Oleh: Dyah Ayu Kusumastuti
Komunikasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan di setiap saat. Meski begitu, ternyata ada komunikasi yang tidak boleh dilakukan kepada anak namun seringkali masih dipakai oleh kebanyakan orang tua saat berkomunikasi dengan anak. Menurut psikolog Elly Risman Musa, ada dua belas gaya bahasa populer yang seharusnya tidak dilakukan ke anak, yaitu:
Pertama, memerintah. Dalam arti menggunakan perintah untuk memaksakan keinginan kita, dan tidak peduli perasaan dan pemikiran anak. Biasanya tercermin dalam penggunaan kata “pokoknya, harusnya…”. Kata-kata ini sering terjadi saat anak tidak mau menuruti orang tua.
Alih-alih memerintah, sebaiknya orang tua memilih memberikan pola komunikasi instruksi kepada anak. Saat memberi intruksi, niat orang tua adalah mengarahkan perilaku anak. Biasanya pilihan kata instruktif bersifat netral, bukan bernada tinggi seperti saat kita memerintah anak. Misalnya, saat anak mau membereskan mainan, sebaiknya pilihan katanya memberikan intruksi, contohnya: “nak, mainannya dibereskan, ya. Sebentar lagi ruangannya mau dipakai lagi, jadi harus bersih. Yuk, mama bantu”.
Kedua, menyalahkan. Maksudnya menimpakan beban perasaan atas suatu kejadian ke si anak. Hal ini biasanya terjadi secara otomatis ketika anak melakukan kesalahan. Kata khas yang biasa keluar adalah “tuh kan, mama bilang apa? kamu sih nggak nurut”, dan lain-lain. Kalau terjadi perilaku yang salah dari anak, tentu anak perlu tahu bahwa kita tidak berkenan.
Karenanya, yang harus dibahas adalah (a) mengetahui perasaan anak ketika melakukan kesalahan, bisa jadi anak tidak tau jika mereka melakukan kesalahan; (b) kemudian validasi perasaan si anak, dan sampaikan pesan yang ingin disampaikan ke anak dengan bahasa yang mudah dipahami; (c) selanjutnya tawarkan bantuan dan pemahaman agar kesalahan itu tidak terulang.
Ketiga, meremehkan. Maksudnya menganggap enteng pencapaian anak, karena orang tua melihat sesuai dengan standar yang dibuat. Kata khasnya adalah, “masa begini aja kamu nggak bisa?” Kalimat ini jelas membuat anak merasa rendah diri, terutama jika anak telah melakukan upaya maksimal untuk berprestasi.
Dalam hal ini, orang tua semestinya menerima pencapaian anak dan memberikan pujian ke anak, dan sadar bahwa anak itu berbeda dari orang tuanya. Kalau perlu, turunkan ekspektasi terhadap anak.
Keempat, membandingkan. Maksudnya membandingkan antara anak kita dengan orang lain. Kata yang sering digunakan adalah “Tuh, anak tetangga bisa nilai 9, masa kamu nggak bisa”.
Sebenarnya, yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan motivasi kepada anak, alih-alih membandingkan. Lebih baik orang tua memberikan afirmasi positif kepada anak. Misalnya, “terima kasih, ya, sudah berusaha mendapat nilai bagus”. Jika memang dirasa perlu membandingkan anak, maka usahakan bandingkan dengan dirinya sendiri. Misalnya, “kemarin sudah bisa baca sampai halaman 5, sekarang bisa yuk nambah satu halaman lagi”.
Baca Juga: Pendidikan Karakter Takwa dalam Keluarga Sakinah
Kelima, memberi cap. Maksudnya mengasosiasikan anak dengan sifat tertentu, dengan cara memberi label biasanya negatif. Seringnya, ini otomatis terjadi ketika orang tua kesal karena anak mengulang kesalahan yang sama.
Biasanya kalimatnya begini, “ah, memang kamu tuh pemalas/kata sifat lainnya”. Secara tidak sadar, sebenarnya ini juga bentuk bully verbal. Anak bisa berpikir kalau dia memang “pemalas”, apalagi jika kata ini disampaikan kepada anak yang usianya 10 tahun ke bawah. Besar kemungkinan, dia akan mempercayai kata tersebut.
Keenam, mengancam. Maksudnya memaksa anak untuk mengikuti keinginan kita dengan cara menyatakan bahwa hak anak akan diambil kalau ia tidak mau nurut. Misalnya, “kalau mainannya nggak diberesin sekarang, Mama buang ke tempat sampah”. Ini memang cara cepat yang biasa orang tua lakukan, namun cara ini tidaklah baik. Harusnya pilihan katanya adalah, “bersihkan mainan sekarang, yuk, kalau sore nanti nggak ikut ayah ke masjid, lho”.
Ketujuh, menasihati. Maksudnya menasehati yang timing dan caranya sama sekali tidak pas.
Biasanya terjadi otomatis ketika anak melakukan sesuatu yang salah atau merugikan. Contohnya, “mestinya kamu…” Harusnya respons pertama orang tua adalah mengali perasaan anak terlebih dahulu. Setelah membahas perasaan anak, orang tua menanyakan terkait pemikiran anak tentang kejadian tersebut. Terakhir, barulah orang tua memberikan pesan kepada anak, itu pun jika memang dirasa perlu. Tentunya yang harus diingat adalah untuk memberikan nasihat ketika anak sedang dalam kondisi tenang dan tidak di tengah keramaian.
Kedelapan, membohongi. Maksudnya menyatakan sesuatu yang tidak jujur atau bukan sebenarnya, hanya supaya anak bisa ikut keinginan orang tua atau supaya ia tidak tantrum. Kalimat yang sering dipakai adalah, “nggak kok, disuntik nggak sakit” (padahal sakit). Pilihan kata yang tepat adalah, “disuntik memang sakit, tapi itu agar kamu bisa sehat kembali”. Kalimat ini jauh lebih baik daripada berbohong. Sebenarnya, anak selalu percaya kepada orang tuanya, namun jika sering dibohongi, maka kepercayaan anak kepada orang tua akan semakin hilang dan ini bisa membahayakan di masa mendatang.
Kesembilan, menghibur. Maksudnya adalah menghibur saat moment yang tidak tepat. Pilihan kalimat yang digunakan biasanya adalah, “nggak apa-apa cuma itu aja, nanti Mama ganti”. Alih-alih membuat anak senang, hal ini bisa merusak perasaan anak dan anak merasa tidak dihargai. Misal, ketika adik memakan es krim si kakak, maka yang harus dilakukan orang tua adalah membuat adik meminta maaf dan memfasilitasi mereka untuk bisa berbaikan, bukan mengambil jalan tengah dengan menyuruh kakak mengalah secara tidak langsung.
Kesepuluh, mengkritik. Maksudnya di sini adalah mengkritik hasil karya anak dengan kalimat-kalimat negatif, misal “kamu mewarnai saja kok nggak bisa”, atau “dari tadi beres-beres segini saja tidak selesai”. Sebagai orang tua, kita harus memahami kemampuan anak dan memberikan motivasi positif agar kemampuan anak meningkat, bukan malah mengkritik dengan tajam.
Kesebelas, menyindir. Maksudnya adalah, alih-alih berbicara langsung tentang kesalahan anak, orang tua melakukan dengan bahasa sindiran, seperti: “pintar, ya, main air terus,” atau “hebat, ya, lihat tv terus. Kapan belajarnya…”. Kalimat ini tidak akan dipahami oleh anak sebagai kalimat larangan, karena ada kata positif yang orang tua pakai. Sebaiknya, orang tua memakai pilihan kata, “ayo belajar, nak. Biar besok ujian lebih siap lagi”.
Keduabelas, menganalisis. Maksudnya adalah menganalisis kejadian yang dialami anak tanpa anak minta atau tidak memahami kejadian sebenarnya. Biasanya kalimat yang sering dipakai adalah, “ibu tahu kamu pasti sengaja meninggalkan tempat bekal”.
Itulah beberapa komunikasi yang sebaiknya dihindari oleh orang tua kepada anak-anaknya. Alih-alih mendapatkan komunikasi yang baik, orang tua akan menjadi semakin jauh dengan anak jika terus berulang mengunakan cara komunikasi yang seperti ini.