Sosial BudayaWawasan

Lebanon (1): Negeri Nan Indah Penuh Paradoks

Paradoks
Paradoks

Paradoks (foto: pixabay.com)

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari

Seorang duta besar Indonesia di salah satu negara Arab Teluk yang secara politik sangat stabil dan secara ekonomi sangat kaya, dengan setengah berseloroh mengatakan kepada saya bahwa Lebanon itu secara politik ribut terus (political bickering) karena kebanyakan orang pintar.

Ada unsur kebenaran dalam pernyataan itu. Lebanon bukan hanya tingkat pendidikannya sangat tinggi dan memiliki intelektual pemikir kelas dunia dalam jumlah yang sangat banyak, melainkan juga memiliki tingkat kebebasan satu atau dua tingkat di atas negara-negara Arab lainnya. Hanya ada dua negara demokrasi di dunia Arab: Lebanon dan Tunisia. Negara yang pertama sudah demokratis sejak merdeka (1947), yang  terakhir baru mengalami transisi dan konsolidasi demokrasi setelah Arab Spring 2011.

Memang ada paradoks yang tidak gampang dipahami di Lebanon ini: di satu sisi kehidupan sosial, politik dan ekonomi sangat liberal dan demokratis, tapi di sisi lain sistem politiknya confessionalisme. Berbeda dengan konsep consociationalisme di mana sistem pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan proporsi etnik, agama, atau bahasa, serta ada kelompok yang lebih dominan, dalam sistem politik confessionalisme pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan sekte agama. Malaysia saya rasa menganut consociationalisme karena etnis Melayu mayoritas dan dominan, sementara Lebanon menganut confessionalisme karena berdasarkan pengakuan sekte tidak ada yang dominan.

Banyak yang Berdiaspora

Lebanon memang sering tampak sebagai sebuah paradoks. Di satu sisi kebebasan sangat tinggi, bahkan cenderung liberal, di sisi lain sektarianisme yang primeval itu dilestarikan secara formal. Di satu sisi banyak sekali tokohnya yang berpikiran terbuka dan liberal, di sisi lain sering terjadi pembunuhan politik melalui pengeboman. Di satu sisi banyak sekali emigran di Lebanon di luar negeri yang berhasil dalam karirnya, bahkan ada beberapa yang menjadi presiden di beberapa negara di Amerika Latin, di sisi lain di dalam negeri sendiri perpolitikannya terlalu dinamis, dalam artian terlalu panas sehingga sering sekali terjadi pertengkaran politik yang ditandai dengan jatuh-bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat.

Masih ada banyak lagi paradoks lain. Di satu sisi Beirut itu menjadi pusat penerbitan buku (kitab) Arab, sehingga UNESCO pernah menabalkannya sebagai the Capital of World Book, di sisi lain harga buku di Beirut paling mahal di dunia, termasuk di dalamnya untuk buku atau kitab terbitan Beirut sendiri sekalipun! Konon 90 persen lebih dari produksi bukunya adalah untuk konsumsi ekspor! Tak heran jika sampai ada ungkapan yang sedikit satiris “orang Mesir yang menulis buku, orang Lebanon yang mencetak dan menjualnya, tapi orang Irak dan Iran yang membacanya”.

Baca Juga

Lebanon dan Krisis Berlapis Tiga (1)

Masih ada lagi paradoks lain: di satu sisi orang Lebanon sangat memuja tanah airnya, selalu mengagumi masyarakatnya yang manis (kind), ramah (friendly), dan terbuka (open mind),  di sisi lain mereka biasa menyekolahkan keluarganya ke Eropa dan Amerika, dan kemudian bekerja di luar negeri pula sebagai ekspatriat! Diaspora Lebanon termasuk salah satu yang terbesar di seluruh dunia.

Di luar negeri, jumlah emigran dan keturunan Lebanon jumlahnya konon sampai tiga kali besarnya (16 juta jiwa) daripada mereka yang tinggal di dalam negeri (5,5 juta jiwa). Pembaca tentu mengenal Kahlil Gibran (penyair), Philip K. Hitti (ilmuwan dan penulis), Albert Hourani (ilmuwan dan penulis), Fouad Ajami (penulis dan profesor Johns Hopkins University, Amerika), Carlos Slim Helu (orang terkaya kelima di dunia menurut Forbes dan filantropis terkenal di Mexico), Temer (Presiden Barzil), Philip Habib (tokoh politik Amerika, former U.S. Ambassador and envoy), John Abizaid (militer Amerika), John E. Sanunu (former U.S. Senator and U.S. Representative from New Hampshire), John H. Sanunu (former White House Chief), Shakira (penyanyi Colombia), Salma Hayek (penyanyi dan artis Meksiko), dan Paul Anka (penyanyi Canada), Yamila Diaz (model Argentina), dan sederet nama lagi. Mereka adalah diaspora Lebanon.

Saking banyaknya keturunannya yang beremigrasi dan berdiaspora menampakkan keberhasilan justru tatkala di luar negeri sampai-sampai Amin Maalouf, sastrawan dan novelis Lebanon yang kini tinggal di Paris, ketika berkunjung ke Sao Paulo, Brazil, mengatakan secara deklaratif “bahwa bagi banyak orang,“Brazil was the materialization of the Lebanese dream” (Brazil adalah pengejawantahan mimpi orang Lebanon).

Artinya, Brazil adalah tempat di mana orang-orang Lebanon berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya di negerinya sendiri. Mimpi di Lebanon, realisasi di luar negeri! Tak berlebihan karena keturunan Lebanon pernah menjadi wakil presiden dan presiden Brazil (Presiden Michel Temer). Di negeri sendiri mimpi-mimpi orang Lebanon selalu gagal diwujudkan, tetapi justru berhasil diejawantahkan di luar Lebanon.

Saking banyaknya jumlah emigran Lebanon yang berdiaspora di Brazil sampai ada penulis Lebanon dengan setengah berseloroh menulis di Executive Magazine: “How the Lebanese conquered Brazil. Success came through hard work and perseverance” (Bagaimana orang Lebanon menaklukkan Brazil?). Begitu fenomenalnya diaspora Lebanon, sehingga pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar kepada mereka. Pemerintah memiliki program yang sangat progresif dalam politik keimigrasian. Salah satunya adalah membolehkan adanya
kewarganegaraan ganda. Bahkan konon kabarnya bukan hanya doubble citizenship, melainkan triple citizenship sekalipun!

Baca Juga

Beirut: The City of Coexistence (1)

Mungkin Lebanon adalah negara yang paling banyak ditinggalkan warga negaranya beremigrasi ke luar negeri. Banyak di antara mereka yang tetap memegang kewarganegaraan ganda dan lebih banyak lagi yang melepaskan kewarganegaraannya. Tak heran jika ada klaim jumlah orang Lebanon yang berada di luar negeri mencapai 17 juta jiwa. Nyaris tiga kali lipat jumlah penduduk di negerinya sendiri. Mungkin karena alasan inilah kementerian Luar Negeri Lebanon dinamakan Kementerian Luar Negeri dan Emigrasi. Salah satu agenda tahunan yang selalu diselenggarakan di Beirut adalah Muktamar Diaspora Lebanon yang diikuti oleh ribuan diaspora Lebanon.

Baca bagian 2: Lebanon (2): Laboratorium Politik Internasional

Related posts
Sosial BudayaWawasan

Ikonodule dan Ikonoklasme

Oleh: Hajriyanto Y Thohari Demografi agama di Lebanon, mungkin, dianggap tidak penting, atau mungkin sebaliknya: disepakati sebagai aspek yang sensitif untuk diungkapkan…
Sosial BudayaWawasan

Lebanon (2): Laboratorium Politik Internasional

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari Negara yang sering mengalami gejolak politik akibat konflik dan perang saudara ini juga berkali-kali berperang dengan Israel. Meski…
Sosial Budaya

Lebanon dan Krisis Berlapis Tiga (1)

Oleh : Hajriyanto Y. Thohari (Ketua PP Muhammadiyah, kini Dubes di Beirut) Saya tiba di Beirut tanggal 10 Maret 2019: Lebanon waktu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *