Oleh: Islamiyatur Rokhmah*
Banjir besar dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 tidak hanya merenggut ratusan nyawa dan menghancurkan ribuan rumah. Di balik angka-angka itu, ada satu kelompok yang menanggung beban lebih berat: lanjut usia.
Di saat evakuasi berlangsung cepat dan panik, banyak lansia terjebak di rumah, kehilangan akses obat-obatan, dan kesulitan bergerak. Mereka yang pada hari-hari biasa membutuhkan pendampingan, kini terpaksa berjuang sendiri di tengah kepanikan massal.
Tantangan Lansia
Dalam banyak laporan lapangan, sejumlah lansia ditemukan menunggu di rumah mereka yang sudah dikepung air. Bukan karena tidak ingin menyelamatkan diri, tetapi karena tubuh tidak lagi sekuat dulu.
Air bah yang naik tiba-tiba membuat banyak dari mereka tak sempat keluar rumah. Mereka yang menggunakan tongkat, kursi roda, atau memiliki penyakit kronis seperti jantung dan diabetes, menjadi kelompok yang paling sulit dievakuasi.
Dalam satu kisah di Sumatera Utara, seorang kakek berusia 79 tahun bertahan di kursi rotannya selama berjam-jam sambil memanggil bantuan. Di Aceh, seorang nenek dengan riwayat strok terjebak di lantai dua rumahnya karena tidak mampu menuruni tangga. Di Sumatera Barat, beberapa lansia dengan gangguan penglihatan mengaku tidak memahami arah evakuasi yang disampaikan secara tergesa-gesa. Dalam bencana seperti ini, keterbatasan fisik menjadi ancaman serius.
Selain itu, tenda pengungsian yang didirikan dalam waktu singkat, juga belum semuanya memenuhi kebutuhan dasar lansia. Banyak lansia kesulitan untuk mendapatkan akses ke obat rutin seperti darah tinggi, jantung, dan diabetes; naik turun ke tenda karena permukaan becek dan licin; ke toilet umum yang letaknya jauh dan tidak memiliki pegangan tangan; tidur di lantai dingin karena tidak tersedia tempat tidur lipat; serta mempertahankan kesehatan mental akibat kepanikan, trauma, dan kesunyian.
Bagi sebagian lansia, pengungsian bukan hanya tempat sementara melainkan pengalaman yang penuh ketidaknyamanan dan ketidakpastian.
Baca Juga: Senja Penuh Cahaya: Menjamin Hak dan Martabat Lansia
Dari sisi kesehatan, bencana adalah pemicu komplikasi kesehatan bagi lansia. Kondisi darurat memperburuk penyakit kronis yang selama ini dapat dikelola. Banyak lansia yang mengalami tekanan darah meningkat karena stres, sesak napas akibat udara dingin dan lembab, gula darah tidak terkontrol karena pola makan berubah, infeksi pernapasan karena tidur di tempat lembab, dan kelelahan fisik dan emosional.
Situasi pengungsian yang padat dan minim fasilitas memperbesar kemungkinan penyakit menular menyebar dan menyerang lansia terlebih dahulu.
Yang Sering Dilupakan dalam Bencana
Dalam setiap bencana, perhatian publik cenderung berfokus pada angka korban dan kondisi rumah rusak. Namun jarang yang menyadari bahwa lansia seringkali tidak masuk prioritas evakuasi, tidak memiliki akses informasi cepat, tidak dapat bergerak mandiri, tidak memiliki keluarga di dekat mereka, serta tidak mampu mengungsi jauh dari lingkungan yang familiar.
Padahal, mereka adalah generasi yang pernah membesarkan kita, merawat kita, dan pernah berdiri di depan keluarga ketika masa muda. Kini, di usia senja, mereka membutuhkan perhatian lebih bukan sekadar belas kasihan.
Lansia bukan sekadar “kelompok rentan”. Mereka adalah warga negara yang memiliki hak atas keselamatan, kesehatan, dan martabat. Penanganan bencana yang inklusif lansia bukan hanya soal logistik, tetapi tentang menghormati manusia seutuhnya. Karena itu, beberapa langkah perlu menjadi prioritas: pemetaan lansia di setiap RT/RW untuk mempercepat evakuasi; tim relawan khusus lansia dalam penanganan darurat; obat-obatan rutin lansia harus menjadi bagian dari logistik utama; desain pengungsian ramah lansia, termasuk tempat tidur, toilet, dan pencahayaan; pendampingan psikososial untuk mencegah stres dan depresi pascabencana; serta pelibatan keluarga dan komunitas dalam pemulihan lansia.
Bencana tidak bisa kita cegah sepenuhnya. Namun penderitaan tambahan, terutama bagi lansia bisa kita kurangi. Lansia di Sumatera telah melewati hidup panjang: perang, krisis ekonomi, badai kehidupan. Tetapi banjir besar 2025 menunjukkan bahwa mereka masih rapuh dan membutuhkan uluran tangan kita.
Di saat bencana menghancurkan rumah dan tanah, jangan biarkan juga ia menghancurkan martabat mereka. Karena bangsa dinilai dari bagaimana ia memperlakukan yang paling rentan dan para lansia adalah bagian dari jati diri kita sebagai masyarakat.
*Wakil Sekretaris Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah

