Pendidikan

Krisis Literasi dan Numerasi di Indonesia: Kenapa Kita Harus Peduli?

Sc: Ujione
Sc: Ujione

Sc: Ujione

Oleh: Rintan Nuzul Ainy*

Pendidikan selalu dianggap sebagai kunci untuk masa depan yang lebih baik. Namun, di Indonesia, kita sedang menghadapi masalah yang sangat mendasar: rendahnya kemampuan literasi dan numerasi di kalangan siswa. Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan. Indonesia menempati posisi ke-72 dari 77 negara dalam kemampuan literasi pada tahun 2018, dan kondisi numerasi tidak jauh berbeda. Masalah ini bukan hanya sekedar angka, tetapi juga mengancam kualitas sumber daya manusia kita di masa depan.

Apa Itu Literasi dan Numerasi?

Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari kita bahas dulu apa yang dimaksud dengan literasi dan numerasi. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis, dan memahami teks. Sedangkan numerasi adalah kemampuan dalam memahami dan menggunakan angka, seperti berhitung dan memahami konsep matematika dasar. Kedua kemampuan ini adalah pondasi dasar yang dibutuhkan untuk bisa memahami materi lain di sekolah dan untuk menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari. Namun, menurut laporan PISA, banyak siswa Indonesia yang masih kesulitan dalam dua hal mendasar ini. Mereka kesulitan memahami teks yang agak kompleks atau sekedar menyelesaikan soal matematika sederhana. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, apalagi di tengah perkembangan dunia yang semakin mengandalkan kemampuan berpikir kritis dan analitis.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

Menurut Darmaningtyas, seorang pakar pendidikan, masalah ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah ketimpangan akses pendidikan di Indonesia. “Di banyak daerah terpencil, sekolah-sekolah masih sangat minim fasilitas. Tidak jarang, buku pelajaran yang digunakan sudah usang dan guru pun tidak mendapatkan pelatihan yang memadai,” ungkap Darmaningtyas dalam wawancara dengan Kompas (2020). Selain itu, kualitas pengajaran di sekolah-sekolah juga menjadi sorotan. Guru adalah ujung tombak pendidikan, namun sayangnya, banyak guru yang belum memiliki metode pengajaran yang efektif, khususnya dalam mengajarkan literasi dan numerasi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyadari hal ini. Ia menyatakan bahwa salah satu solusi yang sedang digalakkan adalah pelatihan intensif bagi para guru agar mereka bisa mengajar dengan cara yang lebih relevan dan interaktif (Tempo, 2021).

Selain tantangan dari sisi sekolah, ada juga masalah budaya yang harus kita akui. Budaya membaca di Indonesia masih rendah. Menurut data dari UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara. Ini berarti banyak siswa yang jarang sekali membaca di luar jam pelajaran sekolah. Kurangnya akses terhadap buku-buku yang menarik dan berkualitas juga memperparah keadaan ini, terutama di daerah-daerah yang terpencil. Beberapa program pemerintah, seperti Gerakan Literasi Sekolah memang sudah mulai diterapkan untuk membangun budaya baca sejak dini. Namun, hasilnya masih belum maksimal karena masih banyak sekolah yang tidak memiliki koleksi buku yang memadai. Apalagi, minat baca tidak hanya bisa ditumbuhkan di sekolah, tapi juga di rumah dan lingkungan sekitar.

Baca Juga: Berkunjung ke Museum: Tempat Wisata yang Menjelma Laboratorium 

Apa Dampak dan Solusinya?

Rendahnya tingkat literasi dan numerasi bukan hanya berdampak pada prestasi akademik siswa di sekolah. Ini juga akan mempengaruhi bagaimana mereka menghadapi tantangan di dunia nyata. Generasi muda yang lemah dalam literasi dan numerasi akan kesulitan bersaing di dunia kerja yang semakin membutuhkan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Andreas Schleicher, Direktur PISA di OECD, pernah menekankan pentingnya pemahaman konsep dalam pendidikan, khususnya matematika. “Jika siswa hanya mampu menghafal tanpa benar-benar memahami konsep dasar, mereka akan kesulitan dalam memecahkan masalah di kehidupan nyata,” kata Schleicher (The Jakarta Post, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan ini bukan sekedar soal nilai di atas kertas, tetapi juga soal masa depan generasi kita.

Untuk memperbaiki kondisi ini, tentu tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Pemerintah, guru, orang tua, dan masyarakat harus berkolaborasi. Pemerintah sudah mulai dengan program Kurikulum Merdeka yang memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk menyesuaikan materi ajar. Selain itu, program seperti Program Indonesia Pintar (PIP) juga diharapkan dapat membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk tetap bisa sekolah. Namun, reformasi pendidikan bukan hanya soal kebijakan dari atas. Peran orang tua juga sangat penting dalam membangun budaya baca di rumah. Orang tua bisa mengajak anak-anak untuk membaca bersama atau melibatkan mereka dalam aktivitas sehari-hari yang melibatkan angka, seperti menghitung belanjaan atau merencanakan pengeluaran keluarga. Di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi solusi. Dengan semakin mudahnya akses internet, siswa di daerah terpencil bisa mendapatkan bahan ajar digital yang lebih beragam dan berkualitas. Aplikasi belajar dan platform daring seperti Ruangguru atau Zenius bisa menjadi jembatan bagi siswa yang kesulitan mendapatkan akses belajar di sekolah.

Krisis literasi dan numerasi di Indonesia adalah masalah yang sangat serius, namun bukan tanpa solusi. Jika kita mau bergerak bersama—pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat—kita bisa membantu meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi anak-anak Indonesia. Generasi muda adalah masa depan bangsa, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan mereka memiliki keterampilan yang cukup untuk menghadapi masa depan yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Pertanyaan selanjutnya, apakah kurikulum pendidikan Indonesia saat ini sudah mampu memfasilitasinya?

*Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Ahmad Dahlan

6 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *