Oleh: Anita Aisah*
Pada masa pandemi, terdapat tiga zona posisi individu, yaitu zona ketakutan, zona belajar, dan zona bertumbuh. Individu yang masih berada dalam zona ketakutan, memiliki rasa takut di tengah pandemi. Zona kedua adalah zona belajar. Zona ini memperlihatkan jika individu mulai menerima keadaan Covid-19. Zona yang paling tinggi adalah zona bertumbuh. Individu yang masuk pada zona ini, memiliki ciri-ciri dapat menjaga emosi agar tetap stabil serta menyebarkan optimisme di tengan pandemi corona.
Apabila kita melihat beberapa penelitian terkait kesehatan mental di masa pandemi, ditemukan bahwa pandemi Covid-19 memiliki dampak bukan saja fisik tetapi juga kesehatan mental kita. Terdapat beberapa publikasi ilmiah mengenai kondisi psikologis sekelompok individu di masa pandemi.
Kesehatan Mental dalam Penelitian Akademik
Xiong dkk. (2020) melakukan penelitian menggunakan metode systematic literature review pada 19 jurnal tentang dampak pandemi Covid pada kesehatan mental manusia. Xiong dkk. menyimpulkan bahwa ada beberapa jenis gangguan psikologi yang terjadi pada populasi yang diambil sebagai data penelitian, yaitu di Cina, Spanyol, Italia, Iran, AS, Turki, Nepal, dan Denmark. Jenis gangguan psikologis sebagaimana hasil penelitian tersebut antara lain kecemasan yang relatif tinggi (6,33% hingga 50,9%), depresi (14,6% hingga 48,3%), gangguan stres pasca-trauma (7% hingga 53,8%), tekanan psikologis (34,43% hingga 38%) dan stres (8,1% hingga 81,9%).
Iplaj dan Nurwati (2020) juga melakukan penelitian tentang kesehatan mental sebagai dampak dari wabah pandemi Covid di Indonesia. Keduanya menemukan beberapa dampak psikologi pada sekelompok manusia selama masa pandemi, seperti ketakutan dan kecemasan baik pada diri sendiri maupun orang terdekat, perubahan pola pikir dan pola makan, rasa tertekan dan sulit berkonsentrasi, bosan dan stres karena terus-menerus berasa di rumah, serta munculnya gejala psikosomatis.
Baca Juga: Kesehatan Spiritual: Penting Tapi Sering Dilupakan
Dari pemaparan secara singkat mengenai hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa pandemi Covid-19 dapat mengganggu kesehatan mental individu. Oleh karena itu, kita harus berupaya agar kesehatan mental tetap terjaga. Kesehatan mental yang tidak diperhatikan dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan fisik.
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan mental yang terjaga memiliki empat kriteria, yaitu individu yang memiliki keterampilan dalam mengatasi stres, mampu bekerja secara produktif, mampu menggali potensi diri, serta mampu berkontribusi pada masyarakat sekitar.
Koping Relijius
Salah satu kriteria kesehatan mental yang baik adalah adanya keterampilan mengatasi stres. Di dalam dunia psikoterapi, terdapat istilah coping atau koping. Koping merupakan mekanisme tubuh yang sangat penting dalam proses kehidupan. Melalui koping, individu akan melakukan adaptasi terhadap berbagai tekanan dan perubahan yang terjadi di masa pandemi Covid-19.
Terdapat beberapa bentuk koping yang bisa dipraktikkan pada berbagai aspek kehidupan manusia. Koping berdasarkan pendekatan agama merupakan salah satu strategi terbaik karena pada dasarnya manusia adalah makhluk beragama. Koping ini dinamakan religious coping atau koping relijius, yaitu strategi koping dengan memasukkan pemahaman akan adanya kekuatan sangat besar dalam hidup. Kekuatan tersebut berasal dari unsur ketuhanan.
Menurut Pargament dan Brant, koping relijius adalah cara individu mengatasi masalah psikologis berdasarkan keyakinan suatu agama. Definisi koping relijius yang dipaparkan oleh Pargament & Brand ini tidak merujuk pada agama tertentu, sehingga dapat diimplementasikan ke dalam berbagai pendekatan agama mana pun.
Secara umum, koping relijius dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu koping relijius positif dan koping relijius negatif. Koping relijius positif merupakan ekspresi spiritual melalui kedekatan hubungan dengan Allah dan sosial. Koping relijius positif ditunjukkan dengan meyakini bahwa Allah bersama manusia, senantiasa menemani di setiap kondisi, serta Allah-lah yang memberi petunjuk di saat manusia menghadapi tekanan. Individu yang memiliki koping relijius yang positif akan memiliki selalu berbaik sangka kepada Allah swt.
Baca Juga: Peran Sosial Religius Masyarakat Kelas Menengah
Berbeda halnya dengan koping relijius yang negatif. Koping ini merupakan ekspresi kurangnya kedekatan hubungan dengan Allah dan sosial, serta tidak memiliki makna hidup. Individu yang menggunakan teknik koping relijius negatif memiliki ketidakpuasan terhadap apa yang sedang dialaminya. Individu ini memiliki harapan yang rendah, marah, dendam serta banyak emosi negatif yang muncul.
Koping relijius negatif ini memandang bawah ujian di masa pandemi Covid-19 ini merupakan hukuman dari Allah. Hal ini memunculkan perasaan bersalah dan ketakutan selama menghadapi ujian di masa pandemi ini. Individu diharapkan dapat mengaplikasikan koping relijius positif dan menghindari koping relijius yang negatif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa koping relijius yang positif berpengaruh pada kesehatan mental individu.
Thomas dan Barbato (2020) melakukan penelitian tentang hubungan koping relijius dengan kesehatan mental pada umat muslim dan kristen di masa pandemi. Subjek penelitian berjumlah 543, sebanyak 339 subjek penelitian beragama Islam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata subjek penelitian yang beragama Islam memiliki koping relijius yang positif dan skor depresi yang rendah. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki koping relijius yang positif, akan berdampak baik pada kesehatan mentalnya. Kesehatan mental pada kasus ini ditunjukkan melalui tingkat depresi yang rendah.
Koping relijius sangat penting diaplikasikan sebagai upaya menjaga kesehatan mental kita di masa pandemi. Sebuah penelitian dengan metode meta analisis dilakukan oleh Ano dan Vasconclelles tentang koping relijius sebagai upaya mengatasi stress. Hasil meta analisis yang dilakukan oleh Ano dan Vasconclelles menunjukkan bahwa koping relijius yang positif memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri yang positif, begitu juga sebaliknya.
Habib dkk. (2020) juga membuktikan bahwa koping relijius yang positif berkorelasi dengan kepuasan hidup di masa pandemi. semakin sering individu menggunakan koping relijius yang positif maka kepuasan hidupnya semakin meningkat. Temuan ini terkait dengan koping relijius di Pakistan yang sebagian besar agama rakyatnya mayoritas Islam. Temuan tersebut juga dapat disosialisasikan di Indonesia.
Baca Juga: Peduli Kesehatan Jiwa, Tanamkan Nilai Spiritual
Koping relijius memiliki tiga pola. Pertama, self directing. Pola ini merupakan individu yang berfokus dan lebih bergantung pada diri sendiri daripada bergantung dengan Tuhan. Islam tidak mengajarkan kepada kita untuk mempraktikkan pola yang pertama. Apabila individu lebih bergantung pada diri sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa individu masih masuk pada zona ketakutan. Individu ini fokus pada diri sendiri dan tidak dapat memberikan semangat pada orang-orang di sekitarnya.
Pola koping relijius kedua adalah deffering. Pola ini memiliki ciri-ciri di mana individu cenderung menyerahkan semuanya kepada Allah secara pasif. Sebagai umat Islam yang baik, kita tidak diajarkan menjadi umat yang pasif dalam menghadapi ujian dari Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS. ar-Ra’d [13]: 11, “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka”.
Keaktifan kita dalam menyikapi permasalahan hidup ini terdapat dalam pola koping relijius ketiga, yaitu collaborative. Pola ini merupakan gabungan dari self-directing dan deferring. Dalam koping ini, individu menyerahkan semua urusan pada Allah dan aktif untuk mencari solusi dalam upaya penyelesaian masalahnya.
Agama memainkan peranan penting pada proses koping bagi individu yang mengalami gangguan psikologis di masa pandemi. Koping relijius yang positif sudah terbukti meningkatkan kesehatan mental pada individu. Melalui penerapan koping relijius ini, individu akan mampu beralih menuju zona bertumbuh sebagai posisi tertinggi di masa pandemi. Pada dasarnya kita tidak dapat mengontrol lingkungan. Namun, melalui koping relijius ini kita dapat mengontrol pikiran dan emosi kita agar kesehatan mental tetap terjaga.
*Psikolog, Dosen Fakultas Agama Islam UMY, Anggota Majelis Kesejahteraan Sosial PP ‘Aisyiyah