja dari rumah, baik sebagai programmer, content creator, online marketing, juga usaha-usaha lain yang dilakukan di rumah. Selain itu, berladang dan melaut juga pekerjaan yang mulia.
Banyak landasan dalam al-Quran dan hadis Nabi yang menginformasikan agar kita bekerja di manapun berada dengan penuh semangat, dengan cara yang baik (makruf-tayib), dan juga halal. Bahkan Allah swt. menjanjikan kepada hamba-Nya yang selalu istikamah berusaha (bekerja) dan beriman dengan rezeki atau kenikmatan yang tidak diduga-duga. Beberapa landasan al-Quran terkait dengan ketentuan bekerja adalah sebagai berikut.
Pertama, Q.S. al-Jumuah ayat 11, “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebarlah (bekerja) kalian di bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah dan perbanyaklah mengingat Allah agar kalian beruntung.” Ayat ini jelas menginformasikan bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencari karunia Allah (bekerja) di manapun berada, tidak hanya sebagai ASN dan kerja kantoran, dan jangan lupa untuk memperbanyak dzikir kepada-Nya.
Kedua, Q.S. at-Talaq ayat 2-3, ”…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)–Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Bertakwa di sini bukan hanya dalam menjalankan ibadah mahdhah, seperti salat, puasa, dan haji, melainkan juga menjalankan perintah Allah untuk memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri dan sesama. Dalam hal ini, bekerja dengan tekun serta senantiasa meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk mencapai target kerja yang disepakati, dalam rangka memberi manfaat seoptimal mungkin bagi semesta, adalah juga perwujudan dari takwa.
Ketiga, Q.S. al-Insyirah, “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan sebutan (namamu) bagimu. Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain). Dan Hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”. Surat Insyirah ini membawa berita gembira bahwa Allah akan menghilangkan beban dan secara sunnatullah, setiap ada kesulitan insya Allah akan ada kemudahan.
Keempat, hadis riwayat ad-Dailami, “Sungguh Allah amat senang menyaksikan hamba-Nya kelelahan (bersusah payah) di dalam mencari rezeki yang halal”. Hadis ini mensyaratkan agar rezeki yang kita cari adalah rezeki yang halal, termasuk dalam proses mendapatkannya.
Baca Juga: Dalil-Dalil Dibolehkannya Perempuan Bekerja
Berdasarkan beberapa landasan normatif tersebut, konsep bekerja itu harus sesuai dengan sunnatullah yang mana rezeki itu tersebar, tidak hanya sebagai ASN dan kerja kantoran, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan dengan cara yang baik (makruf) tanpa merugikan orang lain. Secara sunnatullah, setelah kesusahan insyaAllah akan ada kemudahan. Selain itu, bekerja secara sunnatullah adalah bekerja yang mendapatkan hasil sesuai dengan usahanya.
Jika ada tawaran kerja atau investasi yang hanya sedikit kerja dengan hasil yang sangat melimpah maka perlu diwaspadai. Boleh jadi, pekerjaan itu tidak halal dan merugikan orang lain. Belakangan ini, kita diinformasikan banyaknya kejahatan berkedok pinjaman online, investasi bodong, dan bahkan bisnis-bisnis yang memanfaatkan ritual keagamaan seperti umrah.
Bicara masalah hasil kerja sesuai dengan sunnatullah ini mengingatkan kita pada salah satu kemuliaan almarhum Buya Syafii Maarif yang menolak penawaran menjadi komisaris karena khawatir tidak banyak kerja, tetapi penghasilan fantastis. Beliau memang tokoh Muhammadiyah yang patut diteladani, termasuk di dalam integritas sebuah pekerjaan.
Pada saat ini juga terjadi perubahan sosial dalam hal jenis kelamin pencari kerja. Sudah sekitar 10 tahun terakhir banyak lulusan terbaik dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi adalah perempuan. Hal ini berdampak pada semakin banyaknya perempuan yang terlibat pada dunia produksi dan juga semakin banyaknya keterlibatan ayah/suami dalam urusan rumah tangga dan pengasuhan anak.
Hanya saja, jika keterlibatan laki-laki pada area yang selama ini dianggap sebagai area perempuan itu dilakukan bukan karena rasa tanggung jawab bersama, tetapi karena keterpaksaan, hal ini akan menjadi persoalan. Sebaliknya jika perempuan berkontribusi pada nafkah keluarga, namun pemahamannya masih uang istri adalah uangnya istri dan uang suami adalah uangnya keluarga, tanpa mengedepankan musyawarah, hal ini juga akan menjadi persoalan.
Karena adanya pergeseran sosial ini, pola pikir juga berubah sehingga bekerja, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah, adalah tanggung jawab bersama. Demikian juga uang yang dihasilkan oleh suami dan istri adalah uang keluarga yang perlu dikelola dengan mengedepankan musyawarah dan keridhaan antar semua anggota keluarga.
Dengan demikian, insyaAllah akan terwujud keluarga sakinah tanpa beban berlebih, pelabelan negatif, diskriminasi, kekerasan, dan juga subordinasi antar anggota keluarga. Marilah kita pasrahkan rezeki kepada Sang Pemberi Rezeki itu sendiri, Allah swt., karena takdir itu di ujung ikhtiar.
“Ya Allah, cukupilah aku dengan rezeki-Mu yang halal sehingga aku terhindar dari yang Engkau haramkan. Ya Allah, kayakanlah aku dengan karunia-Mu sehingga aku tidak meminta kepada selain Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat (bagi diriku dan orang lain), rezeki yang halal, dan amal yang diterima.”
*Ketua LPPA PPA, Anggota MTT PPM, Komisioner Komnas Perempuan