Sosial Budaya

Kraton, Islam, dan Muhammadiyah

Kraton Yogyakarta

Oleh: Adaby Darban*

Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah pewaris sah kerajaan Mataram Islam. Oleh karena itu, nilai dasar atau ruh dari kerajaan Ngayogyakarta adalah Islam. Nilai-nilai syariat, hakikat, dan juga ma’rifat Islamiyah dijalankan, dengan pendekatan budaya Jawa. Kelahiran Muhammadiyah di Kampung Kauman Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, karena memiliki hubungan yang akrab dan erat.

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Islam

Mangkubumi pendiri Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah seorang bangsawan yang Islamnya kuat. Gemar mengaji, puasa Senin-Kamis, hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an, tidak pernah meninggalkan ibadah, peduli pada fakir miskin dan kaum yang lemah di pedesaan (sumber: Serat Cebolek). Ketika perang melawan Belanda, P. Mangkubumi selalu membuat Mushola di setiap pos perjuangannya, yang berfungsi untuk shalat fardu dan menyolatkan jenazah para mujahid yang gugur melawan Belanda (sumber: Babad Giyanti). Selain itu pula, pada masa muda P. Mangkubumi berani beramar makruf nahi mungkar untuk melawan segala bentuk kemaksiatan, baik di lingkungan istana maupun di pedesaan (sumber: Serat Cebolek).

Pada saat mendirikan kerajaan, ditetapkanlah sebagai kerajaan Islam, yang meneruskan tradisi Kerajaan Islam Mataram. Syari’at Islam dijalankan, baik dalam kehidupan sehari-hari, juga dalam bidang hukum (Mahkamah Al-Kabiroh) di serambi Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Begitu Kraton dibangun, dilengkapi dengan Masjid Panepen, Masjid Suranatan, dan Masjid Gedhe sebagai masjid negara, yang dilengkapi pula dengan Masjid Pathok Negara. Gelar raja sebagai negeri Islam, jelas dengan: Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Pejabat Kraton yang mengurusi kehidupan agama Islam adalah Penghulu Kraton, yang rumah dinasnya di sebelah utara Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.

Kerajaan ini sebagai kerajaan Islam, maka Sentana Dalem (keturunan raja), menantunya dan kerabat lainnya harus beragama Islam. Perkawinan dan pembagian waris di kraton juga memakai hukum Islam. Lingkungan dalam Beteng Kraton, tidak dibolehkan berdiri tempat ibadah selain masjid, dan orang Cina pun tidak diperkenankan tinggal di dalam Beteng (sumber: Rijksblad).

Baca Juga: Kebudayaan Muhammadiyah di Tengah Arus Zaman

Pada awalnya setiap Jum’at Kliwon Sultan Khutbah di Masjid Gedhe, dan juga tidak ada larangan bagi Sultan untuk beribadah haji. Akan tetapi, setelah adanya Jawa Oorlog (perang Jawa/P. Dipanegara), maka Belanda membuat peraturan ketat kepada Sultan Yogya yang dinilai patriotik melawan Belanda dan membantu P. Dipanegara dari belakang. Peraturan ketat Belanda itu, antara lain: a. Sultan tidak boleh beribadah haji, karena dengan berhaji akan mendapatkan wawasan keagamaan kuat dan politik perlawanan terhadap kolonial; b. Pembatasan shalat di masjid, dalam rangka memisahkan kharisma dengan rakyatnya. Selain itu terdapat sensor terhadap karya-karya tulis resmi kerajaan; pelaksana harian kerajaan untuk keluar Kraton harus didelegasi pada Patih (yang digaji dan dipengaruhi oleh Belanda) (sumber: Staatblad).

Belanda mulai memasukkan pengaruh Kristen ke dalam Kraton, dengan melalui pendidikan, seperti Sekolah Taman yang gurunya orang-orang Belanda, memasukkan suster-suster rumah sakit Belanda yang beragama Nasrani untuk merawat keluarga raja (baik yang sakit, maupun putra dalem yang sehat). Selain itu pihak penguasa Belanda meminta tanah Kraton di luar beteng, untuk mendirikan Rumah Sakit, gereja, biara dan sekolah-sekolah Nasrani di Yogyakarta. Dalam posisi lemah, Sultan tidak dapat menolak. Oleh karena itu pada era pemerintahan Sultan HB V sampai dengan ke VII, kegiatan keislaman kraton agak berkurang terang-terangan, banyak diwujudkan dengan simbol-simbol, yang dibungkus dengan kebudayaan Jawa.

