Oleh: Mukhaer Pakkanna*
Dalam membedah kemiskinan, stratum tergawat sesungguhnya berada di tangan kaum perempuan. Bahkan, kemiskinan kerap identik dengan kehidupan perempuan. Meruyaknya kasus kekerasan seksual, prostitusi, buruh migran, trafficking, dan kekerasan lainnya, secara tidak langsung diatributkan pada kemiskinan perempuan. Ironisnya lagi, di bidang ekonomi, kaum perempuan yang jumlahnya 52,7% dari total populasi penduduk dunia, ternyata hanya memiliki seperseribu dari jumlah kekayaan dunia, dan hanya menerima 10% dari total gaji (World Bank, 2020).
Muhammad Yunus, pemenang Nobel 2006 juga berpendapat bahwa tidak mungkin bicara kemiskinan jika tidak melibatkan perempuan. Sebagai seorang bankir dari Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro, ia melihat perempuan peminjam lebih produktif menggunakan uangnya daripada suami. Kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang laki-laki. Perempuan mengalami kelaparan dan kemiskinan lebih hebat dari laki-laki. Jika ada anggota kerluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama-tama akan mengalaminya.
Memang, perempuan menjadi korban kemiskinan yang paling besar. Data World Bank (2020) melaporkan, dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 70 persennya adalah perempuan. Di Indonesia (BPS, 2020), dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 32,53 juta jiwa (14,15%), 70% dari mereka adalah perempuan.
Karena itu, topik utama untuk mereduksi tingkat kemiskinan perempuan, yakni pemberdayaan. Pemberdayaan perempuan sejatinya adalah aksesibilitas. Amartya Sen (10981) menyatakan, kemiskinan terjadi akibat capability deprivation (kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang). Ketidakbebasan masyarakat yang substansif itu berkaitan langsung dengan kemiskinan ekonomi. Dengan demikian, kemiskinan diakibatkan keterbatasan akses. Jika manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, akibatnya manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat dilakukan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.
Baca Juga: Zakat Produktif dan Pemberdayaan Ekonomi Umat
Sejak pandemi Covid-19 awal tahun 2020, perempuan riskan mengalami pelbagai masalah, mulai dari tripple burden of women (Sadli, 2008; Asmorowati, 2005), kehilangan mata pencarian, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, hingga mengalami kekerasan berbasis gender. Di sisi lain, pandemi juga membuka akses bagi perempuan berkontribusi memerangi Covid-19 dan mendukung perekonomian yang dapat dimulai dari tingkat keluarga.
Merujuk pada survei Women Count dari UN Women dan The United Nations (UN) Covid-19 berjudul “Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”, melaporkan bagaimana Covid-19 mengekspos kerentanan perempuan (vulnerability of women) terhadap turbulensi ekonomi dan memperdalam ketidaksetaraan yang sudah ada di Indonesia sejak sebelum pandemi.
Beberapa temuan menarik dari laporan ini di antaranya perempuan di Indonesia banyak bergantung dari usaha keluarga, tetapi 82% dari mereka mengalami penurunan dalam sumber pendapatan. Kendati 80% laki-laki juga mengalami penurunan serupa, fakta membuktikan bahwa laki-laki mendapatkan keuntungan dari sumber pendapatan yang lebih luas.
Selain itu, sejak pandemi, 36% perempuan, dibandingkan 30% laki-laki pekerja informal, harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka. Terakhir, pembatasan sosial membuat pekerjaan rumah tangga tak berbayar menjadi layanan dasar penting, tetapi perempuan memikul beban terberat: 69% perempuan dan 61% laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga tak berbayar. Demikian pula, 61% menghabiskan lebih banyak waktu untuk kerja pengasuhan tak berbayar, dibandingkan 48% laki-laki.
Oleh karena itu, tatkala perempuan diizinkan bekerja sesuai profesi yang mereka inginkan, memiliki akses terhadap jasa keuangan, dan dilindungi oleh hukum dari kekerasan rumah tangga, maka kaum perempuan bukan saja lebih berdaya dan mandiri secara ekonomi, melainkan juga berumur panjang. Semakin banyak perempuan punya kendali terhadap pendapatan rumah tangga, semakin besar partisipasi mereka dalam aktivitas ekonomi. Semakin banyak perempuan masuk sekolah menengah, semakin besar pula keuntungan untuk anak-anak mereka, masyarakat, dan negara.
