Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kembali menggelar Pengajian Umum. Pengajian yang disiarkan di kanal YouTube @Muhammadiyah Channel pada Rabu (16/9) ini mengangkat tema “Kekerasan dalam Pendidikan: Akar Masalah dan Solusinya”.
Kekerasan seringkali terjadi di lingkungan pendidikan, baik itu di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Kekerasan eksploitatif juga sering terjadi pada lingkungan pendidikan, seperti bullying dan kekerasan seksual. Semua bentuk kekerasan akan menjadi predator bagi pendidikan, akan menyebabkan efek traumatik.
Pernyataan itu disampaikan oleh Suryanto dari Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. Ia mengatakan, di perguruan tinggi, variasi kekerasan tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan sekolah. Kekerasan antarmahasiswa secara fisik sangat jarang, tetapi kekerasan seksual lebih banyak ditemukan.
“Kekerasan seksual banyak berasal dari orang-orang yang memiliki otoritas dalam konteks leadership. Otoritas itu datang dari berbagai aspek, terutama dari orang yang memiliki legalited power. Di samping itu juga mereka yang memiliki profesor power dan apa yang dikatakan menjadi undang-undang serta dijadikan sebagai rujukan,” tuturnya.
Baca Juga: Perempuan dan Ijtihad Kontemporer untuk Korban Kekerasan Seksual
“Di perguruang tinggi, kekerasan seksual banyak terjadi ketika orang-orang bikin disertasi. Karena hubungannya secara person to person, di mana orang memiliki otoritas. Kalau pembimbingnya menggunakan otoritas dan menggunakan legalited power –kekuatan otoritas untuk memaksa bisa terjadi–, maka kekerasan seksual bisa saja terjadi,” lanjutnya.
Kekerasan di dunia pendidikan, seperti perundungan, bullying, kekerasan seksual punya akar permasalahan yang kompleks. Menurut Suyanto, anak-anak yang suka perundungan biasanya mereka sedang mencari identitas. Oleh karena itu, ekosistem pendidikan yang ramah perlu diperjuangkan bersama, supaya pendidikan menjadi ramah anak. Hal ini akan membangun mindset bahwa bullying (perundungan) adalah musuh bersama.
Untuk menghindari kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan, perlu juga ditanamkan pendidikan karakter, keagamaan, dan AIK. Nilai-nilai keislaman, katanya melanjutkan, perlu dibumikan sejak dini kepada para pelajar supaya kesadaran terhadap kekerasan bisa diterapkan kapada pelajar.
“Inilah saya kira yang lebih penting. Kita harus punya kesadaran dan gerakan untuk membangun langkah-langkah yang revolutif dalam kesadaran terhadap anti kekerasan pendidikan. Tentu saja ekosistem pendidikan itu sebagai warga Muhammadiyah sebagai produsen dan user dalam layar pendidikan harus didesain dengan baik,” tutup Suyanto. (firman)