Berita

LHKP Kampanyekan Larangan Politik Uang, Say No To NPWP: Nomor Pira Wani Pira

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dalam Webinar yang diadakan oleh LPPA PP ‘Aisyiyah (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah) pagi ini (2/11), Ridho al-Hamdi selaku narasumber menyampaikan kertas posisi persyarikatan dalam dinamika politik. Pada sesi materinya, ia menyampaikan banyak kegelisahan terkait dinamika politik di tengah-tengah masyarakat.

“Perjalanan pemilu dari waktu ke waktu tidak membuat Indonesia lebih baik, nyatanya masyarakat semakin berpikir serius bagaimana agar tetap waras dan mencoba membenahi pelaksanaan pemilu. Sebenarnya ini bukan tugas civil society, tapi tugas negara. Kalau ditanya seperti Politik Kebangsaan Muhammadiyah dan Aisyiyah? Maka sebagai langkah, LHKP mulai mengkampanyekan bahwa politik uang itu dilarang. Dalam hal ini, kami bekerjasama dengan Majelis Tarjih untuk menyusun fatwa bahwa politik uang itu haram. Fatwa ini rilis sedikit terlambat, yaitu Suara Muhammadiyah Edisi Maret lalu,” ungkap Ridho tentang strategi pendidikan politik.

Bagi Ketua LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) PP Muhammadiyah itu, poin penting mengapa politik uang haram adalah sebagai wujud politik nilai yang harus diperjuangkan. Kendati politik uang terkadang sudah hampir dinormalisasi, demi melakukan prevensi menurutnya lebih baik difatwakan haram. “Difatwakan haram saja masih banyak yang melakukan, apalagi kalau difatwakan halal. Politik uang nanti dapat mengubah pola pikir masyarakat menjadi pragmatis,” ucap Ridho.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang ada, terdapat partisipasi pengusaha tambang dalam melakukan politik uang. Dengan demikian, politik uang berhubungan dengan kerusakan alam selain kerusakan pola pikir manusia.

Dalam materinya, Ridho juga mengungkap seperti apa posisi persyarikatan dan strategi-strategi LHKP dalam berpartisipasi dan berkontribusi di Pemilu. “Posisi politik muhammadiyah, adalah independen, bukan netral. Jika netral maka muhammadiyah tidak akan bisa bersikap apa-apa atau bahkan tidak mengirim calon sendiri bahkan di kancah DPD sekalipun. Keputusan independen ini bisa menjadi kekuatan internal Muhammadiyah dan Aisyiyah,” ujarnya.

Baca Juga: Mengawal Hasil Pemilu 2024

Ia melanjutkan, “Ukuran teknis Muhammadiyah tidak terlibat politik praktis adalah tidak mendeklarasikan di publik atau mendukung secara tertulis pihak tertentu. Jika hendak mendukung, sebaiknya dilakukan di balik panggung, jangan di hadapan banyak orang. Agar tidak norak tapi juga tidak apolitis. Jangan sampai nanti kalau sudah menang klaim bahwa pihak tersebut kader Muhammadiyah.”

Namun, usut punya usut, setelah LHKP menginisiasi satu pemilu satu kader, ternyata ada beberapa realitas yang perlu diperhatikan. “Dari program tersebutm kami menyadari bahwa gerakan akar rumput ini masih lemah. Cabang dan ranting yang ada belum cukup kokoh untuk menghadapi isu-isu pemilu. Dengan demikian, bisa jadi akan lebih sulit untuk mengajukan kontestasi,” ungkap Ridho.

Kesulitan ini semakin rumit karena adanya faktor-faktor lain. Ridho mengungkap,”Masih banyak warga Muhammadiyah yang salah memahami politik praktis, misal ketemu dikit politik praktis, ajak diskusi calon politik praktis, sehingga pandangannya menjadi hitam putih, padahal ini urusan muamalah sehingga harus bisa dilihat dengan hikmah alih-alih halal haram.”

terakhir, ia menyampaikan sejumlah saran untuk persyarikatan. “Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus melakukan pendidikan politik tanpa henti. Kedua, pemetaan kader harus dilakukan untuk menntukan Cakada (Calon Kepala Daerah) 2024-2029. Pemetaan kader ini masih sulit dilakukan karena masyarakat masih banyak yang alergi untuk bicara politik di persyarikatan. Selain itu, dorongan perlu dilakukan untuk cabang dan ranting untuk mengajukan kandidat Cakades (Calon Kepala Desa) dalam rangka memperkuat cabang dan ranting.” tandasnya. (lsz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *