
kesetaraan gender (ilustrasi: istockphoto)
Oleh: M. Rofiqul Annam*
Secara umum, kesetaraan gender merupakan konsep yang dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam pasalnya menyatakan bahwa manusia dilahirkan bebas dan sama. Dengan merujuk pada deklarasi ini, CEDAW mencantumkan istilah “hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan serta kesetaraan hak laki-laki dan perempuan”.
Konsep kesetaraan gender merujuk pada kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan untuk menikmati rangkaian lengkap hak-hak politik, ekonomi, sipil, sosial, dan budaya. Kesetaraan gender (gender equality) juga merujuk pada situasi dimana tidak ada individu yang ditolak aksesnya atas hak-hak tersebut.
Di masa sekarang, perempuan tidak lagi menjadi kaum terbelakang dengan konstruksi berpikir yang mengekang bahwa perempuan hanya identik dengan dapur-sumur-kasur. Dari tahun ketahun, kesenjangan peran antara perempuan dan laki-laki perlahan ditinggalkan. Gerakan meninggalkan kesenjangan gender ini didukung oleh United Nation Women (UN Women) yang merupakan organisasi internasional yang dibentuk oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai dedikasi kesetaraan gender terhadap perempuan.
Peran perempuan tidak kalah penting apalagi dengan kondisi dunia saat ini. Pada masa pandemi Covid-19, hingga muncul lagi virus semacamnya yang sampai saat ini masih belum bisa terselesaikan, banyak perempuan berada di garda terdepan penanganan Covid-19, seperti menjadi tenaga kesehatan, atau ilmuwan.
Baca Juga: Era Digital dan Perempuan Berkemajuan
Terdapat fakta yang cukup miris dimana UN Women menyoroti bahwa pekerja perempuan dibayar 11% lebih rendah secara global dibandingkan pekerja laki-laki. Padahal ketika kita melihat bahwa dari segi jam kerja perempuan sebenarnya tidak dibedakan dengan laki-laki.
Namun, peran perempuan yang tidak kalah penting sebagai pemimpin terbukti dari penilaian UN Women dimana Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, yang telah berhasil membawa negaranya menjadi negara dengan penanganan Covid-19 terbaik versi Covid Performance Index.
Lalu, bagaimana dengan pemimpin perempuan di Indonesia? Ternyata tidak sedikit perempuan Indonesia yang berhasil membuktikan bahwa mereka memiliki hak yang setara dengan laki-laki, terkhusus dalam bidang political empowerment atau pemberdayaan politik. Sebut saja ada Megawati Soekarnoputri, Susi Pudjiastuti, Sri Mulyani, dan masih banyak lagi.
Fenomena Pemimpin Perempuan
Lalu, kenapa sosok pemimpin perempuan dirasa tidak kalah penting dengan pemimpin laki-laki? Secara kodrati dan religiusitas dalam agama Islam, al-Quran tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana disebutkan dalam Q.S an-Nisa: 1.
Artinya, “Wahai Manusia, bertaqwalah kamu kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan allah menciptakanmu berpasang-pasangan, dan dari keduanya allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak, bertaqwalah kamu yang dengan namanya kamu saling meminta dan periharalah hubungan kekeluargaan, sesungguhnya allah selalu menjaga dan mengawasimu”.
Ini dapat diartikan bahwa semua bisa “fil ardhi kholifah”. Tentu, dengan munculnya para pemimpin perempuan akan memperkecil angka kesenjangan gender atau gender gap seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, “tantangan kesejahteraan gender diukur dari gender gap. Indonesia berada di rangking 93 dengan kesenjangan gender paling tinggi. Salah satu indikatornya adalah political empowerment atau pemberdayaan politik”.
Harapannya, partisipasi perempuan terhadap political empowerment semakin tinggi. Untuk itu, mereka perlu melek terhadap isu-isu terkini, membaca data tidak hanya lewat WhatsApp Group atau media sosial lainnya, serta menentukan pilihan berdasarkan fakta yang rasional karena politik adalah the power of govern.
Di sisi lain, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan, “kepemimpinan perempuan nyatanya sangat esensial bagi kesejahteraan bangsa, bahkan dunia. Hal ini harus terus menerus digelorakan dan digaungkan, sehingga tertanam menjadi persepsi yang baru dalam masyarakat”.
Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah
Minimnya keterwakilan perempuan sebagai pemimpin membuat sebuah organisasi atau institusi kurang memiliki sudut pandang perempuan. Sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh pada penyusunan kebijakan yang berpihak pada perempuan yang kemudian berdampak pada rendahnya tingkat kesetaraan gender.
Padahal, Bank Dunia pada tahun 2012 sepakat bahwa saat laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik, maka akan muncul kebijakan-kebijakan yang lebih inklusif untuk menciptakan sebuah inovasi serta kreativitas guna mencapai tujuan yang baik. Di era disrupsi saat ini, inovasi besar selalu dituntut seiring perkembangan teknologi.
Perempuan Hebat, Indonesia Kuat
Kepemimpinan perempuan di pemerintahan sudah mendapat banyak respon positif saat ini. Oknum-oknum yang mengatakan bahwa perempuan tidak layak untuk memimpin sudah mulai teredukasi, terutama dengan adanya gerakan-gerakan kesetaraan gender, seperti Pengarusutamaan Gender (PUG).
Itu merupakan strategi untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan gender melalui kebijakan, program, dan kegiatan-kegiatan yang tentunya memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan serta permasalahan laki-laki dan perempuan. Dengan banyaknya dukungan dan gerakan menuju kesetaraan gender, seharusnya tidak ada lagi larangan atau batasan bagi perempuan untuk berkarya dan memimpin.
Pada intinya, ketika sebuah organisasi diisi hanya dengan satu jenis makhluk saja maka organisasi itu akan kehilangan kontribusi dari makhluk lainya. Sehingga kebijakan yang muncul tidak menyeluruh. Ketika organisasi itu lebih kolektif pasti perspektifnya akan jauh lebih menyeluruh. Oleh karena itu, kebijakan publik harus selalu responsif.
Laki-laki dan perempuan ibarat sepasang sepatu high heels. Bayangkan, kalau haknya sudah tidak sama tingginya, tentu orang yang berjalan tidak akan nyaman!
* Peserta PKMTM 3 IPM DIY Tahun 2022 Asal PW IPM Lampung