Fikih PerempuanHikmah

Khitan Perempuan: Tradisi atau Syar’i?

  • Tulisan ini dalam rangka menyambut Tanwir 1 'Aisyiyah Januari mendatang. Suara 'Aisyiyah akan menyajikan banyak tulisan lain seputar isu perempuan dan Islam

Oleh: Siti ‘Aisyah*

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Terbitnya PP tersebut mengundang banyak kritik dan kontroversi di kalangan masyarakat.

Di antara isu dimaksud adalah tentang khitan perempuan yang tercantum dalam pasal 102, yaitu adanya “Upaya kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, ayat (1) huruf a paling sedikit berupa: a. menghapus praktik sunat perempuan”.

Terhadap pasal tersebut, Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, menilai bahwa larangan tersebut menyalahi syariat yang menganjurkan khitan bagi perempuan. Selain itu, larangan khitan seharusnya ditujukan pada praktiknya yang salah, bukan pada khitan itu sendiri. Realitas ini menggambarkan beragamnya pendapat berkaitan dengan khitan perempuan.

Di samping berkaitan dengan hukum, khitan perempuan (Female Genital Mutilation/FGM) lebih banyak bersentuhan dengan tradisi di berbagai negara, misalnya negara bagian Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Alasan pelestarian khitan perempuan pada negara-negara tersebut supaya perempuan tidak liar dan binal, sehingga kedududukannya dihormati oleh masyarakat. Adapun beberapa negara Asia yang masih melestarikan khitan perempuan, yaitu Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.

Di Indonesia, tradisi khitan perempuan berkembang dan hingga kini masih dilakukan di berbagai daerah, namanya pun beragam, misalnya Mandi Lemon (Gorontalo), Basunat (Banjar), Capitan (Banten), Suci/Murni (Lombok), dan Selam (Bangka Belitung). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, persentase anak perempuan yang pernah disunat sangat tinggi, mencapai 51,2 persen.

FGM adalah seluruh bentuk pemotongan alat kelamin perempuan baik sebagian maupun keseluruhan, atau dalam bentuk apapun yang melukai alat kelamin perempuan, dengan alasan di luar kepentingan medis. FGM merupakan salah satu bentuk praktik berbahaya terhadap perempuan yang sangat ditentang masyarakat global. FGM mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan reproduksi dan psikologis perempuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Ragam Pemikiran tentang Khitan Perempuan

Perbedaan pendapat tentang khitan perempuan terdapat di kalangan mazhab. Dalam mazhab Syafi’i, khitan hukumnya wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut mazhab Hanbali, khitan bagi laki-laki wajib, sementara bagi perempuan makrumah (kehormatan). Dalam mazhab Maliki dan Hanafi, khitan bagi laki-laki hukumnya sunah dan makrumah bagi perempuan.

Selain itu, Mahmud Syaltut menyatakan, karena tidak ada petunjuk dalil yang kuat tentang khitan bagi perempuan, maka dikembalikan kepada positif dan negatifnya. Ditimbang dari aspek positif dan negatifnya tidak dapat untuk menyunahkan apalagi mewajibkan.

Di Indonesia, MUI telah mengeluarkan fatwa MUI No. 9A tahun 2008, yang menegaskan bahwa “Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah berten- tangan dengan ketentuan syari’ah karena khitan baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Khitan perempuan adalah kemuliaan dan pelaksanaannya merupakan bentuk ibadah”.

Landasannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari Ayahnya: “Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan bagi para perempuan.” (H.r. Ahmad)

Sementara pandangan Nahdhatul Ulama tentang khitan perempuan tertuang dalam Aḥkāmul-Fuqahā’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M). Dijelaskan bahwa arti kata sunah dan kata makrumah dalam hadis tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan.

Baca Juga: Resmi Dibuka, Tanwir I ‘Aisyiyah Semangat Bawa Kemajuan untuk Perempuan

Sehingga bisa jadi artinya adalah laki-laki sunah berkhitan dan perempuan mubah. Atau wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan. Atau laki-laki dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walimah al-khitan atau undangan, sedangkan perempuan justru yang baik dirahasiakan, tidak perlu diekspos atau disebarluaskan.

Fatwa Tarjih Muhammadiyah

Fatwa Tarjih tentang khitan Perempuan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2. Fatwa Tarjih menerangkan, “Dengan merujuk pendapat Mahmud Syaltut, khitan bagi wanita tidak ada petunjuk dalil yang kuat, maka dikembalikan kepada positif dan negatifnya. Ditimbang dari kepositifannya dan kenegatifannya tidak dapat untuk menganjurkan khitan bagi perempuan apalagi mewajibkannya. Barangkali ini yang menjadi pertimbangan kita, mengingat dalil pelaksanaan khitan bagi wanita ini tidak begitu jelas. Selanjutnya karena khitan bagi wanita bukanlah suatu kewajiban, tentu wanita yang sampai dewasa ataupun wanita yang menyatakan Islam setelah dewasa tidak wajib khitan.”

Fatwa ketetapan khitan perempuan “tidak dianjurkan (ghairu masyru’)” memiliki pertimbangan dan landasan ketetapan. Pertama, pertimbangan ketetapan, dengan mengutip tulisan Dr. Randanan Baso pada Majalah WHO tentang hal ikhwal khitan perempuan:

Pertama, bahwa khitan perempuan merupakan tradisi di daerah tertentu, seperti tradisi di berbagai negara Afrika Timur (Ethiopia dan Sinegal), Mesir, dan Asia. Kedua, khitan perempuan dilakukan oleh dukun-dukun perem- puan dengan menggunakan alat sederhana yang tidak steril. Tekniknya dengan memotong klitoris secara melingkar seperti pada laki-laki, memotong ujung atau seluruh klitoris, dan yang jarang dilakukan adalah memotong jaringan antara dubur dengan farj. Ketiga, praktik khitan pada perempuan mengakibatkan adanya pendarahan hebat, rasa nyeri yang hebat dan infeksi, serta kesulitan buang air akibat penyembuhan luka yang tidak sempurna.

