Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Secara normatif, ajaran Islam menekankan prinsip saling mengenal, tidak merendahkan orang lain, menghindari buruk sangka, dan sebagainya. Sayangnya, secara historis, di tubuh umat Islam banyak terjadi ujaran kebencian, sikap menolak kelompok yang berbeda, dan sebagainya.
Jurang tajam antara normativitas ajaran agama dengan realitas sosial itu disampaikan Amin Abdullah dalam Pengajian Ramadhan 1443 H PP Muhammadiyah, Selasa (5/4). Dalam sesi yang mengangkat tema “Religiusitas yang Mencerahkan dalam Ajaran Islam: Perspektif Normativitas dan Historisitas” ini, Amin menjelaskan bahwa keragaman merupakan sunnatullah yang patut dijaga.
Realitas keragaman ini, kata Amin, harus disikapi dengan sikap memahami realitas, menghormati realitas, terlibat dalam realitas, mengelola keberagaman menjadi kekuatan, saling bergantung satu sama lain, dan melakukan kerja sama dalam relasi sosial.
Masyarakat majemuk, kata Amin, memerlukan fresh ijtihad dalam literasi keagamaan lintas budaya guna memangkas gap antara normativitas dan historisitas ini. Adapun tiga komponen atau pendekatan yang harus dilakukan adalah: bayani/subjektif, yakni memahami agama sendiri dengan utuh dan benar; burhani/objektif, yakni pendekatan sains-sosial-humaniora, dan; irfani/intersubjektif, yakni pendekatan hati nurani atau qalbun salim.
Baca Juga: Tiga Pilar Religiusitas yang Mencerahkan: Spiritualitas, Ilmu Pengetahuan, Akhlak
Lebih lanjut, Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menerangkan bahwa dalam rangka menghadirkan religiusitas yang mencerahkan perlu dilakukan beberapa hal: Pertama, membedakan antara agama dan pemahaman agama. “Pembedaan ini sebagai akar pembaharuan pemahaman dan penafsiran agama. Pemahaman dan penafsrian ajaran agama (tentang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial) itu dapat dikoreksi, diperbaiki, dan disempurnakan,” ujar Amin.
Kedua, pendekatan sejarah harus mempertimbangkan perbedaan waktu, kawasan, dan pendekatan. Ketiga, memperluas perspektif teoritik. Perspektif teoritik ini bisa meliputi maqashid syariah, sains, sosial-humanitik, nilai universal, filsafat kritis, dan pendekatan multi-, inter-, dan transdisiplin.
Keempat, keluar dari stagnansi metodologi. Monodisiplin, ujar Amin, menyumbangkan kuatnya kesewenang-wenangan penafsir dalam menafsirkan nash/teks. Untuk itu, metodologi memahami agama perlu diperbaharui; bukan hanya monodispilin, tetapi juga perlu diperkenalkan multi-, inter-, dan transdisiplin.
Kelima, pembaharuan metode pemahaman agama Islam. “Pembaharuan metode pemahaman agama Islam itu penting sekali,” terang Amin. (sb)
1 Comment