Kraton dan Muhammadiyah

Mulai pada pemerintahan Sultan HB VII, mulai dirintis untuk mengadakan pembaharuan nilai-nilai Islam. Secara diam-diam melalui penghulu kraton, mulai kembali diadakan pembenahan kegiatan Islam. Oleh karena itu ketika KHA Dahlan (sebagai Ketib Amien) Kraton Yogyakarta akan berhaji dan mukim di Mekah, pihak kraton tidak melarangnya, bahkan mensuportnya. Kesultanan secara diam-diam memang menghendaki perkembangan Islam tidak berhenti pada upacara ritual saja, namun ada pembaharuan dengan amalan yang nyata bagi kesejahteraan hidup umatnya, maka perlu pembaharuan!

Pada waktu KHA Dahlan mulai mensosialisasikan Gerakan Tajdid (pembaharuan metode pengamalan Islam) dan Gerakan Pemurnian Islam, maka, kraton pun diam-diam dari belakang mensuportnya. Mungkin pernah ada konflik sedikit antara KHA Dahlan dengan pejabat, yaitu ketika KHA Dahlan membuat shof Sholat sesuai kiblat. Namun konflik itu bukan dengan pihak Sultan, tetapi ada pejabat yang menggunakan opsir Belanda merusak mushola KHA Dahlan. Sebagai bukti bahwa konflik itu bukan dengan Sultan ialah, hubungan KHA Dahlan dengan Sultan tetap baik, yaitu: ketika ada acara-acara KHA Dahlan dan Muhammadiyah tetap diundang, ketika penobatan Sultan HB VIII, KHA Dahlan mengerahkan Pandu Hizbul Wathon lengkap dengan Marching Band-nya, ikut dalam deville penobatan. Pihak kraton mengizinkan Alun-alun utara dan alun-alun selatan untuk shalat Ied, dan sebagainya.

Hubungan Kraton dengan Ngayogyakarta dengan Muhammadiyah semakin mesra, dapat dibuktikan: a. Sejak Penghulu Muhammad Kamaludiningrat (anggota Muhammadiyah Stb. No 1), sampai sekarang adalah para tokoh Muhammadiyah, hal ini menandakan bahwa Muhammadiyah dapat akrab dengan kraton; b. Juga sering mengizinkan dan memberikan fasilitas pada aktivitas Muhammadiyah; c. Kraton banyak mengizinkan pemakaian tanah Kraton untuk kepentingan sosial gerakan Muhammadiyah; d. Ada alasan, bahwa Kraton menggunakan al-Qur’an sebagai pokok-pokok ajaran dan hukum yang dilaksanakan dan al-Hadits sebagai petunjuk pelaksananya, yang diterjemahkan dengan konteks pendekatan budaya Jawa.

Pada Sultan HB IX apalagi setelah merdeka, hubungan dengan Muhammadiyah semakin akrab. Baik sumbangan baik moril maupun materiil yang telah diberikan Sultan HB IX kepada Muhammadiyah. Dan nasihat pokok dari Sultan ialah untuk tetap menjaga keagamaan Islam di kraton Yogyakarta. Oleh karena itu, putera dalem (sentana dalem) tidak semuanya tetap istiqomah beragama Islam.

*tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Suara ‘Aisyiyah No. 7 2002

Related posts
Berita

Irman Gusman Berkomitmen Jadikan Masjid Taqwa Muhammadiyah Ikon Religius Sumatera Barat

  Padang, Suara ‘Aisyiyah – Anggota DPD RI, Irman Gusman, mengadakan kegiatan reses di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Sumatera Barat, pada Senin (16/12)….
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…
Hikmah

Ijtihad Kalender Islam Global Muhammadiyah

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar* Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan. Di antara karakter itu tampak dari apresiasinya terhadap…

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *