Oleh : Diyah Puspitarini (Ketua Umum PP Nasyiatul ‘Aisyiyah)
Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefini-sikan “ilmu gagasan”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara memandang sesuatu, atau sekelompok ide yang diajukan oleh pihak dominan kelas untuk semua anggota publik.
Tujuan utama di balik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (bukan hanya pembentukan gagasan) yang diterapkan pada masalah publik yang menjadikan konsep ini sebagai inti dari politik. Secara implisit, setiap pemikiran politik mengikuti suatu ideologi meskipun tidak diletakkan sebagai sistem pemikiran eksplisit.
Ideologi yang berkembang juga menunjukkan sebuah identitas dari kelompok, kepentingan, hingga capai-an akhir sebuah tindakan. Dalam setiap gerak langkah individu pun tentunya memiliki ideologi sebagai penunjuk arah perilakunya, walau terkadang seseorang menyebut dirinya tidak berideologi.
Ideologi, jika hanya digerakkan oleh seorang diri, tidak akan memiliki nilai perubahan yang cukup besar. Ideologi akan terus berlanjut dan berkembang jika digerakkan oleh banyak orang atau sekumpulan manusia dalam wadah yang sama. Selain tujuan, ideologi juga beririsan dengan sasaran, metode penyebaran hingga tools yang akan dipakai untuk mendefinisikan ideologi tersebut.
Jika dikaitkan dengan dakwah milenial, ideologi ini adalah ide dasar dan pemikiran akan perubahan yang akan dicapai untuk muatan dakwah terutama pada kaum milenial yang hari ini masih sangat asyik dibincangkan. Ada beberapa nilai dasar ideologi yang dibawa pada dakwah milenial tersebut.
Pertama, landasan filosofis dakwah ini bersifat progresif, di mana pemikiran yang terkandung dan entitas serta konten dakwah selalu bersifat progresif, yang menuntut sedikit banyak adanya perubahan. Hal ini sifatnya sangat relatif, sebab ideologi dan entitas dakwah yang diusung selain “amar ma’ruf nahi mungkar” serta “tu’minunabillah” juga memiliki pesan akan ideologi yang diusung masing-masing kelompok.
Kedua, metode dakwah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan kaum milenial. Milenial yang tidak dapat terlepas dari connectivity dan mobilitas ini menuntut seruan yang bersifat religius menjadi lebih fleksibel dan kekinian. Fleksibel ini maknanya dapat dilakukan di manapun, kapan pun, dengan apapun atau siapapun serta menyesuaikan dengan kebutuhan saat itu.
Kekinian di sini maksudnya adalah dilakukan dengan berbagai macam kecanggihan yang dekat dengan kaum milenial, seperti internet, media sosial Facebook, Instagram, Twitter, hingga YouTube. Dakwah tidak hanya dilakukan di area masjid dan televisi karena dengan smartphone yang ada di genggaman, siapapun dapat mengakses konten dakwah tersebut.
Ketiga, sasaran dakwah yang jelas. Salah satu yang menarik di era milenial ini adalah pentingnya segmentasi atau pengelompokan sasaran dakwah. Artinya, materi maupun metode dakwah yang disampaikan hendaknya menyesuaikan dengan segmen atau kelompok sasaran yang dituju. Mi-salnya segmentasi anak-anak tentu memiliki pendekatan dakwah yang berbeda dengan kaum remaja. Kaum remaja misalnya lebih suka dengan pendekatan kasuistik keseharian dan bukan bersifat doktrin.
Adapun kaum manula cenderung lebih dapat disentuh dengan bahasa surgawi serta amalan-amalan kebaikan yang dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. yang berarti:
“Dan Kami tidak me-ngutus seorang rasul, tetapi dalam bahasa bangsanya, sehingga ia dapat memberikan penjelasan kepada mereka”. (Q.S. Ibrahim: 4). Tentunya, karakteristik generasi milenial saat ini seperti yang sudah disebutkan di atas juga memerlukan pendekatan dakwah yang khusus pula.
Keempat, jangan lupakan tujuan dari berdakwah itu sendiri karena tujuan juga menjadi bagian dari pemikiran dan perubahan yang hendak dicapai. Tujuan juga secara tidak langsung adalah bagian dari ideologisasi yang harus disebarluaskan. Kelima, keragaman dan menghormati perbedaan dalam berdakwah adalah sebuah keniscayaan di era milenial ini. Pasalnya, saat ini kita dapat lebih mudah berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai macam latar belakang. Dalam hal ini, yang terpenting adalah bagaimana tetap saling menghormati dan tidak memaksakan.
Muhammadiyah dan ortomnya yang sudah berusia cukup panjang dan tetap eksis adalah salah bukti bahwa Muhammadiyah adalah ormas Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Jargon gerakan Islam berkemajuan ini pula juga menunjukkan entitasnya bahwa Muhammadiyah harus menyesuaikan model dakwahnya dengan perubahan kondisi yang ada.
Ini artinya, wajib bagi Muhammadiyah beserta ortomnya untuk terus melakukan pembaruan model dakwah. Seperti, yang dapat diterima oleh generasi milenial misalnya, dakwah harus semakin kreatif dan inovatif menampilkan format dakwah Muhammadiyah yang lebih up to date, dengan konten pembahasan yang lebih ringan dan mudah diterima.
Sumber ilustrasi : https://www.gomuslim.co.id/
Baca selengkapnya di Rubrik Kalam, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 2 Februari 2020