Kedua, landasan ketetapan. Ada dua landasan ketetapan, yaitu ayat al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. yang mengisyaratkan tidak adanya dalil yang kuat untuk menetapkan dianjurkannya khitan perempuan.

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (Q.s. an-Nisa’ [4]: 125)

Ayat tersebut oleh sebagian ulama dijadikan landasan perintah khitan; karena Nabi Ibrahim dikhitan, maka mengikuti millah Ibrahim adalah dengan cara melakukan khitan. Namun para mufasir menjelaskan bahwa millah Ibrahim itu adalah ajaran akidah tauhid, bukan khitan. Sehingga ayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil berkhitan.

Dari ‘Aisyah, ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: Apabila (seorang suami) telah duduk di antara empat percaba- ngan (istri)nya dan khitan (suami) telah menyentuh khitan (istri), maka telah wajiblah mandi besar. (H.r. Muslim dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Amr)

Dalam hadis tersebut, penyebutan kata khitan untuk menunjuk alat seksual laki-laki dan perempuan dapat bermakna majazi dan hakiki. Secara hakiki, khitan dimaksudkan sebagai alat seksual laki-laki dan perempuan. Adapun secara majazi mengisyaratkan adanya hubungan biologis suami dan istri. Dengan demikian, hadis tersebut bukan dimaksudkan untuk menunjukkan ketentuan hukum khitan perempuan. Berdasarkan pertimbangan burhani dari realitas sosial, khitan perempuan merupakan tradisi di beberapa daerah tertentu, dan secara kesehatan akan menyebabkan kemudaratan bagi perempuan yang dikhitan, serta tidak ada landasan penetapan dalam al-Quran dan hadis. Dengan demikian, khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyru’).

Keputusan Munas Tarjih Hukum khitan perempuan telah diputuskan dalam Munas Tarjih ke-28, tahun 2014, di Palembang. Bahasan tersebut dimuat dalam Keputusan tentang “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”, BAB III, butir A. 1. b. 1) tentang Kewajiban Orang Tua Kepada Anak pada Masa Kanak-Kanak. “Bila telah sampai saatnya, anak laki-laki dikhitankan sebagaimana sunah Nabi Saw. Memang tidak ada perintah agama untuk mengadakan walimah khitanan, tetapi untuk menggembirakan anakanak tidak ada salahnya bila diadakan jamuan ala kadarnya”.

“ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ۝١

Kemudian Kami wahyukan kepada- mu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.s. an-Nahl [16]: 123) Ketetapan khitan perempuan merujuk pada hadis Abu Dawud dari Ummu Athiyah.

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

Dari Ummu Athiyah bahwasanya seorang perempuan akan berkhitan di Madinah. Maka Nabi Saw. berkata: Janganlah berlebihan, karena lebih nikmat (ketika berhubungan seksual) dan lebih dicintai oleh suami. (H.r. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Hadis ini dinilai lemah oleh Abu Dawud yang meriwayatkan hadis ini, karena ada seorang perawi yang tidak diketahui asal-usulnya (majhul), yaitu Muhammad ibn Hasan. Mengingat khitan terkait dengan organ seksual laki-laki dan perempuan dan memperhatikan prinsip mu’âsyarah bilma’rûf, khususnya yang terkait pada kesetaraan hak perempuan bersama laki-laki dalam hubungan suami-istri, maka hal yang sama juga berlaku untuk perempuan. Memperhatikan sisi maslahat, khitan laki-laki sangat dianjurkan (masyrū’), sementara untuk khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyrū’).

Fatwa Tarjih dan Keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyrūʻ). Keputusan ini telah mempertimbangkan berbagai aspek, baik kesehatan, sosial budaya, maupun bayani. Meskipun demikian, tradisi khitan dan pesta yang mengiri- nginya masih kuat di beberapa daerah.

Kuatnya tradisi ini salah satunya karena pemahaman agama yang mewajibkan, menyunahkan, atau memuliakan khitan bagi perempuan. Untuk itu, diperlukan strategi perubahan tradisi sunat perempuan dengan melakukan upaya mencerdaskan masyarakat melalui perubahan pemahaman tentang Islam berkemajuan yang tidak menganjurkan khitan perempuan, dengan pendekatan bayani, burhai, dan irfani.

Strategi dilakukan melalui tabligh, ceramah, dan sosialisasi secara intensif dan kontinyu. Selain itu, untuk mengimbangi kuatnya tradisi pesta khitan perempuan juga perlu diinisiasi tradisi baru, misalnya tasyakuran di saat anak perempuan haid pertama sebagai masa mengawali kehidupan di masa balig, memasuki dunia baru yang menempatkan perempuan sebagai hamba Allah yang memiliki tanggung jawab menunaikan kewajiban keagamaan dan sosial.

*Ketua PP ‘Aisyiyah

Related posts
KesehatanPerempuan

Sunat Perempuan dan Dampaknya pada Kesehatan

Sunat perempuan, atau yang dikenal secara global sebagai Female Genital Mutilation (FGM), adalah praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad di berbagai budaya…

5 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *