
anak bekerja (foto: pixabay)
Salah satu dampak krisis moneter 1998 adalah terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak perusahaan bangkrut. Peluang kerja pun minim. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari persoalan ekonomi, terutama di tengah harga kebutuhan pokok dan sekunder yang melambung tinggi.
Anak Korban Keadaan
Anak menjadi salah satu korban dari kondisi tersebut. Rubrik Laporan Utama di Majalah Suara ‘Aisyiyah edisi April 1998 secara khusus mengangkat tema anak. Ketika orang tua berada dalam situasi tidak berdaya, anak dituntut untuk “mengerti” keadaan orang tuanya. Pada waktu itu digambarkan banyak anak yang turun ke jalan menjadi buruh kasar atau pedagang asongan.
Idealnya, anak harus mendapatkan kasih sayang lebih dari orang tua. Mereka juga punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan Guru Besar Antropologi UGM Syafri Sairin, dapat “dimaklumi” bahwa orang tua kurang menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya, sebab untuk bisa makan pun sudah beruntung.
Lebih lanjut, artikel berjudul “Anak Lebih Membutuhkan Belaian Kasih Sayang” itu menerangkan bahwa dalam situasi apapun, bahkan meskipun orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya untuk sementara di lembaga pendidikan formal, mereka harus terus memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Syafri Sairin dalam laporan yang berbeda juga mengajak agar Muhammadiyah-‘Aisyiyah menjadi pelopor yang menekan biaya pendidikan yang tinggi. Salah satu opsinya adalah menerapkan buku dengan standar yang sama; tidak setiap triwulan ganti.
Edisi kali ini juga secara spesifik mengulas fenomena maraknya perempuan yang terkena PHK, baik mereka yang bekerja di sektor perbankan, garmen, peternakan, maupun sektor lain. Di antara sebab PHK besar-besaran terhadap pekerja perempuan ini adalah untuk efisiensi kerja. Ditambah lagi masih adanya anggapan bahwa perempuan tidak layak untuk bekerja di sektor pekerjaan tertentu.
Baca Juga: Krisis Moneter 1998 dalam Tinjauan Suara Aisyiyah (I): Lahirnya Orang Miskin Baru
“Seruan” PP ‘Aisyiyah untuk memberikan santunan dan mengumpulkan beras di tengah krisis moneter, sebagaimana diulas di artikel sebelumnya, dicontohkan langsung oleh ibu-ibu ‘Aisyiyah yang berada di pucuk pimpinan. PP ‘Aisyiyah membagikan beras senilai Rp1.838.000 ke kaum dhuafa dan lanjut usia yang berada di Kulon Progo, Yogyakarta.
Bulan Perjuangan
Pada Mei 1998, di bulan “yang penuh perjuangan” ini, secara umum pembahasan tentang kondisi kebangsaan dari berbagai sektor mendapat banyak perhatian dibandingkan empat edisi sebelumnya. Foto Amien Rais yang terpampang di muka sampul majalah semacam menjadi pemantik kesadaran warga Persyarikatan tentang apa yang terjadi pada Indonesia.
Pembahasan di edisi sebelumnya tentang pendidikan anak kembali mendapatkan perhatian khusus di edisi Mei 1998, mengingat ada dua momentum penting pada bulan Mei ini, yakni Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Buku Nasional (17 Mei). Demikian halnya dengan artikel tentang PHK bagi pekerja perempuan.
PP ‘Aisyiyah, sekali lagi, tidak diam ketika melihat kondisi yang ada. Mereka lantas mengadakan Kajian Ekonomi dalam rangka “memperoleh masukan, informasi yang akurat tentang perkembangan, prospek perekonomian nasional, dan mencari model peluang dalam mengembangkan konsep ekonomi bagi umat Islam.”
Di edisi kali ini, Majalah Suara ‘Aisyiyah juga memuat “Pernyataan” dari PP Muhammadiyah, sebagai berikut: pertama, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas krisisi akhlak dan keteladanan yang berkembang menjadi krisis moneter serta krisis kepercayaan kepada penyelenggara negara, serta makin beratnya kehidupan masyarakat. Kedua, mendorong upaya reformasi politik, ekonomi, dan hukum secara konstitusional, bertahap, dan damai.
Ketiga, Muhammadiyah selalu bersama bangsa Indonesia untuk mendorong langkah reformasi yang lugas dan substantif. Keempat, menyerukan kepada Pemerintah agar menangani krisis multiwajah dengan menekankan pemecahan yang konkret, pasti, dan mendasar. Kelima, mengharapkan ABRI sebagai tulang punggung bangsa dan negara mengambil sikap positif dalam menghadapi masalah nasional dan upaya reformasi.
Keenam, menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat agar terus bertawakkal dan berdoa kepada Allah agar bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis. Ketujuh, menyerukan kepada masyarakat dan keluarga besar Muhammadiyah untuk terus melakukan tugas dakwah amar makruf nahi mungkar.
Rangkaian pembahasan tentang kondisi kebangsaan di edisi Mei 1998 ini ditutup dengan artikel “Banyak Orang Kaya Berperilaku Tidak Terpuji” karya T. Prie. Orang-orang kaya ini, karena takut mati, “mereka memborong sebanyak-banyaknya bahan kebutuhan pokok. […] Tidak ada lagi semangat sependeritaan, gotong-royong. Semua itu mulai tampak semu”. Dalam situasi sulit, alih-alih saling bantu, nyatanya malah banyak orang yang lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. (siraj)