
guru inspiratif (foto: istockphoto))
Oleh: Biyanto*
Ada ungkapan bernada klise di kalangan pendidik dan pegiat pendidikan pada setiap terjadi pergantian menteri. Ungkapan itu berbunyi: “Ganti menteri, ganti kebijakan. Ganti menteri, ganti kurikulum.” Ungkapan ini muncul karena setiap menteri ingin membuat sejarah baru. Berbekal seperangkat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, setiap menteri menggulirkan kebijakan baru. Ironinya, seringkali kebijakan itu berbeda dengan era sebelumnya. Sangat jarang seorang menteri meneruskan sekaligus memperkuat kebijakan yang sudah ada.
Dampaknya, perbaikan pendidikan di negeri ini selalu dimulai dari awal. Jika ditanyakan, mengapa kebijakan pendidikan selalu berubah? Jawabnya, setiap zaman memiliki tantangan tersendiri, setiap generasi juga memiliki kebutuhan yang berbeda! Begitulah jawaban bernada klise dari pengambil kebijakan di negeri ini. Padahal, rancang bangun pendidikan untuk masa depan generasi bangsa tidak seharusnya dilakukan dengan coba-coba. Harus ada peta jalan (road map) berkelanjutan untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.
Strategi bongkar-pasang kebijakan juga dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Pada awal menjabat, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim meluncurkan empat program utama untuk menerjemahkan spirit “Merdeka Belajar” dan “Guru Penggerak”, yakni: (1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) sepenuhnya diserahkan ke sekolah, (2) Penghapusan Ujian Nasional dan digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) dan Survei Karakter, (3) Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan (4) Perubahan skema persentasi kuota zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Khusus program Guru Penggerak, Mendikbud menyatakan, “Perubahan tidak dimulai dari atas, namun semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba. Jangan menunggu perintah, ambillah langkah pertama.” Selanjutnya, Mendikbud menegaskan, “Saya berjanji dari atas, kami akan mulai bergerak untuk menyederhanakan berbagai macam peraturan, menyederhanakan berbagai macam administrasi, menyederhanakan berbagai macam kurikulum, dan berbagai macam asesmen.” Pernyataan Mendikbud memberikan dorongan pada guru untuk bergerak maju. Mendikbud menjanjikan kemudahan dan penyederhanaan urusan adimistrasi pendidikan.
Komitmen Mendikbud untuk memerdekakan guru dari semua beban administrasi juga ditegaskan melalui pernyataan, “Dalam waktu yang tidak lama, diiringi dengan turunnya surat edaran menteri tentang bagaimana guru dibebaskan untuk berkreasi dalam menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP yang selama ini menjadi beban administratif guru diperbolehkan hanya menggunakan satu halaman kertas folio.” Ungkapan ini bertujuan untuk memerdekakan guru dalam membuat RPP. Soal format RPP sepenuhnya diserahkan pada guru. Yang penting, RPP itu sekurang-kurangnya berisi: tujuan pembelajaran, proses pembelajaran, dan penilaian/asesmen.
Kepada kepala sekolah, Mendikbud juga berpesan, “Kepala sekolah harus mengubah paradigma kepemimpinan yang tadinya sebagai regulator, mengawasi, mengatur, menjadi pelayan, melayani guru dan siswa. Mulai minggu depan, kepala sekolah harus menanyakan; Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda sehingga bisa bertugas lebih baik? Agar kita mengubah paradigma kepemimpinan yang melayani, paradigma kepemimpinan yang membantu.” Begitulah beberapa pernyataan Mendikbud tatkala menyampaikan pidato pada perayaan Hari Guru Nasional pada 25 November 2019 lalu. Semua pernyataan Mendikbud dikemukakan dalam konteks mewujudkan filosofi pendidikan dengan tagline “Merdeka Belajar.”
Kurikulum Merdeka
Sebagai bagian dari program “Merdeka Belajar”, pada 2022 ini Kemendikbud Ristek menggulirkan kebijakan baru: Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum baru berbasis kompetensi untuk mendukung pemulihan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek (project base learning).
Kurikulum ini memberikan kemerdekaan pada satuan pendidikan untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang memberdayakan siswa. Satuan pendidikan dan guru dinilai lebih memahami karakteristik dan kebutuhan siswa. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah interaksi sekolah, guru, dan siswa.
Dengan adanya kurikulum baru berarti pada 2022 ini ada tiga jenis kurikulum yang diimplementasikan di satuan pendidikan, yakni: Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Merdeka. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang sudah berjalan di seluruh satuan pendidikan. Sementara Kurikulum Darurat merupakan kurikulum yang dirancang secara khusus selama pandemi Covid-19. Khusus untuk Kurikulum Merdeka, pada kurun 2022-2024, implementasinya dilaksanakan secara terbatas di sejumlah satuan pendidikan (pilot project). Pada saatnya nanti, kurikulum ini akan diterapkan untuk semua satuan pendidikan.
Mengenai Kurikulum Merdeka, Mendikbud mengatakan, “Dengan kurikulum ini kita menciptakan perubahan pada anak yang memiliki kemampuan berkolaborasi, berpikir kritis, belajar berdebat, dan membuat inisiatif-inisiatif sesuai kebutuhannya.” Mendikbud menilai bahwa kurikulum yang ada sangat kaku dan terlampau banyak muatan materinya. Akibatnya, terjadi kedangkalan kemampuan siswa terutama dalam aspek literasi dan numerasi.
Dengan kurikulum baru materi pembelajaran, diharapkan lebih mendalam dan menyesuaikan kebutuhan siswa. Dengan pembelajaran berbasis proyek diharapkan lebih mengembangkan karakter siswa. Kurikulum ini juga memberikan kesempatan siswa untuk belajar melalui pengalaman (experimental learning).
Menjadi Guru Inspiratif
Setiap ada kebijakan baru, termasuk uji coba implementasi Kurikulum Merdeka, biasanya membuat satuan pendidikan dan guru galau alias risau. Hal itu dapat dimaklumi karena sebagian guru mungkin juga belum sepenuhnya memahami dengan baik Kurikulum 2013. Sementara itu, Kemendikbud Ristek tiba-tiba mengenalkan kurikulum baru: Kurikulum Merdeka. Dalam kaitan ini, para guru perlu dipesankan untuk tidak risau, apalagi “baper”. Para guru harus tetap mendidik siswa dengan sepenuh hati!
Pesan itu penting karena guru yang memiliki masa tugas terlama pasti sudah merasakan pergantian kurikulum hingga beberapa kali. Para guru sangat mungkin ada yang memiliki pengalaman mendidik dengan menggunakan Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP), Kurikulum 2013, dan Kurikulum Darurat. Jika sekolahnya termasuk sasaran pilot project untuk kurikulum baru, maka guru juga mengalami pembelajaran dengan Kurikulum Merdeka.
Pertanyaannya, apa yang berubah dalam proses pembelajaran guru seiring dengan perubahan kurikulum pendidikan nasional? Jika tidak ada yang berubah, seharusnya guru tetap tenang mendidik siswa apa pun yang terjadi dengan kurikulum pendidikan kita. Pada konteks ini, terasa bahwa dunia pendidikan, termasuk yang ada di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah–’Aisyiyah, membutuhkan sebanyak mungkin guru inspiratif. Keberadaan guru inspiratif penting agar mudah beradaptasi dengan perubahan kebijakan pendidikan nasional.
Istilah guru inspiratif dipopulerkan Rhenald Kasali (2014). Guru inspiratif diilustrasikan sebagai pendidik yang mengajak siswa berpikir kreatif dan inovatif dengan memaksimalkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan (maximum thinking). Guru inspiratif mendidik siswa terampil berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill). Antitesis guru inspiratif adalah guru kurikulum. Guru kurikulum digambarkan pendidik yang mengajarkan sesuatu yang biasa-biasa saja (habitual thinking). Dampaknya, siswa secara fungsional hanya mampu berpikir tingkat lebih rendah (lower order thinking skill).
Persoalannya, jumlah guru inspiratif di sekolah lebih sedikit dari guru kurikulum. Dominasi guru kurikulum dapat diamati dari respons mereka terhadap perubahan kebijakan. Termasuk respons guru tatkala harus mengimplementasikan kurikulum baru.
Umumnya guru kurikulum selalu melihat aspek kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Padahal kurikulum baru tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Jika ada perubahan, hanya beberapa aspek. Bahkan, perubahan itu terkadang tidak substantif. Karena itulah para pendidik tidak perlu gagap dan gugup. Apalagi, kurikulum sejatinya bukan kitab suci yang kebal perubahan. [6/6]
*Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
2 Comments