Dengan demikian, pemberdayaan perempuan terkait erat dengan dampak kemandirian. Kemandirian perempuan miskin terkait akses dan kontrol perempuan di rumah tangga dan di luar rumah tangga. Dalam kaitan itu, yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengaitkan dengan program financial inclusion (inklusi keuangan), yakni berikan porsi pembiayaan lebih besar kepada nasabah perempuan dalam proses pemberdayaan.
Inklusi keuangan tentu berbasis ekonomi digital. Digitalisasi dapat menjadi sebuah solusi. Merujuk studi Lestariningsih dll. (2017) bahwa peningkatan 10% akses internet terhadap perempuan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 0,51%. Peningkatan ini lebih besar dibandingkan dengan pria, yaitu 0,43%. Jika digerakkan secara efektif, usaha mendigitalisasi pelaku usaha mikro perempuan juga dapat berkontribusi meningkatkan angkatan kerja perempuan dan selanjutnya memperkecil indeks ketimpangan gender di tanah air.
Mengonfirmasi studi UNDP (2020), partisipasi perempuan dan laki-laki pada angkatan kerja Indonesia masih timpang, 82% laki-laki dan 53% perempuan di atas usia 15 tahun pada 2019. Digitalisasi atau penggunaan internet dalam transaksi jual beli menjadi salah satu cara efektif agar pelaku usaha ultramikro dan mikro tetap dapat menjalankan usahanya. Menurut survei BPS pada 2020, empat dari lima pengusaha yang memasarkan produknya secara daring mengalami peningkatan penjualan.
Bukti ini diperkuat oleh laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2020) yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan konsumen digital sebanyak 37% akibat pandemi. Karena itu, sejatinya baik pemerintah, sektor privat, organisasi kemasyarakatan (ormas), hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM), melaksanakan program-program pemberdayaan ini untuk memudahkan transformasi digital usaha ultramikro dan mikro secara masif dan terukur.
Baca Juga: Perempuan dalam Bingkai Filantropi
Sejak dikeluarkan regulasi tentang bank nirkantor yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 19/POJK.03/2014 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif, OJK mulai merangsek jauh ke pelosok desa. Bank nirkantor adalah transformasi pelayanan konvensional bank di kantor-kantor menjadi pelayanan di agen-agen. Namun, jauh sebelumnya, hasrat untuk mengejawantahkan keuangan inklusif mendapat momentum.
Pemicu pertamanya, secara eksternal adalah adanya kesepakatan G-20 Pittsburgh Summit 2009, di mana anggota G-20 sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok in the bottom of the pyramid. Ada sembilan prinsip inovatif financial inclusion sebagai pedoman pengembangan keuangan inklusif. Prinsip tersebut antara lain leadership, diversity, innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan framework.
Kedua, secara internal, mengonfirmasi data Bank Indonesia (2018), rakyat kita yang berhubungan dengan bank masih rendah, yakni sekitar 48% dengan layanan perbankan yang masih terpusat di Jawa. Sementara, hanya 20% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand 77%, Malaysia 66%, Tiongkok 64%, India 35%, dan Filipina 25%.
Demikian pula pembiayaan kegiatan ekonomi rakyat belum signifikan dengan pangsa kredit sekitar 20% atau Rp612 triliun. Konsekuensinya, deposit to GDP ratio masih di bawah 50% dan loan to GDP ratio masih kisaran 35%, jeblok di bawah rerata di kawasan Asia Pasifik. Rendahnya tingkat literasi lembaga keuangan formal pada kelompok perempuan pada level in the bottom of the pyramid tentu bukan tanpa alasan. Alasan klasikalnya, mereka tidak memiliki kolateral, bank lebih familiar membiayai usaha berskala besar, dan prosedur permohonan pembiayaan yang rigid. Konsekuensinya, solusi ditempuh rakyat kecil dan kaum perempuan rentan dengan meminjam pada individu atau lembaga non-keuangan ilegal, dengan pelbagai risiko, yakni pengenaan bunga mencekik.
* Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta