Oleh: Syamsul Hidayat
Dalam “Kitab Iman” Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah pada tanggal 30 Januari – 5 Februari 1929 di Solo, bertepatan dengan Conggres Moehammadijah ke-18, dinyatakan bahwa setiap muslim wajib beriman kepada Allah sebagai al-Ilahul Haq, yang menciptakan segala sesuatu. Dan Allah itu pasti dan wajib adanya (wajib al–wujud).
Dia-lah yang Maha Awal tanpa permulaan dan Maha Akhir tanpa penghabisan (al–awwalu bila bidayah wa al-akhiru bila nihayah). Tak satu pun dari makhluk ini yang menyerupai apalagi menyamai-Nya. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah, Dia satu-satunya pencipta dan pemelihara alam ini, dan Dia satu-satunya Zat yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna (al–a’ad fi uluhiyyatihi, wa sifatihi, wa af’alihi).
Kalau dicermati, konsep tauhid yang dituntunkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah mendasarkan pemahaman tauhid kepada manhaj yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh ulama ahli tauhid seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah dan sebagainya, dan tidak terikat kepada aliran-aliran kalam dalam sejarah teologi Islam.
Sebagai misal, dalam memahami tauhid al–asma wa as–sifat, telah muncul beberapa aliran teologi yang cenderung menyimpang terhadap tuntunan al-Quran dan sunnah dalam memahami tauhid al–asma wa as-sifat ini. Aliran Mu’tazilah, misalnya, mereka ini meniadakan sifat-sifat Allah (taʿṭil al-ṣifat), sehingga sering dikenal sebagai firqah muʿaṭṭilah (golongan yang meniadakan sifat-sifat Allah).
Aliran lain ada aliran Asy’ariyah (asya’irah), yang membatasi sifat-sifat Allah sebagaimana dikenal dalam masyarakat Islam Indonesia, dengan pembatasan adanya 13 atau 20 sifat, seperti wujud, qidam, baqa’, mukhalafah lil ḥawadits, qiyamuhu binafsihi, waḥdaniyah, qadrat, iradat, ʿilmu, ḥayat, samaʿ, baṣar, kalam, dilanjutkan dengan qadiran, muridan, ʿaliman, ḥayyan, sami’an, baṣiran, mutakalliman.
Pembatasan ini kurang sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah, meskipun kelompok ini masih dapat digolongkan sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebab, Asy’ariah meskipun membatasi sifat-sifat Allah, namun masih mengakui adanya asmaul husna. Tidak seperti Mu’tazilah yang terlalu jauh menyimpang, yakni meniadakan sifat-sifat Allah.
Baca Juga: Memahami Dialektika Keimanan dalam Visi Tauhid
Pembatasan sifat-sifat Allah menjadi 13 atau 20 sifat itu, kemungkinan besar pernah diajarkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari, setelah beliau keluar dari Mu’tazilah usai berdebat dengan gurunya, al-Jubbai, yang tidak dapat memberikan jawaban secara memuaskan. Namun berikutnya, Imam Abul Hasan al-Asy’ari, merevisi pandangannya mengenai akidah, khususnya konsep tauhid dan takdir, dengan merujuk kepada ulama salaf sebagaimana dirintis oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Revisi pemikirannya itu menghasilkan sebuat kitab yang berjudul Al-Ibanah ‘an Uṣul al-Diyanah. Kitab ini berisi pernyataan tegas Abul Hasan al-Asy’ari untuk kembali kepada manhaj salaf, khususnya dalam masalah akidah. Dan akidah yang sejalan dengan manhaj salaf itu disebutnya dengan Ahlul Ḥaqqi wa al-Sunnah.
Menarik untuk disimak, bahwa istilah ahlul haqqi wa al sunnah juga dipakai oleh Majelis Tarjih untuk menyatakan kepada pokok-pokok akidah yang benar yang bersumber kepada al-Quran dan Sunnah yang diperkuat dengan pemberitaan (khabar) mutawatir (HPT, 2016 : 22).
Inilah yang mendorong para cendekiawan Muslim seperti Prof. M. Yunan Yusuf menyatakan bahwa akidah dan keimanan Muhammadiyah sebagaimana tertuang dalam HPT sejalan dengan paham Asy’ariyah. Tentu kesimpulan itu tidak tepat, karena manhaj akidah Muhammadiyah adalah mengikuti manhaj salaf, yang diikuti oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari setelah bertaubat dari paham Mu’tazilah dan paham yang membatasi sifat yang kemudian disebut dengan paham Asy’ari.
Artinya, paham akidah yang dianut oleh aliran Asy’ariyah sudah berbeda dengan pemahaman Imam Abul Hasal al-Asy’ari setelah kembali kepada manhaj salaf. Dengan demikian, Muhammadiyah dalam masalah akidah tidak sejalan dengan paham Asy’ariyah sebagaimana dituduhkan sebagian pihak.
Muhammadiyah dan Akidah Salaf dalam Memahami Asma wa Sifat
Muhammadiyah sebagaimana manhaj salaf dalam masalah akidah memahami tauhid al–asma wa as–sifat dengan cara menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah (isbati ṣifatillah) dengan merujuk kepada kitab Allah (al-Quran) dan sunnah Rasulullah. Artinya, Muhammadiyah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana al-Quran dan sunnah menetapkan sifat Allah. Oleh karena itu, Muhammadiyah tidak membatasi sifat-sifat Allah menjadi hanya 13 atau 20 sifat.
