Wawasan

Kriteria Pemimpin yang Baik

Pemimpin
Pemimpin

Pemimpin

Oleh: Muhsin Haryanto

Rasulullah saw. adalah uswatun hasanah. Beliau digelari al-amin sejak sebelum diutus menjadi rasul. Sementara Abu Bakar, sahabatnya, digelari ash-shidiq, orang yang jujur, loyal, dan punya integritas luar biasa sebagai seorang Muslim.

***

Dalam kehidupan bermasyarakat, pemimpin harus menjadi menjadi teladan. Keteladanan itu misalnya berwujud sikap amanah dan jujur. Seorang pemimpin harus punya integritas, tanggung jawab, serta amanah. Ia menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan umat Islam agar mengangkat seorang pemimpin yang punya sikap amanah dan shidiq, baik dalam tingkatan terendah hingga tertinggi. Bahkan jika dalam suatu rombongan terdiri atas minimal tiga orang, maka harus ditunjuk satu orang sebagai pemimpin. Yang ditunjuk haruslah orang yang jujur dan amanah. Itu dalam lingkup kecil. Kalau dalam lingkup lebih luas, misalnya lingkup negara, pemimpin yang jujur dan amanah sangat dibutuhkan.

Memilih Pemimpin Beriman

Al-Quran mengingatkan kepada umat Islam, “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang yang kafir (dan orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. al-Maidah [5]: 57).

Ayat ini esensinya menekankan arti pentingnya memilih pemimpin yang beriman. Pemimpin yang beriman akan selalu ingat bahwa apa-apa yang dia miliki tidak lain adalah kepunyaan Allah, termasuk juga kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat yang memilihnya.

Sifat amanah dan shidiq seorang pemimpin harus dibuktikan dalam tindakan kepemimpinannya, baik kepada sesama manusia maupun (kepada) Allah swt. Misalnya dibuktikan dengan terlepas dari masalah-masalah kejahatan publik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan seluruh derivasinya (perluasan maknanya). Selain itu, seorang pemimpin harus punya kemampuan manajerial, yakni kemampuan untuk mengelola persoalan publik.

Kondisi Kepemimpinan Kini

Kita tidak dapat menutup mata bahwa sebagian besar masyarakat masih terpaku pada sikap primordial, dan seringkali terpaku pada kharisma tokoh ketika menentukan siapa pemimpin yang akan dipilihnya. Hingga banyak pemimpin yang terpilih bukan karena kelayakan leadership-nya (kepemimpinannya), tetapi hanya karena yang bersangkutan ‘sangat’ populer, mempunyai ikatan emosional dengan pemilihnya dan (karena) kharismanya. Lebih ironis lagi, ada seorang pemimpin yang terpilih hanya karena kedekatan dengan para pemilihnya dari sisi kepentingan-kepentingan jangka pendeknya, termasuk karena kepentingan pragmatis sosial, politik, dan ekonominya.

Hingga kini, ternyata umat Islam masih memerlukan proyek pencerdasan, guna membangun kesadaran kolektif serta pendidikan politik untuk menentukan pilihan secara rasional-kalkulatif dalam memilih pemimpinnya sehingga terpilih figur pemimpin yang berkualitas seperti kriteria kepemimpinan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw.: shidiq (jujur), fathonah (cerdas), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (berkomunikasi dan komunikatif dengan bawahannya dan semua orang).

Ketika memimpin, beliau saw. senantiasa menjunjung tinggi sikap-sikap itu, yang tercermin pada sikap dan perilakunya sebagai pemimpin agama maupun pemimpin masyarakat (yang mempunyai otoritas moral dan politik secara sinergis). Beliau adalah teladan bagi semua pemimpin. Namun, kini empat kriteria tersebut sulit ditemukan dalam pribadi pemimpin kita.

Menjadi Pemimpin Itu Berat

Di masa Bani Umayyah, kita mengenal seorang pemimpin besar yang pantas diteladani, yakni Umar bin Abdul Aziz. Pribadi dan gaya kepemimpinannya bukan hanya sekadar ‘tontonan’, tetapi juga ‘tuntunan’ bagi para pemimpin. Rasulullah saw. bersabda, “janganlah kalian menuntut suatu jabatan”. Lalu beliau bersabda, “bahwa jabatan (kedudukan) pada permulaannya adalah penyesalan, pada pertengahannya adalah kesengsaraan (kekesalan hati), dan pada akhirnya adalah azab pada hari kiamat” (HR. Ath-Thabarani).

Bersikap amanah dan shidiq itu sangat sulit. Tetapi jika ketika kita sudah menjadi pemimpin, kita harus siap berhadapan dengan realitas yang seringkali menggoda kita untuk bergerak ‘menyimpang’ dari jalur kepemimpinan yang baik dan benar. Peganglah kebenaran, meski harus dimusuhi banyak orang yang merasa kepentingan pribadi atau kelompoknya dirugikan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. dan Abu Bakar, dan dicontoh –antara lain—oleh Umar bin Abdul Aziz.

Ketika Umar bin Abdul Aziz mampu meneladani Rasulullah saw. dan Abu Bakar, semoga kita pun menjadi bagian dari ‘para penjaga’ sikap itu, sekecil apapun tanggung jawab kepemimpinan yang dipercayakan di pundak kita. InsyaAllah.

Related posts
Berita

Alpha Amirrachman: Sekolah Muhammadiyah Lahirkan Calon Pemimpin

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah H. R. Alpha Amirrachman menegaskan bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah mempunyai added values…
Sosial BudayaWawasan

Kepemimpinan dalam Perspektif Islam

Oleh: Febyolla Presilawati* Budaya Islam telah mendukung cara hidup yang lengkap, khususnya terkait peran pemimpin dalam konsep Islam.  Al-Quran dan as-Sunnah adalah…
Kalam

Memimpin dengan Panduan Al-Quran

Oleh: Muhsin Hariyanto Banyak orang yang masih bertanya: “adakah pemimpin ideal saat ini?” Seandainya ada, siapakah dia? Dan bagaimana seharusnya seseorang pemimpin…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *