
life-long-learning
Oleh: Siti ‘Aisyah
Tradisi keilmuan dalam Islam berkembang sejak wahyu pertama yang menandai risalah kenabian diterima Nabi Muhammad saw. Lima ayat di awal surah al-’Alaq [96], ayat 1-5, mengisyaratkan tradisi keilmuan dalam risalah kenabian yang membawa misi raḥmatan lil-ʻālamīn.
Perpaduan ‘ulūm ad-din dan ulum ad-dunya menjadi karakteristik tradisi keilmuan Islam. Semua ilmu berasal dari Allah. Ada ilmu yang tertulis dalam al-Quran (ayat-ayat qur’āniyah) dan ada ilmu yang tertulis dalam jagad raya (ayat-ayat kauniyyah), termasuk di dalamnya ayat-ayat nafsiyyah yang berada dalam diri manusia, seperti wahyu pertama yang ditanzilkan Allah swt. kepada Nabi Muhamamd saw. melalui malaikat Jibril as. di gua Hira.
Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan sepanjang hayat telah menjadi tradisi dalam masyarakat Islam. “Uṭlub al-’ilma minal-mahdi ila al-laḥdi”, carilah ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat. Seorang ibu yang sedang hamil sudah mulai memberikan semangat keilmuan dan tradisi intelektualisme kepada anaknya yang sedang dikandung melalui aktivitas ilmu dan doa dalam kesehariannya.
Dalam kehidupan rumah tangga, dari sejak bangun tidur hingga menjelang tidur, diwarnai oleh nuansa keilmuan. Semua aktivitas dan upaya meraih kualitas kehidupan menjadikan pendidikan sepanjang hayat sebagai prinsip atau spirit hidup dengan niat ibadah hanya kepada Allah swt. Dengan demikian, pembudayaan kultur ilmiah akan menyatu dalam diri seseorang yang beriman melalui proses pendidikan sepanjang hayat yang dilakukan secara sistemik, tanpa terbatas oleh ruang dan waktu, di manapun dan kapan pun berada. Hal ini merupakan implementasi pesan Rasulullah saw. melalui sabda beliau:
حدثنا أبو هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يقول الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله وما والاه أو عالما أو متعلما (رواه إبن ماجه)
Artinya, “Abu Hurairah berkata, saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda: ”dunia itu dikutuk, begitu pula yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali yang mengingat Allah dan yang mengikutinya, yang berilmu atau yang menuntut ilmu” (HR. Ibnu Majah).
Baca Juga
Pendidikan Keluarga menuju Islam Berkemajuan
Pendidikan, sebagai usaha sadar untuk mengembangkan potensi manusia semenjak lahir menuju terbentuknya insan yang berpribadi paripurna, bermula dari keluarga. Manusia lahir dalam keadaan lemah, tetapi membawa potensi-potensi kemanusiaan yang akan berkembang sesuai arah pendidikan (QS. an-Nahl [16]: 78).
Potensi tauhid merupakan potensi dasar kemanusiaan yang Allah bekalkan pada setiap insan yang lahir dari rahim perempuan (QS. al-A’raf [7]: 172) . Potensi tauhid itulah yang mendasari, menjiwai, dan tercermin dalam potensi-potensi lainnya seperti ’abdiyyah, khalîfiyyah, aqliyyah, dan jasadiyyah, yang selanjutnya akan menjadi kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan yang harus dipenuhi melalui proses pendidikan.
Orang tua bertanggung jawab atas terlaksananya proses pendidikan tersebut. Dalam penjabarannya, potensi-potensi tersebut bila dikembangkan secara optimal akan berbentuk menjadi berbagai kecerdasan, yaitu kecerdasan spiritual, intelektual, sosial-emosional, ekologis dan nafsiyah.
Urgensi Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga adalah hal penting, sebagai amanat Allah kepada keluarga mukmin untuk menyiapkan generasi berkualitas.
يا أيها الذين أمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya ialah manusia dan batu…” (QS. at-Tahrîm [66]: 6).
Menjaga diri dan keluarga dilakukan melalui pendidikan keluarga. Peran orang tua sangat strategis dalam membentuk manusia yang baik dan berkualitas. Hal ini disebabkan karena orang tua atau walilah yang meletakkan dasar-dasar akidah, moral, akhlak dan budi pekerti. Orang tua yang sejak awal mengetahui dan memahami bakat anaknya. Orang tua yang sedari mula mengetahui karakter dasar anak. Karenanya, dengan pengetahuan tersebut, orang tua bisa memupuk bakat-bakat yang baik dan menekan bakat-bakat buruk yang dapat merusak masa depan anak.
Oleh sebab itu, lembaga keluarga harus menjadi tempat pendidikan pertama dan utama untuk mendasari pendidik-an secara keseluruhan. Dengan demikian, setiap keluarga muslim harus menjadikan keluarga sebagai tempat menyemaikan benih-benih kemanusiaan secara utuh. Hal ini dapat dimulai dari sisi keyakinan, sikap hidup, kebiasaan-kebiasaan yang baik, sampai kepada intelektualitas yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Berbagai macam pendekatan pendidikan dapat dilakukan dalam keluarga. Salah satu pendekatan penting dalam pendidikan adalah pendekatan keteladanan. Pendidikan keluarga yang diarahkan pada adanya perubahan tingkah laku anak-anak ke arah kebaikan, keutamaan, dan kemuliaan, menempatkan keteladanan orang tua dan orang dewasa lainnya sebagai pendekatan utama. Hal ini menjadikan orang tua sebagai role model, sumber identifikasi, dan sumber imitasi perilaku baik. Perbuatan nyata yang dapat diamati, dirasakan, dan langsung dilakukan akan lebih membekas dan tertanam kuat dalam jiwa anak-anak.
Baca Juga
Refleksi Hari Kartini: Kesetaraan Gender dalam Pendidikan Islam
Dalam keluarga, keteladanan orang tua diikuti anak-anak tanpa batas waktu. Oleh karena itu, keteladanan orang tua dan orang dewasa lainnya menjadi keniscayaan. Sebaliknya, pengetahuan baik yang diterima dari sekolah atau sumber pendidikan lainnya, lebih sulit untuk membekas dan ditunaikan, bila tidak ada keteladanan yang baik. Yang ditemukan justru perilaku kurang baik yang bertentangan dengan pengetahuan kebenaran dan kebaikan yang diterimanya. Untuk itulah keteladanan keluarga dalam berilmu menjadi keniscayaan dalam keluarga.
Penting dan strategisnya keteladanan telah diisyaratkan dan dituntunkan Allah dengan menempatkan Rasulullah saw. sebagai uswah hasanah.
لقد كان لكم فى رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الأخر وذكر الله كثيرا
Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. al-Ahzab [33]: 21).
Beberapa tradisi keilmuan yang dapat diteladankan dalam keluarga antara lain sebagai berikut. Pertama, membaca, memahami, dan menghafalkan al-Quran sebagai sumber segala ilmu. Kebiasaan orang tua dalam bertadarus, tahfizh dan tafhim al-Quran menjadi kebiasaan keluarga, misalnya, tadarus al-Quran setiap bakda maghrib dan bakda subuh. Tradisi keilmuan al-Quran diperdalam dengan memahami isi al-Quran melalui kajian tafsir. Ada baiknya untuk menyiapkan mushaf al-Quran, tafsir al-Quran, serta audio dan video al-Quran untuk menguatkan tradisi tahsin, tahfizh, dan tafhim al-Quran tersebut.
Kedua, pendidikan dikembangkan ke arah semangat menuntut pendidikan formal anak-anak, mulai pra-sekolah, pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi, sesuai dengan kondisi keluarga. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah pemilihan kualitas dan lingkungan pendidikan islami sesuai dengan bakat dan minat anak-anak. Tradisi belajar setelah tadarus yang diteladankan orang tua, diikuti anak-anak tanpa paksaan. Minimal, ada dua jam wajib belajar sebagai waktu khusus untuk belajar yang didukung seluruh anggota keluarga. Penghargaan keluarga terhadap kesungguhan anak-anak dalam belajar dapat memperkuat tradisi keilmuan.
Ketiga, tradisi membaca ditanamkan dan dibiasakan sejak usia dini melalui pengenalan buku-buku bacaan dengan berbagai gambar warna-warni yang disukai anak. Pendampingan orang tua dalam menanamkan kecintaan pada buku sebagai pintu ilmu hendaknya dilakukan sejak usia dini. Kebiasaan ini harus terus dikembangkan pada usia sekolah. Hadiah buku pada momen-momen penting dan bahagia dapat memperkuat tradisi keilmuan.
Keempat, sumber ilmu melalui elektronik dan media sosial bagus dikenalkan pada anak-anak dengan mengedepankan selektivitas, kedisiplinan, serta pemilihan tema dan bentuk sumber belajar. Film anak-anak, video nyanyian, tarian, gerak dan lagu sangat disukai anak-anak. Pendampingan yang bersifat edukatif oleh orang tua sangat diperlukan untuk menanamkan tradisi keilmuan.
Baca Juga
Pendidikan yang Menumbuhkan Pribadi Berkehidupan Qur’ani
Kelima, ruang pustaka perlu diadakan di dalam rumah dengan menyediakan bahan-bahan bacaan, majalah, dan surat kabar, meski sederhana. Keluarga yang tidak memungkinkan untuk menyediakan ruang khusus bagi aktivitas kepustakaan ini dapat bekerja sama dengan pengurus ’Aisyiyah Ranting atau remaja masjid untuk menginisiasi ruang pustaka di masjid, mushala, balai RW, atau amal usaha ’Aisyiyah.
Keenam, meneladani Rasulullah saw. sebagai uswatun hasanah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pengembangan keilmuan. Mengkaji keteladanan Rasul melalui sirah dan hadis adalah wujud transmisi keilmuan yang positif.
Ketujuh, kajian-kajian keislaman dan keilmuan dengan pendekatan bayani, burhani, dan ’irfani perlu dilakukan untuk merespon permasalahan yang muncul dalam kehidupan. Keputusan dan fatwa tarjih dapat menjadi sumber belajar yang dikaji atau didiskusikan dalam keluarga.
Berikutnya, pertemuan keluarga yang bernuansa tradisi keilmuan perlu diinisiasi, misalnya dalam bentuk pembiasaan kultum (kuliah tujuh menit) secara bergiliran dari anggota keluarga setelah salat berjamaah.
Keteladanan keilmuan yang dikokohkan ini diharapkan dapat membentuk keluarga sebagai pusat tradisi keilmuan dan pusat peradaban yang mampu memberdayakan setiap anggota keluarga. Dengan demikian, setiap anggota keluarga dapat mengembangkan potensi diri menuju pribadi paripurna dan menjadi embrio peradaban masyarakat yang berkemajuan.