Manhaj salaf telah menetapkan beberapa kaidah dalam tauhid al asma wa as-sifat. Dalam memahami nama-nama Allah, berlaku kaidah bahwa semua nama Allah adalah nama-nama yang baik, yang menunjukkan kesempurnaan Allah. Nama Allah adalah merupakan nama diri (‘alam) namun sekaligus sifat-Nya. Nama-nama Allah bersifat tauqifi (penetapan berdasarkan nash Quran-Sunnah), tidak memberi wewenang kepada akal manusia.
Adapun kaidah dalam menetapkan sifat-sifat Allah ialah bahwasanya semua sifat Allah adalah sifat yang sempurna dan tidak ada kekurangan padanya. Sifat-sifat Allah lebih luas daripada nama-namanya. Sifat-sifat Alah terbagi menjadi dua bagian, yaitu sifat tsubutiyah dan sifat salbiyyah.
Sifat tsubutiyyah seluruhnya adalah sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sedangkan sifat salbiyah yakni sifat-sifat negatif adalah segala sifat yang dinafikan Allah atas diri-Nya. Penetapan sifat-sifat Allah tidak boleh ada penyerupaan (tasybih), penyamaan (tamtsil), menanyakan bagaimana sebenarnya sifat Allah (takyif), apalagi meniadakan (ta’thil). Sifat-sifat Allah terbagi dalam sifat dzatiyah dan sifat fi’liyyah. Sebagaimana nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya juga bersifat tauqifi (penetapan berdasarkan nash Quran-Sunnah), tidak memberi wewenang kepada akal manusia.
Dalil-dalil mengenai nama dan sifat Allah dalam al-Quran dan as-Sunnah, misalnya:
بِسْمِ اللهِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيْمِ ١ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العٰلَمِيْنَ ٢ ٱلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ٣ مٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤
Artinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai Hari Pembalasan” (QS. al-Fatihah [1], 1-4).
هُوَ اللّٰهُ الَّذِي لَآ إِلٰهَ إِلَّاهُوَۚ عٰلِمُ الغَيْبِ وَالشَّهٰدَةِ ۚ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ ٢٢ هُوَ اللّٰهُ الَّذِي لَآ إِلٰهَ إِلَّا هُوَۚ المَلِكُ القُدُّوْسُ ٱلسَّلٰمُ المُؤْمِنُ المُهَيْمِنُ الَعَزِيْزُ الجَبَّارُ المُتَكَبِّرُۗ سُبحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ ٢٣ هُوَ اللّٰهُ الخٰلِقُ البَارِئُ المُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَآءُ الحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَا فِي السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ٢٤
Artinya, “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia Memiliki Nama-Nama yang indah. Bertasbih kepada-Nya apa yang di la-ngit dan bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Hasyr [59]: 22-24).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلّٰهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya, “Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‹alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Siapa yang menghitungnya (menjaganya) maka dia akan masuk surga” (HR. Bukhari-Muslim).
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya, “Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian manusia, rendahkanlah diri kalian karena kalian tidak menyeru kepada Dzat yang tuli dan juga bukan Dzat yang jauh. Dia selalu bersama kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Maha suci nama-Nya dan Maha Tinggi kebesaran-Nya” (HR. Bukhari-Muslim).
Makna Asma wa Sifat dalam Kehidupan
Ketika Amien Rais memunculkan ide Tauhid Sosial, sebenarnya beliau mengajak kita agar pemahaman kita tentang nama-nama dan sifat Allah perlu dijabarkan dalam kehidupan muslim. Sebagai misal, Allah memiliki nama dan sifat sebagai ar-Rahman dan ar-Rahim, yang bermakna Allah Maha Pengasih dan Penyayang dengan berbagai pemaknaan dalam berbagai tafsir al-Quran. Dan Allah dalam al-Quran memerintahkan manusia untuk berlaku baik kepada sesama makhluk, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
Artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat ba-iklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. al-Qashash [28]: 77).
Yang diperkuat oleh hadis Nabi saw yang berbunyi:
فَقَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ (متفق عليه)
Artinya, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang tidak penyayang, tidak akan disayangi” (HR. Muttafaq Alaih).
Baca Juga: Memerdekakan Jiwa dengan Tauhid
Allah memiliki nama dan sifat sebagai al-Muqsith (Maha Adil dalam menetapkan hukum), dan Allah memerintahkan untuk berbuat adil dalam menetapkan hukum, sebagaimana firman Allah:
سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ فَإِن جَآءُوكَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُمۡ أَوۡ أَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡۖ وَإِن تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيۡٔٗاۖ وَإِنۡ حَكَمۡتَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢
Artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepa-damu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil” (QS. al-Maidah [5]: 42).
Kalau dicermati lebih lanjut, hampir setiap nama dan sifat Allah selalu diikuti dengan perintah dan anjuran, baik dalam al-Quran dan as-Sunnah untuk menjadi sifat yang baik bagi manusia. Allah Maha Berilmu, memerintahkan manusia untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan memberikan penghargaan kepada manusia yang beriman serta berilmu dan seterusnya.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa tauhid al asma wa al sifat, tidaklah sekadar penetapan akan nama-nama dan sifat-sifat kesempurnaan Allah, namun memiliki implikasi agar nama dan sifat kesempurnaan Allah dalam Dzat dan af’al-Nya itu dapat diturunkan menjadi sifat-sifat dan perbuatan manusia yang baik, untuk dirinya dan sesama makhluk. Sebab, manusia telah dipilih oleh Allah sebagai hamba dan khalifah-Nya dalam menjaga kemakmuran dan kelestarian bumi dan seisinya. Wallahu a’lam.