Sosial Budaya

Komitmen Beragama dan Bermuhammadiyah

Komitmen Beragama

Oleh: Buya Irwandi Nashir*

Riaz Hassan, peneliti dari University Adelaide, Australia, pada tahun 2006 menerbitkan hasil penelitiannya tentang kesadaran keagamaan dan sosial umat Islam di empat negara yang penduduknya mayoritas muslim, yaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Kazakhstan.

Sebanyak 4.500 orang ditanya tentang kepercayaan mereka kepada Allah swt. dan komitmen menjalankan ibadah. Hasilnya, mereka yang ditanya di Indonesia, Pakistan, dan Mesir sebanyak 97% setuju dengan pernyataan bahwa “saya yakin Allah benar-benar ada dan saya tidak ragu tentang hal itu”.

Berbeda dengan kaum muslimin di Kazakhstan. Dari 970 orang, hanya sepertiga (31%)  yang percaya bahwa Allah benar-benar ada tanpa ragu. Lalu, dari 1.472 orang Indonesia yang ditanya, 96% mengaku melaksanakan salat lima waktu secara rutin. Posisi kedua ditempati Mesir (90%).

Yang mengejutkan, hanya 57% dari 1.185 orang Pakistan melaksanakan shalat. Umat Islam di Kazakhstan paling jarang salat lima waktu. Hanya 5% dari 1.000 orang yang mengatakan bahwa mereka salat lima waktu. Untuk berpuasa, muslim Indonesia, Mesir, dan Pakistan mayoritas melaksanakannya dengan ketat. Sementara hanya 19% umat Islam Kazakhstan yang berpuasa di bulan Ramadan.

Cara beragama seseorang ternyata tak selamanya berbanding lurus dengan wilayah tempat mereka berdiam. Pakistan yang secara nyata menyatakan diri sebagai negara Islam tak menjadi jaminan untuk mencerminkan kesalehan rakyatnya. Dari sisi keyakinan terhadap perkara yang wajib diimani mereka cukup menonjol, tapi jauh kalah dari sisi pengamalan dibanding Mesir dan Indonesia. Begitu juga dengan Kazakhstan. Sebagai sebuah negeri di Asia Tengah dengan penduduk sekitar 18 juta orang dan lebih sepertiga adalah muslim, umat Islam di Kazakhstan jauh kalah dibanding muslim di tiga negara lainnya dalam pola keyakinan dan pelaksanaan ibadah.

Bersyahadat dan bersyariat adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan. Syahadatain adalah sumpah di hadapan Allah untuk menjadikan-Nya sebagai Rabb dan beriman bahwa Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya. Sisi berikutnya adalah bersyariat, yaitu mau beribadah hanya kepada-Nya. Ibadah tidak hanya dalam wujud ritual, tapi menjalankan aturan hidup yang diwahyukan-Nya.

Penggabungan syahadat dan syariat dijelaskan Allah melalui wahyu-Nya (yang artinya): “Maka ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Mohonlah ampun kepada Allah atas dosamu sendiri dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kembali dan tempat tinggal kalian di akhirat kelak (Q.s. Muhammad [47]: 19).

Dalam ayat itu, perintah untuk mengetahui dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah diiringi dengan perintah untuk memohon ampun kepada-Nya. Artinya, ayat ini mengisyaratkan bahwa bersyahadat wajib diiringi dengan bersyariat.

Di samping ayat-ayat tentang iman dan ibadah, al-Quran juga mengandung ayat-ayat tentang hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, hak waris, dan sebagainya sebanyak 70 ayat. Juga, terdapat 70 ayat tentang perdagangan, gadai, perekenomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perseroan, kontrak, dan sebagainya.

Baca Juga: Kosmopolitanisme Muhammadiyah

Selain itu, perkara yang terkait dengan pidana sebanyak 30 ayat, 25 ayat tentang hubungan muslim dan non-muslim, 13 ayat tentang peradilan, 10 ayat tentang pola relasi antara orang kaya dan miskin, dan 10 ayat tentang ketatanegaraan.

Ayat-ayat tentang hukum seperti dikemukakan di atas memang sedikit. Dari ayat-ayat hukum yang sedikit itu, Rasulullah menganjurkan para sahabat untuk mengambil kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip umum. Karenanya, Islam membuka pintu untuk berijtihad sebagai upaya untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk merumuskan jawaban hukum atas berbagai persoalan.

Ajaran Islam dapat merespons sesuai dengan segala lintasan waktu dan zaman melalui pintu ijtihad. Hikmah lainnya, antara keimanan kepada Allah swt. dan cara menjalani hidup dengan segala kompleksitasnya tetap berjalin erat.

Bermuhammadiyah

Memperlakukan agama seperti yang saya uraikan di atas ada relevansinya dengan komitmen kita bermuhammadiyah. Kita bermuhammadiyah karena kita ingin “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Kenapa terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya menjadi cita-cita tertinggi Muhammadiyah? Sebab ada orang mengaku bertuhan, tapi tak mau beragama.

Barangkali, kita sulit mengenali mereka, karena terkadang mereka tak mau memberi pengakuan. Namun, dari ucapan, pikiran, dan tindakan mereka, identitas bertuhan tapi tak beragama dapat dibaca.  Ada seorang pebisnis yang berucap, “Saya tetap salat, tapi kalau cara berbisnis tak mungkin dikaitkan dengan ajaran agama.” Ada pula politisi yang berkilah, “Saya tetap beriman kepada Allah, tapi cara saya berpolitik tak ada hubungannya dengan keimanan saya kepada Allah.”

Agama bukanlah simbol, tapi untuk memelihara kehidupan kita yang diciptakan oleh Yang Maha Hidup. Kenikmatan hidup dirasakan ketika menjadi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Semua itu hanya terwujud manakala beragama sepenuh hati melalui pengamalan ajaran Islam secara kaffah (keseluruhan).

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS. Al Baqarah: 208).

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah swt. berfirman menyeru para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syariat, melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka” (Tafsir Ibn Katsir, 1: 335).

Menurut pemahaman al-Quran bahwa masyarakat Islam yang sebenarnya adalah mereka yang berislam secara kaffah. Islam yang kaffah itu ditandai dengan mengamalkan Islam secara terpadu dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan yang tak hanya mengedepankan aspek spiritual, tapi juga memfasilitasi aspek material, mengutamakan ilmu pengetahuan tanpa memilah dan memilih asal usul ilmu pengetahuan (baca Q.s. az-Zumar: 9).

Islam kaffah juga memadukan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan; mengakui dan menghargai tempat di mana umat Islam menjalani kehidupannya, menjunjung tinggi dan memperjuangkan nilai-nilai universal, seperti keadilan (an-Nahl: 90, an-Nisa: 58), perdamaian (al-Anfal: 61), keamanan (al-Nur: 55), dan kesejahteraan (an-Nisa: 9).

Islam kaffah bukan semata-mata dalam bentuk lahiriah, formal, atau aspek-aspek instrumental yang bisa berubah sesuai perkembangan waktu dan tempat. Sebaliknya, Islam kaffah mengutamakan keyakinan dan perilaku yang mengasihi sesama Muslim dan semua umat manusia, tumbuhan, hewan, dan alam semesta.

*Dosen UIN Bukittinggi, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Payakumbuh, Sumatera Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *