
perempuan
Suatu hari, amirul mukminin Umar bin Khaththab mendapati di depannya berdiri seorang perempuan tua. Perempuan itu lantas mengucapkan untaian nasihat kepada Umar untuk tetap bertakwa kepada Allah swt. Umar yang tahu betul derajat perempuan tua itu di hadapan Allah, mendengarkannya dengan penuh khidmat.
Sikap penghormatan Umar ini sampai mengundang tanya para pengiringnya: “siapa sebenarnya perempuan tua itu?” Umar ra. pun menjawab, “Demi Allah! Sekiranya ditahannya aku sejak pagi sampai petang hari, tidaklah aku akan bergerak dari tempatku berdiri kecuali untuk salat lima waktu! Tahukah kalian siapa perempuan itu? Itulah Khaulah binti Tsa’labah, yang didengar Tuhan perkataannya dari langit yang ketujuh. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Segalanya mau mendengar perkataannya, sedangkan Umar tidak?”
***
قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا وَتَشْتَكِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌۢ بَصِيرٌ (1) ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَٰتُهُمْ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔى وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ ٱلْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا۟ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَآسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِۦ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَآسَّا ۖ فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۗ وَلِلْكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)
Artinya, “sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab di antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” (Q.S. al-Mujadilah [58]: 1-4).
Ya, perempuan yang keluhannya didengar oleh Allah sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Mujadilah [58]: 1 adalah Khaulah binti Ta’labah. Ia merupakan istri dari Aus bin Shamit. Dalam sebuah riwayat hadits, Khaulah menghadap Rasulullah saw. untuk mengadukan tindakan suaminya.
Aus telah melakukan suatu kebiasaan buruk masyarakat Arab jahiliyah terhadap istrinya. Ia melakukan zhihar, pernyataan dan/atau tindakan di mana istri diposisikan sama dengan punggung ibunya (ka zhahri ummiy).
Baca Juga: Asma binti Abu Bakar: Perempuan Salehah di Balik Keberhasilan Hijrah Nabi Muhammad
Muasalnya, pada suatu hari keduanya tengah berselisih. Salah satu riwayat menyebut, akar dari perselisihan itu adalah penolakan Khaulah atas ajakan berhubungan suami-istri dari Aus. Riwayat yang lain menyebut bahwa akar perselisihannya adalah hal yang sepele, tetapi menjadi besar karena perangai Aus sudah mulai buruk (mudah marah).
Dari perselisihan itu keluarlah ungkapan Aus, “engkau atasku adalah sama dengan punggung ibuku”. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan, “kalau istri telah disamakan dengan punggung ibu, samalah artinya tidak akan dipegang lagi. Tidak akan disentuh lagi sebagai sentuhan terhadap seorang istri. Dengan demikian samalah artinya bahwa dia telah disisihkan, meskipun tidak diucapkan lafal cerai atau thalaq” (hlm. 16).
Setelah apa yang ia ucapkan, Aus pergi keluar rumah. Tak lama setelah itu, ia kembali ke rumah dan hendak menggauli Khaulah. Dengan serta merta Khaulah menolah ajakan tersebut. Ia mengatakan, “jangan mendekat kepadaku! Demi Allah yang Khaulah ada di tangan-Nya. Engkau tidak boleh lagi mendekatiku setelah engkau mengucapkan kata-kata tadi itu sampai datang hukum Allah dan Rasul-Nya pada kita”.
Khaulah lantas pergi menghadap dan mengadu kepada Rasul saw. Atas aduan itu, Rasul menjawab, “anak pamanmu itu sudah sangat tua, bertakwalah kepada Allah dan rukunlah dengan dia”. Dalam riwayat lain disebutkan Rasul menjawab, “menurutku engkau telah haram baginya”.
Akan tetapi, Khaulah merasa kurang puas dengan jawaban Rasul. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sebelum ada ketentuan al-Quran tentang persoalan (zhihar) tersebut. Ia lantas menengadahkan tangan dan mengadukan persoalannya kepada Allah, “Ya Allah! Kepada Engkau-lah aku keluhkan kepapaan diriku dan kesepianku sendirian. Berat bagiku, ya Tuhan, akan berpisah dengan suamiku, ayah dari anak-anakku dan orang yang paling aku kasihi… Ya Allah! Hanya kepada Engkau saja aku keluhkan nasibku ini. Turunkanlah kiranya ke dalam lidah Nabi-Mu suatu firman yang akan melepaskan daku dari kesulitan ini”.
Dalam momen itu, turunlah rangkaian ayat Q.S. al-Mujadilah [58]: 1-4 yang berisi ketentuan atas zhihar. Nabi segera membacakan serangkaian ayat itu kepada Khaulah. Kemudian berlangsunglah ketetapan sebagaimana tersebut di dalam ayat itu.
Tentang peristiwa ini, Buya Hamka menjabarkan beberapa pelajaran penting. Pertama, kisah Khaulah menegaskan bahwa Islam sangat menghormati kedudukan perempuan. Kedua, Khaulah paham etika berbicara dengan Rasulullah saw. sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 2, sehingga ia mengadu dengan cara yang sopan dan bahasa yang lembut. Ketiga, Khaulah mewakili suara perempuan yang merasa bahwa zhihar adalah kebiasaan masyarakat Arab jahiliyah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. (Sirajuddin)