Oleh: Tri Hastuti Nur Rochimah
Beberapa waktu lalu mulai bermunculan pendirian komunitas ‘Aisyiyah di beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah dan sekolah Muhammadiyah. Beberapa komunitas di perguruan tinggi Muhammadiyah antara lain komunitas ‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), komunitas ‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, komunitas ‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Malang, dan komunitas ‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Makassar. Ada pula komunitas ‘Aisyiyah yang muncul di sekolah Muhammadiyah, seperti di SMA Muhammadiyah Cilacap.
Berdirinya beberapa komunitas memiliki beberapa alasan, misalnya komunitas ‘Aisyiyah di UMJ sebagai wadah untuk meningkatkan kemampuan dan literasi perempuan. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, seperti kajian rutin bulanan, pengajian, belajar membaca Al-Qur’an, dan bakti sosial. Komunitas ‘Aisyiyah ini memiliki pengurus bahkan di beberapa struktur kepengurusan memiliki bidangbidang, seperti majelis dan lembaga di Pimpinan Wilayah/Daerah/Cabang/Ranting.
Berdirinya komunitas ‘Aisyiyah di berbagai amal usaha pendidikan Muhammadiyah menunjukkan kegairahan berdakwah juga dinamika organisasi terus bergerak dan hidup. Munculnya keinginan untuk berdakwah melalui berbagai forum, lokasi, maupun profesi melalui komunitas ‘Aisyiyah ini merupakan salah satu penanda bahwa eksistensi ‘Aisyiyah diimplementasikan dalam berbagai kegiatan. Komunitas ‘Aisyiyah ini dapat menjadi salah satu forum untuk menguatkan ideologi ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan dengan nilai Islam Berkemajuan.
Bertumbuhnya komunitas ‘Aisyiyah di amal usaha Muhammadiyah khususnya amal usaha bidang pendidikan ini, tentu tidak sama dengan ranting atau cabang. Selama ini ada salah pemahaman dengan menamakannya ranting atau cabang ‘Aisyiyah. Merujuk pada AD ART bab V tentang Susunan, Pendirian, dan Penetapan Organisasi, pasal 10 tentang Susunan Organisasi disebutkan Ranting adalah kesatuan anggota dalam satu tempat atau Kawasan, dan Cabang adalah kesatuan Ranting dalam satu tempat.
Mengikuti pimpinan struktur organisasi di atasnya, seperti Pimpinan Wilayah yang batas struktur organisasinya berada di tingkat propinsi, kemudian Pimpinan Daerah ada di tingkat kabupaten, dan Pimpinan Cabang ada di tingkat kecamatan maka struktur organisasi Pimpinan Ranting juga terdapat di tingkat desa/kelurahan. Hanya saja untuk cabang dan ranting atas kebijakan pimpinan di atasnya karena kondisi geografis yang berjauhan atau banyaknya jumlah anggota maka ada beberapa kecamatan dan desa/kelurahan yang memiliki cabang dan ranting lebih dari satu kepemimpinan.
Baca Juga: IGABA Kecamatan Sirampog Adakan Tunas Athfal
Argumentasi ini sejalan dengan kebijakan tentang representasi (perwakilan) dalam permusyawaratan baik muktamar, musyawarah wilayah, musyawarah daerah, maupun musyawarah cabang. Dalam muktamar, jumlah utusan daerah salah satunya ditentukan dengan keberadaan jumlah cabang.
Demikian halnya dengan musyawarah wilayah, musyawarah daerah maupun musyawarah cabang jumlah utusan representasinya ditentukan berdasarkan pada jumlah cabang dan ranting. Cabang dan ranting di sini adalah pimpinan cabang dan pimpinan ranting yang ada berdasarkan lokasi geografis (kecamatan dan desa/kelurahan). Keberadaan cabang dan ranting dalam masyarakat dengan kultur dan masyarakat yang heterogen, baik perbedaan status sosial ekonomi, perbedaaan tingkat pendidikan, perbedaan profesi, perbedaan agama, perbedaan pandangan politik dengan kompleksitas problem keumatan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan merupakan tantangan bagi dakwah Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di masyarakat.
Kehadiran Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, sejak kehadirannya memang untuk menjawab problem kemasyarakatan, keumatan, dan kebangsaan sebagai misi awal pendirian Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang dilandasi dengan semangat teologi al-Maun. Organisasi ini hadir untuk dan bersama denyut napas masyarakatnya yang membutuhkan kehadiran Muhammadiyah ‘Aisyiyah menuju masyarakat yang sejahtera, adil, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan.
Oleh karena itu, kehadiran komunitas ‘Aisyiyah di amal usaha Muhammadiyah bukan berarti kita sebagai kader-kader persyarikatan tidak aktif di kepengurusan ranting, cabang, daerah, wilayah, atau pusat dikarenakan merasa sudah aktif di komunitas ‘Aisyiyah. Nilai kemanfaatan kita sebagai kader-kader kemasyarakatan akan semakin besar di masyarakat; dan dakwah akan semakin meluas di masyarakat dengan kompleksitas tantangan; jika kita juga aktif bergerak. Komunitas ‘Aisyiyah sebaiknya tidak eksklusif ataupun mengekslusifkan diri, karena kehadiran kader-kader persyarikatan dalam denyut napas masyarakat sangat dinantikan.
Sumber gambar: https://rsiaisyiyah-malang.or.id/sejarah/
*Penulis adalah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah