Bantul, Suara ‘Aisyiyah – Lembaga Budaya, Seni dan Olahraga (LBSO) Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah menggelar acara Private Screening Film Dokumenter dan Bedah Buku Siti Walidah di Amphiteater Museum Muhammadiyah pada Kamis (28/8/25).
Acara ini turut dihadiri segenap pimpinan ‘Aisyiyah, keluarga besar Muhammadiyah, akademisi, serta pegiat literasi dan budaya.
Ketua LBSO PP ‘Aisyiyah, Widiyastuti dalam sambutannya menegaskan bahwa film yang diproduksi berjenis dokumenter ekspositori, berbasis pada data, dokumen, dan memori kolektif yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Film ini kami susun dengan sungguh-sungguh, dengan mengacu pada warisan sejarah dan tradisi lisan. Bahkan, narasi dakwah Siti Walidah di Batur kini bukan sekadar cerita, tetapi narasi sejarah yang dapat dibuktikan,” ujarnya.
Widiyastuti menambahkan, bahwa film ini belum bisa ditayangkan secara luas karena masih dipersiapkan untuk mengikuti festival dokumenter internasional.
“Inilah salah satu kado dari LBSO untuk ulang tahun ke-108 ‘Aisyiyah. Namun karena sifatnya Private Screening, film ini hanya ditonton kalangan terbatas terlebih dahulu sebelum dirilis resmi tahun depan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua PP ‘Aisyiyah, Siti Aisyah menyampaikan apresiasi tinggi atas lahirnya karya ini.
“Siti Walidah adalah teladan dakwah kultural. Beliau bukan hanya pendamping Kiai Ahmad Dahlan, tetapi sosok perempuan yang menggerakkan pendidikan, memberantas buta aksara, dan membuka ruang publik bagi perempuan sejak awal abad ke-20,” ungkapnya.
Baca Juga: Warisan Pencerahan Nyai Walidah: Seabad Lebih TK ABA Bangun Generasi
Dalam sesi bedah buku, sejumlah narasumber menyoroti relevansi perjuangan Siti Walidah dengan kondisi kekinian.
Salah satu narasumber, Budi Husada, Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Sejarah, Bahasa, dan Permuseuman, Dinas Kebudayaan DIY menekankan pentingnya menjadikan sejarah sebagai inspirasi kehidupan masa kini.
Ia menyampaikan, isu-isu yang diperjuangkan Siti Walidah, seperti kesetaraan gender, pendidikan anak, kesehatan perempuan, hingga pemberdayaan masyarakat, masih sangat aktual.
Data dari BPS 2024, misalnya, menunjukkan kasus kekerasan anak di rumah tangga masih tinggi, mencapai 7.640 kasus, serta angka stunting dan perceraian yang terus menjadi tantangan.
“Harapannya, buku dan film ini bisa melahirkan Siti Walidah-Siti Walidah baru di masa kini. Tidak harus menjadi pahlawan nasional, cukup menjadi pahlawan di keluarga masing-masing,” ujarnya.
Film dan buku ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai sarana edukasi generasi muda. Beberapa peserta mengusulkan agar sekolah sekolah dapat difasilitasi berkunjung ke Museum Muhammadiyah untuk menonton film sekaligus mempelajari sejarah Siti Walidah secara langsung.
Acara yang berlangsung khidmat ini menegaskan bahwa Siti Walidah bukan hanya milik Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, tetapi milik bangsa Indonesia, bahkan dunia.
Sebagai tokoh perempuan perintis, ia meninggalkan teladan keberanian, akhlak, serta semangat pencerahan yang tetap relevan lintas zaman. (Hana)

