
bullying pada anak (foto: unsplash/road ahead)
Oleh: Hajar Nur Setyowati
Tidak sedikit kita dikejutkan dengan berita perihal anak-anak yang merundung temannya di sekolah atau lingkungan tempat ia bermain hingga korban terluka. Bukan saja terluka secara fisik tetapi juga bisa mengalami mengalami masalah emosional dan kesehatan mental yang bersifat jangka panjang, seperti menangis dalam kesendirian, mudah cemas, menjadi pendiam, merasa rendah diri, trauma, bahkan depresi.
Sayangnya itu terjadi pada anak yang sedang berada pada fase bertumbuh dan berkembang. Akibatnya bullying dapat mengganggu prosesnya untuk tumbuh menjadi pribadi yang percaya pada kemampuan dirinya maupun percaya pada orang lain untuk saling menghargai dan memberi dukungan.
Bullying atau perundungan merupakan perilaku yang ditujukan untuk mengganggu orang lain yang lebih lemah maupun dianggap berbeda. Bentuk bullying bisa berupa menggoda secara verbal, memanggil dengan nama yang tidak disukai, mendorong, memukul, hingga penolakan dari lingkungan sosial.
Perilaku itu bukan saja terjadi secara langsung tetapi juga di ruang digital atau biasa disebut dengan cyberbullying. Lantaran terjadi di ruang digital, cyberbullying dapat menjangkau korban di mana saja dan kapan saja. Korban bahkan rentan tertekan karena bullying diketahui khalayak lebih luas dan meninggalkan jejak digital yang bersifat permanen.
Pada kasus bullying, biasanya ada relasi yang tidak setara karena korban dianggap pelaku lebih lemah maupun dianggap berbeda. Maka menumbuhkan nilai dan lingkungan yang inklusif menjadi hal penting untuk mencegah terjadinya bullying.
Hal sebaliknya dari perundungan adalah penghormatan pada martabat kemanusiaan, menghargai keberagaman, dan empati yang merupakan nilai-nilai kemanusiaan universal. Nilai-nilai itu pula yang dijunjung Islam dan melandasi gerakan Islam Berkemajuan Muhammadiyah–‘Aisyiyah sebagaimana tersebut dalam dokumen Pernyataan Pikiran Abad Kedua Muhammadiyah dan Pokok-Pokok Pikiran Abad Kedua ‘Aisyiyah.
Ikhtiar mencegah maupun mengatasi perundungan sejalan dengan Gerakan ‘Aisyiyah Cinta Anak (GACA) yang dapat dilakukan di berbagai tingkatan. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang mengelola lembaga pendidikan juga bisa menginisiasi upaya-upaya pencegahan dan penanganan bullying di sekolah. Sekolah Ramah Anak hendaknya tak cuma menjadi jargon dan tulisan yang terpampang di papan sekolah.
Baca Juga: Mengedukasi Anak tentang Bullying
Ikhtiar pencegahan dan penanganan bisa dilakukan secara berkesinambungan mengingat maraknya kasus bullying. Minimnya kedua upaya itu membuat kasus bullying banyak yang tidak terlaporkan, baik itu karena tidak menyadari bahwa perilaku itu adalah bullying atau dianggap hal biasa, tidak memahami besarnya dampak bullying, ada kekhawatiran melapor karena bullying dilakukan oleh anak yang dianggap lebih kuat dan dominan, hingga tidak tahu ke mana harus melapor dan mengatasi.
Edukasi tentang pencegahan dan penanganan bisa diberikan baik kepada anak itu sendiri, orang tua, guru/pihak sekolah, pengurus di lingkungan RT/RW/Desa maupun pihak lainnya yang terkait. Edukasi kepada anak ini juga penting karena ia bisa menjadi korban, saksi, dan pelaku; sehingga edukasi diharapkan mampu mencegah anak menjadi pelaku, atau saat anak menjadi korban maupun saksi maka ia bisa mengenali bahwa tindakan itu adalah bullying dan dapat melakukan upaya penanganan.
Orang tua atau keluarga sebagai orang terdekat anak juga penting memahami bullying dan cara mengatasinya. Dengan begitu, orang tua diharapkan akan memberikan edukasi pada anak, sering berbicara terbuka dengan anak dan menanyakan perasaannya, bisa mengidentifikasi bullying yang terjadi pada anak, juga tahu bagaimana mengatasi saat anak menjadi korban, saksi, maupun pelaku.
Sekolah maupun lingkungan terdekat anak hendaknya mengembangkan sistem pencegahan dan penanganan bullying. Mulai dari melakukan edukasi, membuat alur penanganan yang mengedepankan hak anak, dan mengimplementasikannya. Tak kalah penting adalah menumbuhkan nilai-nilai penghargaan, penghormatan, empati, juga keterampilan sosial di lingkungan terdekat anak sebagai budaya di rumah, budaya di sekolah, ruang digital, maupun lingkungan lainnya.
Bullying jelas melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak. Anak berhak untuk mendapatkan lingkungan yang aman dan nyaman sebagaimana termuat dalam Konvensi Hak-Hak Anak, bahwa semua anak memiliki hak atas perlindungan dari semua bentuk kekerasan fisik, mental, kerusakan, atau perlakuan salah.