Bandung, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah mengatakan bahwa lahirnya kurikulum merdeka tidak melalui alur logika yang terukur. “Awalnya disebutkan bahwa Kurikulum 2013 perlu disederhanakan untuk menghadapi tantangan learning loss akibat pandemi Covid-19, namun tiba-tiba muncul kurikulum yang sama sekali baru,” ujar Alpha Amirrachman.
Pernyataan Alpha itu disampaikan pada Focus Group Discussion “Evaluasi Kurikulum 2013 dan Rencana Penerapan Kurikulum Baru dalam Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional” yang diselenggarakan Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Selasa (15/3).
Sementara dalam sambutannya, anggota Komisi X DPR RI Ferdiansyah mengatakan bahwa dalam tahap perencanaan, kurikulum harus mengikuti prinsip-prinsip relevansi, efektivitas, efisiensi, kontinuitas, dan fleksibilitas.
“Kurikulum harus relevan sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Harus juga efektif dan efisien di mana pelaksanaannya harus mudah dan praktis. Juga memiliki sifat berkelanjutan antara satu jenjang pendidikan dengan tingkat di atasnya, juga harus fleksibel dapat menyesuaikan dengan karakteristik sekolah dan latar belakang siswa,” ujar Ferdiansyah.
Baca Juga: Menyongsong Pendidikan Masa Depan
Alpha mengakui memang terdapat kelemahan pada Kurikulum 2013. Oleh karena itu, pembaruan adalah keniscayaan. Namun, tambahnya, perlu ada kejelasan logika dan landasan filosofis yang jelas. “Kurikulum merdeka tidak memiliki landasan filosofis yang jelas,” tegas Alpha.
Menurutnya, absurd bahwa pengembangan profil pelajar Pancasila yang merupakan program temporer kebijakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Rise,t dan Teknologi dijadikan tujun pendidikan nasional dan juga rancangan landasan utama kurikulum.
Ia juga menyoroti Kemendikbudristek yang memberikan pilihan-pilihan kurikulum, namun lalu mengeluarkan kebijakan yang membuat sekolah hampir tidak punya pilihan kecuali menerapkan Kurikulum Merdeka. Menurut Alpha, yang memungkinkan saat ini untuk menghadapi learning loss adalah menggunakan Kurikulum 2013 yang disederhanakan.
Alpha juga meyakini bahwa sekolah-sekolah penggerak yang menerapkan Kurikulum Merdeka berpotensi menjadi sekolah elite. Sekolah-sekolah yang tidak mampu melaksanakannya akan mengalami kesulitan untuk menerapkannya karena tidak punya sumber daya dan pendampingan yang cukup.
“Jikapun Kurikulum Merdeka dianggap berhasil, bisa jadi karena pendampingan dalam bentuk pelatihan dan pembiayaan pada Sekolah Penggerak, belum tentu karena kurikulumnya yang mumpuni,” ujarnya.
Alpha menyimpulkan bahwa sekolah-sekolah berbasis masyarakat memiliki kebebasan untuk mengambil langkah pragmatis dalam memilih kurikulum yang tepat, namun tetap perlu memiliki kemampuan mitigasi dalam implementasinya. Sebagai sekolah berbasis masyarakat yang memiliki kekhasan perlu tetap jelas dan jernih dalam hal visi dan nilai-nilai utama yang diperjuangkan.
Dalam diskusi terpumpun ini, turut menjadi narasumber Pakar Kurikulum Saad Hamid Hasan, Pakar Kurikulum/Ketua Prodi PPG SPs UPI Din Wahyudin, Peneliti Hukum Pendidikan Cecep Darmawan, dan Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia Indra Charismiadji. Adapun yang bertindak sebagai moderator adalah Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik, Inovasi Pendidikan, dan Pendidikan Kedamaian LPPM UPI Syaifullah. (ha/sb)