
Al Yasa Abubakar-Pengajian Ramadhan PP ‘Aisyiyah
Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Al Yasa Abubakar dalam Pengajian Ramadhan 1442 H PP ‘Aisyiyah menyampaikan bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, perempuan menempati tiga posisi di tengah kehidupan masyarakat. Tiga posisi tersebut adalah: perempuan sebagai subjek yang setara dengan laki-laki, perempuan sebagai subjek yang lebih rendah daripada laki-laki, dan perempuan sebagai objek yang bisa diekspolitasi hak-haknya.
Di antara tiga posisi tersebut, menurut Al Yasa, Nabi Muhammad saw. datang membawa risalah yang menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia yang punya posisi dan peran untuk membahagiakan diri, keluarga, termasuk masyarakat secara umum. Dalam perspektif Islam wasathiyah yang berkemajuan, perempuan ditempatkan sebagai subjek hukum yang setara dengan laki-laki.
Baca Juga
Sebelum menjelaskan lebih jauh, Al Yasa mempertegas adanya perbedaan dan batas antara fitrah dengan gender. Di tengah kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia, ia masih menyaksikan adanya miskonsepsi antara kedua istilah tersebut. Dampaknya adalah sering dibaikannya kehadiran perempuan di dalam kehidupan masyarakat, seperti tidak diikutkan dalam musyawarah, tidak dimintai pendapat atas persoalan tertentu, dan sebagainya.
Realitas tersebut, jelas Al Yasa, tidak sejalan dengan nilai dasar dalam Islam, yang berupa; nilai Ilahiah, nilai kemencakupan (holistik), nilai kemaslahatan (di dunia dan di akhirat), nilai keadilan, nilai kesederajatan manusia (egaliter), dan pengakuan adanya perbedaan antara wahyu dengan pemahaman atas wahyu. Lebih jauh, menurutnya, jika ditarik dari nilai dasar tersebut, maka akan ditemukan adanya lima nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan:
Pertama, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama berposisi sebagai hamba Allah swt. Oleh karenanya, keduanya mempunyai tugas, kedudukan, dan kesempatan yang setara dalam beriman, beribadah, dan beramal salih. Dalil yang menguatkan argumen tersebut adalah QS. adz-Dzariyat [51]: 56, QS. al-Hujurat [49]: 13, QS. an-Nahl [16]: 97, dan QS. an-Nisa’ [4]: 124.
Kedua, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama berperan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Oleh karenanya, keduanya mempunyai kesempatan dan wewenang untuk menjalankan fungsinya dalam mengelola, memakmurkan, dan memimpin dunia sesuai dengan potensi, kompetensi, fungsi, dan peran yang dimainkannya sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, misalnya dalam QS. al-Baqarah [2]: 30, dan QS. at-Taubah [9]: 71.
Ketiga, Adam dan Hawa merupakan aktor dalam kisah penciptaan manusia. Di dalam al-Quran, seluruh ayat yang memuat kisah tentang keduanya menggunakan kata ganti mereka berdua (huma), baik ketika masih berada di surga maupun setelah turun ke bumi (QS. al-Baqarah [2]: 35, QS. al-A’raf [7]: 20-23).
Keempat, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi dan kesuksesan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. al-Nisa’ [4]: 124, dan QS. an-Nahl [16]: 97.
Kelima, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya mempunyai kedudukan yang setara di depan humum. Keduanya memiliki tanggung jawab masing-masing atas kesalahan yang diperbuatnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. an-Nur [24]: 2, QS. al-Maidah [5]: 38.
Baca Juga
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: Konsepsi dan Manifestasi
Menurut Al Yasa, jika nilai-nilai kesetaraan tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya, maka substansi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin akan dapat diwujudkan dalam konteks saat ini. “Karena itu, nilai-nilai kesetaraan tersebut seharusnya dijadikan dasar utama untuk memahami posisi dan peran kerisalahan perempuan dalam Islam, termasuk dalam membangun keluarga,” ungkapnya. (sb)
Baca Juga