Oleh: Fikry Fahrurrizal
Ketika ayah angkatnya, R. Cokrosunaryo, meninggal dunia, keluarga Sudirman mengalami kemunduran dalam hal ekonomi. Keadaan tersebut mengancam kelanjutan sekolahnya, karena kesulitan membayar biaya. Bahkan ibu angkatnya, Turidawati, sempat menyampaikan kepada MULO Wiworotomo, bahwa Sudirman tidak dapat melanjutkan sekolah (Sardiman, 2000: 31).
Di tengah keadaan yang memprihatinkan tersebut, Sudirman remaja memilih mendekat kepada Allah swt. Ia memangkas waktu tidurnya untuk mendirikan salat malam dan mengisi hari-harinya dengan puasa sunah. Sebagaimana janji-Nya kepada orang-orang yang memelihara agama, Allah swt. menepatinya kepada Sudirman. Melalui pertolongan-Nya Sudirman tetap melanjutkan sekolah dan dibebaskan dari biaya.
Masa Penyemaian Kesalehan
Momen di atas hanyalah sebuah cuplikan dari keseluruhan cerita yang menggambarkan betapa Sudirman teguh memegang ajaran Islam. Keteguhan yang tidak hanya tercermin pada ibadah ritual semata, tapi juga terwujud dalam dan menjiwai perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Relijiusitas yang dimiliki Sudirman tersebut tidak lahir dalam semalam. Kesalehannya disemai sejak pria yang digelari pahlawan nasional ini tumbuh di masa kecil.
Sudirman kecil adalah bagian dari masa ketika belajar agama di surau merupakan hal yang digemari anak-anak. Ia kerap berangkat mengaji selepas magrib bersama adiknya, Moh. Samingan, di surau dekat rumah di Kampung Manggisan, Cilacap. Ia mempelajari al-Quran, membiasakan diri ibadah salat, dan mengumandangkan adzan di bawah didikan KH. Qahar. Pelajaran dan kesadaran agama juga ia dapatkan dari guru-guru agamanya di sekolah, seperti Saidun dan R. Moh. Kholil Marto Saputro. Masa-masa inilah yang mempengaruhi kesalehan ritual Sudirman di kemudian hari.
Baca Juga
Secara pribadi, Sudirman merupakan perpaduan dari kultur wong cilik dan kultur priyayi. Kultur wong cilik seperti sederhana, laku prihatin, dan kerja keras ia warisi dari orang tua kandungnya, yakni Karsid dan Siyem. Sedangkan kultur priyayi seperti adat istiadat, sopan santun, unggahungguh, dan menghargai akhlak yang luhur ia dapatkan dari didikan orang tua angkatnya, R. Cokrosunaryo dan Turidawati. Lingkungan keluarga dengan dua kultur tersebut kemudian membentuk kesalehan sosial Sudirman yang mengiringi kesalehan ritualnya.
Semakin Matang di Muhammadiyah
Kehidupan keagamaan Sudirman semakin dinamis sejak aktif di gerakan Islam, Persyarikatan Muhammadiyah. Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW) merupakan pintu masuk Jenderal kelahiran 1916 tersebut mengenal Muhammadiyah. Keterlibatannya di HW adalah hasil ghirah Sudirman mendalami sejumlah ajaran dan amalan Islam.
Saat aktif dan memimpin HW pula, Sudirman berkesempatan memadukan kegiatan dan semangat ala gerakan kepanduan dengan amalan dan semangat keislaman. Di samping tetap mengasah ritus keagamaan seperti salat berjamaah, kajian keislaman, dan tadabbur alam, HW mengajarkannya kepemimpinan dan soft skill, serta keterampilan praktis dan kekuatan fisik. Fase ini yang menjadi fondasi kiprah Sudirman sebagai prajurit.
Baca Juga
Kisah Perjalanan 1.200 Km AR Fachruddin Muda
Pada tahun 1937, Sudirman terpilih menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Wilayah Banyumas, setara dengan Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) saat ini. Karakternya yang terpuji dalam berbagai aspek, serta kemampuannya berbicara dengan rakyat yang tercermin dari ceramah-ceramahnya, menjadi alasan kuat ia diamanahi posisi ini.
Kepiawaiannya dalam bersikap, berbicara, dan bergaul membuat Sudirman kerap terpilih sebagai utusan dari wilayah Banyumas untuk Kongres Muhammadiyah (sekarang muktamar) bersama tokoh Muhammadiyah lainnya. Bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta tahun 1939, Sudirman mengusulkan agar setiap pandu HW mengenakan celana panjang, sehingga bila waktu sholat tiba tidak perlu sulit-sulit mencari sarung. Hingga saat ini pandu HW mengenakan seragam dengan celana panjang (2000: 63).
Lama berproses di Muhammadiyah menjadikan Sudirman sosok yang memahami Islam cukup dalam. Ditambah keterampilan berbicara di depan umum yang ia dapat sejak sekolah, dan lebih-lebih di Muhammadiyah, Sudirman kerap memberikan ceramah-ceramah keagamaan dan menjadi seorang mubaligh. Menariknya, kebanyakan materi dakwah yang dibawakannya bukanlah persoalan fiqh yang sarat khilafiyah, melainkan materi seputar ajaran tauhid dan kesadaran kebangsaan. Sudirman mampu membaca kondisi umat yang perilakunya jauh dari prinsip tauhid, serta dikungkung kesadarannya oleh penjajahan.
Atsar Kesalehan dalam Perjuangan
Betapa kesalehan yang dimiliki Sudirman bukan hanya persoalan ritual, tetapi juga terwujud menjadi kesalehan sosial. Hal itu tercermin pada bagaimana ajaran Islam menjiwai laku kehidupan sehari-hari Sudirman dan perjuangannya melawan penjajahan. Atsar atau jejak dari penghayatan Sudirman terhadap ajaran Islam yang mempengaruhi perjuangan misalnya adalah ajaran tauhid. Tauhid mendoktrin umat Islam untuk tunduk hanya kepada Allah Swt. sehingga tidak ada alasan bagi Sudirman untuk tunduk kepada penjajah, yang ditunjukkan dengan tidak pernah sekalipun Sudirman melakukan kompromi dengan pihak penjajah.
Selain itu, ada doktrin jihad yang Sudirman dalami ketika aktif di HW dan Pemuda Muhammadiyah yang menjadi ruh perjuangan. Sudirman pernah berdialog dengan anak buahnya, Hardjomartono, pada pengajian Pemuda Muhammadiyah di Rawamalo, Banyumas. Sudirman berkata bahwa Pemuda Muhammadiyah memiliki musuh penghalang, yakni penjajah yang munkar itu. Maka mereka harus siap berjuang mendapat kemuliaan hidup, dan siap mati syahid untuk meraih kemerdekaan. Hidup mulia dan mati syahid yang diajarkan Sudirman, karena baginya dua hal tersebut dapat diraih bersamaan.
Hal yang sama tetap Sudirman ajarkan setelah menjadi Komandan Divisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), bahwa ajaran jihad perlu dijiwai seorang prajurit. Seperti pada pertempuran Ambarawa, ia mengobarkan semangat jihad, bekerja sama dengan Kiai Siraj dari Payaman. Kiai Siraj ini pula yang mengirimkan santri-santrinya berjihad bersama Sudirman (2000: 256).
Sepak terjang Jenderal Sudirman sejak kecil, masa pemuda, hingga masa perjuangan melawan penjajah membuktikan satu hal: semangat keislaman tidak pernah bertentangan dengan upaya menegakkan perjuangan kebangsaan. Justru ajaran Islam mampu menjiwai perjuangan kemerdekaan, karena yang dilawan adalah kemungkaran melalui tangan-tangan penjajah. Pergulatan Jenderal Sudirman mendalami ajaran Islam membawanya menjadi sosok yang saleh di satu sisi, dan nasionalistis di sisi lain. Siapa yang ingin meragukan kesalehan dan nasionalisme Jenderal Sudirman?