Oleh: Anik Riyati*
Kita pernah mendengar istilah “ra-dianggap” bukan? Benar, itu istilah yang berasal dari Bahasa Jawa. Artinya tidak dianggap atau dicuekin.
***
Setiap orang ketika ia ditanya bagaimana rasanya ra-dianggap, pasti punya jawaban sama. Apalagi orang yang bersangkutan adalah sosok yang kita sayangi, atau kita hormati dan bertemu terus menerus. Wah, mungkin jauh lebih mendalam. Ra-dianggap itu rasanya tidak enak, bikin nyesek, nyebelin, dan menjengkelkan. Kalau sudah ra-dianggap rasanya sakit di hati. Bukan ingin lebai, tapi kalau secara terus menerus ra-dianggap, seolah dunia menjadi sempit, serba salah, dan mati gaya.
Ada sebuah kasus pertengkaran pasangan suami-istri yang baru enam bulan menikah. Pertengkaran bermula dari lupanya suami pada ulang tahun istrinya. Waktu itu, suami sedang sibuk bekerja dan menghadapi kendala bangkrutnya usaha. Bahkan perusahaannya sampai harus melepas beberapa karyawan akibat devisit usahanya.
Suatu ketika, sang istri yang berlatar belakang orang kaya dan anak tunggal, merasa suaminya telah berubah, hingga pertengkaran besar terjadi. Hal ini membuat kedua orang tua pasangan tersebut ikut campur dalam menyelesaikan masalah. Hingga terungkaplah masalah rumah tangga mereka, yakni suami yang lupa dengan ulang tahun istrinya.
Setelah sebab-sebabnya diceritakan oleh suami, sang istri pun lalu memahami bahwa suaminya yang anak pertama sedang memikirkan banyak hal. Bukan hanya keluarga barunya, tetapi juga adik dan orang tuanya yang mulai sakit-sakitan. Meski demikian, sang suami berusaha tidak membebani pikiran istrinya.
Ada pelajaran menarik dari kisah tersebut. Ketika kita mendapat perlakuan ra-dianggap, dan langsung merespons dengan pasif, yakni terlalu diambil hati dan dipikirkan, maka bukan tidak mungkin imunitas tubuh kita akan melemah. Tubuh yang lemah akhirnya memicu timbulnya penyakit yang siap menyerang tubuh. Hal ini bisa terjadi karena kita mengalami ketergantungan terhadap perhatian orang lain.
Padahal, penyebab utamanya sebenarnya bukan karena pengabaian itu, melainkan karena kita telah membiasakan diri untuk berharap yang lebih. Tidak menerima apa yang diharapkan lebih sakit daripada kebaikan yang diabaikan. Hal itu karena harapan berakibat pada kekecewaan, sedangkan kebaikan yang dilakukan adalah bentuk tanggung jawab.
Sebaliknya, ada di antara kita yang mengalami rasa tidak enak hati seperti itu, walaupun orang yang melakukan secara tidak sadar sudah melakukannya. Dengan kata lain, orang bersikap cuek karena dia sendiri dalam masalah yang belum terselesaikan, sehingga kurang responsif dengan lingkungan.
Baca Juga: Pramurukti: Merawat Orang Tua dengan Hati dan Dedikasi
Bagi orang yang aktif dalam mencari kebahagiaan dan kepuasan, ra-dianggap bukanlah masalah besar yang harus dipikirkan, meski terlihat menyakitkan. Hal ini karena ia telah mampu mengolah jiwanya. Kehidupan seseorang sangat bergantung pada kemampuan diri dalam mengelolanya.
Dalam konteks pasangan yang telah lama menikah, bukan tidak mungkin mengalami hal serupa, apalagi jika antara suami dan istri mempunyai latar belakang budaya dan gaya komunikasi yang berbeda. Istilah Bahasa Jawa ada yang namanya “ceplas ceplos”.
Istilah ini mengacu pada pola komunikasi yang sering tidak bertimbang rasa, hingga menyinggung perasaan orang lain. Hal ini sering terjadi tidak hanya di lingkungan keluarga, tetapi kadang juga muncul pada lingkungan sosial tempat kita tinggal, hingga untuk menenteramkan hati perlu bongkar stok kesabaran.
Beruntunglah kita sebagai orang mukmin telah mendapat contoh dari Rasulullah saw. Beliau ingatkan kita dalam sabdanya (yang artinya), “ada tiga golongan manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doanya orang yang didzalimi. Allah akan mengangkat doanya sampai di atas awan dan dibukakan pintu-pintu langit untuknya. Dan Allah swt. berfirman: Demi keagungan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu meskipun tidak serta merta” (H.R. Tirmidzi).
Berat mengobati sakit hati dan memaafkan, tapi kita harus bisa melaluinya dengan cara yang diajarkan Rasulullah saw. Ini semua dilakukan agar hati kita menjadi lapang, agar kita memiliki target keselamatan di dunia dan di akhirat.
Lebih dari itu, jika kita menyimpan rasa sakit hati, kita akan terjebak pada sikap mendzolimi diri sendiri; sulit makan, sedih, dan kalut jika mengenangnya. Dengan kata lain, kita mengajak mental kita sakit, yang akhirnya memicu sakit fisik karena ada tekanan mental. Besar kecilnya tekanan telah mendorong ketidakseimbangan hormon yang bekerja pada tubuh kita.
Ingatlah sabda Rasulullah saw (yang artinya), “tidaklah seseorang memaafkan kedzaliman (terhadap dirinya) kecuali Allah akan menambah kemuliaannya” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi).
Dari hadist ini jelas, kita perlu menetralisir diri dan hati jika mendapat kedzaliman. Upaya ini perlu perjuangan yang tidak mudah, karena setiap manusia memiliki ego dan ingin dihargai. Akan tetapi, Alloh swt. lebih tahu apa yang terjadi pada hamba-Nya, dan Dia menghargai upaya hamba-Nya.
Dari sini juga dapat kita ambil pelajaran bahwa ada sedekah yang tidak harus dengan harta benda dan senyum, yang bisa dilihat dan tampak oleh orang lain. Ada sedekah berupa kelapangan hati, yaitu memaafkan orang lain.
Bahkan, membuat hati orang lain senang itu juga bagian dari sedekah berupa kelapangan hati.
Untuk itu, bila kita sedang disakiti, marilah meminta kepada Allah swt. untuk diberikan kekuatan agar bisa memaafkan, bisa mendapatkan hikmah agar kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dan mendapat limpahan pahala atas kesabaran menghadapi rasa sakit hati tanpa membalasnya.
* Wakil PDA Tulang Bawang, Guru Geografi dari SMAN 1 Banjar Margo