Kehidupan berumah tangga tidak dapat dilepaskan dari dinamika. Komunikasi dan keterbukaan menjadi kunci agar terbangun kehidupan keluarga yang sakinah.
***
Silaturahmi merupakan bagian dari kehidupan dan kebutuhan manusia. Islam juga mengajarkan silaturahmi, bahkan memberi ancaman berat bagi mereka yang memutuskan silaturahmi. Demikian pula dalam kehidupan berumah tangga, khususnya hubungan suami istri. Ada peringatan atau larangan bagi suami istri untuk saling diam, saling membiarkan alias tidak berkomunikasi lebih dari dua hari.
Komunikasi Keluarga
Kehidupan suami istri tidak akan sepi dari berkomunikasi. Komunikasi adalah penyampaian informasi, keinginan, kehendak atau larangan, atau penyampaian maksud dan tujuan kepada pihak lain. Komunikasi antar suami istri mempunyai alat dan ukuran yang istimewa, yang mungkin tidak bisa dipahami pihak lain. Banyak kode-kode atau simbol yang digunakan yang lebih efektif daripada dengan kata-kata.
Sebenarnya, kontak memahami antar keduanya sangat mudah. Namun demikian, ternyata ada sejumlah pasangan hidup yang tidak pandai menggunakan alat-alat komunikasi yang unik. Kalau simbol-simbol tidak bisa dibaca, tidak dipahami atau salah satunya tidak mau tahu, maka akan terlontar kata-kata: “apa maunya? bagaimana? ngapain?” dan sebagainya.
Raut wajah istri tidak bisa dibaca oleh suami, juga raut wajah suami juga tidak bisa dibaca oleh sang istri. Ya, tidak semua manusia itu pandai bicara, itulah sebabnya hubungan suami istri lebih efektif dengan simbol-simbol.
Misalnya, suami yang tidak cocok dengan lauk yang dihidangkan istri, maka ia memukul-mukul sendok pada piring, atau sebentar-sebentar melongok ke tempat lain, seakan mencari sesuatu. Hal semacam ini banyak pengaruhnya dengan unsur kejiwaan atau psikis. Mereka yang peka dan matang mental biasanya tanggap, pandai berkomunikasi biar hanya dengan satu kata, dengan menggunakan kode, dan sebagainya.
Dampak Kebuntuan Komunikasi
Pasutri (pasangan suami istri) yang tidak lancar berkomunikasi, sekalipun tampaknya hidup serumah, biasanya relasi antar keduanya beku, dingin tidak hangat. Senyum senantiasa masam, canda dan tawa apa lagi, tak pernah terjadi. Tentu masing-masing memendam sesuatu, mungkin masalah kecil, mungkin masalah besar, bahkan mungkin sebenarnya bukan masalah, hanya terjadi salah duga.
Ketidakjelasan masalah karena masing-masing enggan menyampaikan, atau ogah berkomunikasi, menyebabkan salah sangka dan salah duga, bahkan timbul kejengkelan (kesal). Banyak kasus konflik pasutri yang setelah dibongkar oleh konsultan, ternyata mereka berdua telah lama saling membisu. Masing-masing memendam rasa tidak puas, ada yang mengganjal. Tetapi masing-masing pihak tidak percaya, merasa tidak akan mendapat respon.
Pada umumnya, bila salah satu memulai sikap ‘diam’ (artinya masa bodoh), maka pihak yang lain juga berbuat demikian. Maka sempurnalah sumbar kemacetan. Itulah sebabnya Rasulullah saw. mengajarkan bahwa, “barangsiapa mendahului berbicara ketika terjadi saling membisu akan dijanjikan surga”.
Berani dan Jujur
Pasutri yang tidak mengadakan komunikasi perlu membangun dirinya dengan sifat keberanian; berani mengemukakan pendapat, berani terus terang menyampaikan teguran bila ada yang kurang baik, berani mengajukan permohonan atau keinginan kepada lawan pihak.
Ingat, “diam itu baik” ketika lawan bicara marah atau emosi. Orang yang marah atau emosi, perlu diberi respons/tanggapan setelah reda marahnya, sebab kemarahan itu biasanya terjadi karena ketidaktahuan masalahnya. Apabila sudah mendapat penjelasan tentu akan berpikir lain.
Kejujuran merupakan sarat utama berkomunikasi, apalagi kepada teman hidup. Sekali saja orang itu tidak jujur, maka segeralah meminta maaf dan terus terang, secara gentleman, sportif, tidak usah malu-malu. Kita akan lebih malu apabila lama menyimpan kebohongan.
Katakanlah pada teman hidup kita semua serba terus terang, sehingga tidak menjadi beban perasaan. Seorang suami yang rada-rada menyeleweng, selalu memberikan perhatian pada perempuan lain, misalnya, maka kita harus berani terus terang menegurnya.
Mencurahkan Isi Hati
Ada tahap komunikasi yang paling berbobot, yaitu “mencurahkan isi hati” atau disingkat curhat. Dalam bahasa Jawa mengeluarkan uneg-uneg. Uneg-uneg adalah sesuatu yang membuat hati itu terbebani.
Istri yang mau curhat kepada suami, atau sebaliknya, menandakan hubungan hatinya bagus, saling cinta dan saling percaya, dan saling melindungi, saling membela. Seorang istri yang curhat kepada suami tentang ibu mertua, misalnya, ini pertanda istri percaya suami akan berlaku adil, tidak memihak, dan ada kemauan istri untuk berusaha baik kepada ibu mertuanya. Seorang suami yang curhat tentang masalah rekan kerja atau masalah pekerjaan, atau masalah bosnya, ini pertanda istri tempat membesarkan hati, menghibur, dan diharap bisa membantu (ada kemampuan untuk mengatasinya).
Jadilah pendengar yang baik bila anda menerima curhat; bersabarlah, berempatilah, seakan anda ikut hanyut dengan curhatnya. Curhat itu biasanya subjektif, karena isi hati yang gundah, namun jujur datang dari lubuk hati, hampir semua dikeluarkan. Imam Syafii mengatakan bahwa agar jangan menutup-nutupi apabila anda sedang minta nasihat.
Yang juga penting, terimalah curhat itu dengan lapang dada; berilah respons, tanggapan yang baik, yang bersifat netral untuk mengontrol emosinya. Jangan sekali-kali memarahi orang yang sedang luka perasaannya; hiburlah, berikan saran-saran yang baik; beri beberapa pandangan jalan keluar/solusinya dengan beberapa alternatif. Segi-segi positif dan negatif dipaparkan.
Sekadar Melegakan Hati
Tidak semua orang yang curhat minta pemecahan atau solusi. Ada yang sekadar berusaha mengurangi beban mental. Sesuatu yang mengganjal di hati bila sudah disalurkan, akan terasa longgar, ringan, seperti ada yang ikut merasakan. Tetapi ingatlah bahwa curahan hati itu tidak untuk disiarkan, tidak untuk diketahui orang banyak. Orang yang menjadi tempat curhat adalah orang yang bisa dipercaya menjaga rahasia.
Sumber: Rubrik Keluarga Sakinah Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 11 Tahun 2007