Islam adalah agama tauhid. Dalam Q.S. al-Ikhlas Allah swt. menegaskan bahwa Dia-lah satu-satunya Tuhan, tempat segala sesuatu bergantung, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada satupun makhluk yang setara dengan-Nya. Bagi umat Islam, Tuhan harus mengisi kesadaran hidupnya; menjadi tempat bermula sekaligus tujuan akhir.
Tauhid bukanlah gagasan ketuhanan yang kosong atau tak bermakna. Iman yang kuat mendorong seseorang untuk bergerak maju meninggalkan kebodohan. Sebaliknya, iman yang lemah menggiring seseorang menuju kebodohan, kemunduran, dan kesewenang-wenangan.
Allah memerintahkan manusia untuk tidak menyembah kepada selain-Nya. Tidak hanya menyembah patung atau berhala, Allah juga melarang manusia menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan. Allah berfirman dalam Q.S. al-Jatsiyah: 23,
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Artinya, “Maka apakah engkau telah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”.
Ayat ini menyasar orang-orang yang menyembah hawa nafsunya. Mereka menganggap bahwa kehidupan hanyalah di dunia. Setelah mati, maka segala sesuatunya berakhir. Oleh karena itu, perbuatan yang mereka lakukan tidak didasarkan pada prinsip kebenaran, kebaikan, kemaslahatan, dan keindahan.
Menurut Muqatil bin Sulaiman, ayat ini turun untuk menerangkan sikap orang kafir Mekkah. Ketika Muhammad diutus menjadi nabi, beberapa pemuka Mekkah sebenarnya mengakui bahwa apa yang disampaikan Nabi saw. adalah sesuatu yang benar. Hal ini terbukti dari pernyataan Abu Jahal kepada Walid bin al-Mughirah: “Demi Allah, sebenarnya aku tahu bahwa Muhammad itu adalah orang yang benar”.
Hanya saja, pengakuan itu tidak dimanifestasikan dalam perbuatan. Mereka lebih memilih mengikuti hawa nafsu; menjaga status sosial, ekonomi, dan sebagainya. Hawa nafsu adalah kecenderungan hati untuk mengikuti dorong syahwat tanpa kendali akal.
“Semua yang mereka lakukan itu disebabkan oleh dorongan hawa nafsunya karena telah tergoda oleh tipu daya setan. Tidak ada lagi nilai-nilai kebenaran yang mendasari tingkah laku dan perbuatan mereka. Apa yang baik menurut hawa nafsu mereka itulah yang mereka perbuat. Seakan-akan mereka menganggap hawa nafsu mereka itu sebagai tuhan yang harus mereka ikuti perintahnya” (Tafsir Kemenag, jilid 9, hlm. 224).
Baca Juga: Memerdekakan Jiwa dengan Tauhid
Dalam banyak ayat, Allah mengingatkan manusia untuk tidak mengikuti hawa nafsu, sebab akan mengantarkan mereka kepada jalan kesesatan dan keburukan. Bagaimana bisa orang yang mata dan pendengaran hatinya dikunci oleh Allah dapat memberi jalan petunjuk kepada kebenaran?
Untuk terbebas dari hawa nafsu itu, jalan yang dapat ditempuh adalah dengan terus mengingat Allah, kematian, dan hari akhir.
وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّ
Artinya, “…dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Q.S. Shad: 26).
Untuk melawan hawa nafsu manusia perlu melakukan penyucian diri (tazkiyatun nafs). Menyucikan diri bukanlah perkara mudah. Nabi Muhammad bahkan menyebutnya sebagai jihad akbar. Ada banyak tabir dan rintangan yang harus dihadapi. Para ulama menjelaskan bahwa untuk memperkokoh keimanan, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menafikan segala sesuatu sebagai Tuhan, termasuk untuk tidak mempertuhan hawa nafsu.
Nabi Muhammad bersabda,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعَاً لِمَا جِئْتُ بِهِ
Artinya, “tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga hawa nafsunya itu tunduk kepada apa yang saya bawa (petunjuk)”.
Hati yang bersih akan melahirkan keimanan yang kuat dan kokoh. Ibarat pohon, akarnya menghunjam jauh ke tanah, pokok batangnya besar dan kuat. Ia tidak goyah oleh angin sepoi bahkan badai sekalipun. Selanjutnya, keimanan yang kuat akan melahirkan amal kebaikan bagi sesama manusia dan semesta. (bariqi)