Di tengah huru-hara “pembersihan” komunis pada 1965, Muhammadiyah memilih tidak mengikuti arus. Alih-alih menempuh jalan pedang, di bawah kepemimpinan Pak AR Fachruddin, Muhammadiyah lebih memilih jalan dakwah.
***
Pada waktu itu, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang menjadi korban kebengisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada yang disiksa, bahkan dibunuh. Oleh karena itu, ketika pemerintah Indonesia mengimbau segenap rakyatnya untuk menumpas habis orang-orang komunis, sikap yang dipilih Muhammadiyah dinilai terlalu lunak.
Akan tetapi, ada alasan lain di balik sikap tersebut. Muhammadiyah menilai bahwa pengikut dan simpatisan PKI masih punya peluang bertaubat, apalagi banyak di antara mereka yang sebenarnya beragama Islam. Selain itu, beberapa warga ditangkap dan dihukum hanya atas dasar prasangka keterlibatan mereka dengan PKI.
Dengan alasan tersebut, tidak heran jika Pak AR bersama tokoh Muhammadiyah yang lain lebih memilih menemui tokoh dan simpatisan PKI lalu mengenalkan mereka pada ajaran Islam yang damai dan sejuk. Sebagai konsekuensi dari pilihan ini, “muncul tuduhan jika ada tokoh Muhammadiyah yang berusaha melindungi orang-orang komunis” (Musyafa, 2020: 284).
Ada yang berpandangan, memburu, menangkap, dan membunuh orang-orang komunis adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Pemaknaan jihad inilah yang tidak disetujui Pak AR. Baginya, huru-hara 1965 tidak boleh disikapi dengan gegabah dan serampangan, tapi harus hati-hati.
Lembut tapi Tegas
Tuduhan bahwa Muhammadiyah bersikap lunak terhadap orang-orang komunis tentu tidak tepat. Muhammadiyah sejatinya hanya menginginkan agar mereka kembali ke jalan yang benar, dan kalaupun mereka terbukti salah, hukum harus ditegakkan secara adil. Jangan sampai hanya atas dasar prasangka dan curiga, banyak warga tak bersalah menjadi korban.
“AR sangat berhati-hati karena dia tidak ingin salah dalam mengambil keputusan, sehingga justru membawa kerugian pada masyarakat yang tidak bersalah” (Musyafa, 2020: 286).
Baca Juga: Kedekatan Pak AR Fachruddin dengan Orang di Luar Muhammadiyah
Selain bersikap hati-hati, Pak AR juga bersikap tegas. Dakwah kepada orang-orang komunis memang tidak mudah. Sebagian memang ada yang menerima ajakan kepada Islam, tetapi sebagian yang lain memilih sikap penolakan.
Kepada mereka yang menolak ajakan kembali ke jalan kebenaran itu, Muhammadiyah akan melakukan pengawasan. Tujuannya adalah ketika ada tindakan mencurigakan, mereka bisa segera dilaporkan.
Lima Bentuk Jihad
Pak AR tidak memaknai jihad hanya sebatas pada perang. Menurut Musyafa, ada lima bentuk jihad dalam pandangan Pak AR. Pertama, melawan hawa nafsu. Jihad dalam makna ini punya kedudukan tinggi dan utama di dalam ajaran Islam.
Kedua, menjaga keluarga agar terhindar dari goyahnya iman dan Islam. Dalam hal ini, suami, istri, dan anak punya peran masing-masing.
Ketiga, melawan kemaksiatan di masyarakat. Caranya adalah dengan melakukan peringatan dan penyadaran terhadap orang-orang yang mengganggu ketertiban lingkungan sekitar.
Keempat, melawan penguasa dzalim. Kepada penguasa yang bertindak sewenang-wenang, meski sulit, nasihat tetap perlu disampaikan. Menurut Pak AR, umat Islam berkewajiban mendorong seorang pemimpin berlaku baik dan bertindak adil.
Kelima, jihad fisik. Menurut Pak AR, terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan menandai berakhirnya jihad dalam makna fisik. Apalagi bangsa Indonesia sudah punya kesadaran untuk menghormati dan menghargai satu sama lain.
“Maka, dalam suasana seperti ini, jihad yang harus dilakukan adalah menyumbangkan tenaga, pikiran, dan waktu untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik,” (Musyafa, 2020: 288). (bariqi)