Berita

Marak Perkawinan Anak, Program Inklusi PP Aisyiyah Soroti Masa Depan Generasi Bangsa

Yogyakarta, Suara ‘AisyiyahIsu perkawinan anak di Indonesia harus menjadi perhatian bersama. Pasalnya, Indonesia menepati peringkat kedua tertinggi di tingkat ASEAN mengenai perkawinan anak. Di tingkat dunia, Indonesia juga berada di peringkat ke delapan.

Penjelasan itu disampaikan Koordinator Program Inklusi PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti ketika memberikan pengantar dalam workshop “Analisis Kebijakan dan Implementasi Penurunan Perkawinan Anak dalam Perspektif GEDSI” yang digelar secara hybrid pada Selasa (19/7). Ia menjelaskan, workshop ini merupakan salah satu upaya untuk menurunkan angka perkawinan anak.

Tri menjelaskan, ada berbagai permasalahan yang berkait kelindan dengan perkawinan anak, meliputi terus eksisnya rantai kemiskinan, munculnya generasi yang lemah, meningkatkan angka kematian ibu di usia remaja dan angka kematian bayi, hingga maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dengan maraknya perkawinan anak, kata dia, “kita akan semakin kehilangan generasi yang berkualitas”.

Sementara itu, Rohika Kurniadi Sari dari Asdep Bidang Perlindungan Hak Anak Kementerian PPPA menyampaikan materi tentang “Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dalam Perspektif GEDSI: Implementasi dan Sinergi Multi Pihak”. Di Indonesia, kata dia, potret perkawinan anak memang memprihatinkan.

Dari jumlah anak di Indonesia yang merupakan 1/3 dari keseluruhan penduduk, 1 dari 9 anak melakukan perkawinan. Rohika juga menyampaikan bahwa ada banyak dispensasi perkawinan anak yang terjadi. Dispensasi perkawinan itu terjadi beberapa kondisi, seperti kehamilan tidak diinginkan (KTD), budaya masyarakat yang masih melanggengkan praktik perkawinan anak, dan sebagainya.

Kepada peserta workshop ia kembali menegaskan bahwa di dalam UU Perkawinan, usia ideal perkawinan anak adalah umur 21 tahun. Perkawinan, katanya, bukan hanya romantisme pasangan, tapi upaya membentuk keluarga yang bahagia. Oleh karena itu, anak yang sejatinya belum mempunyai kesiapan dan kematangan untuk mengarungi bahtera rumah tangga kecil kemungkinan akan dapat mencapai tujuan keluarga.

“Banyak kegagalan yang akan kita terima nantinya, tidak hanya pada anak itu sendiri, tetapi juga pada negara,” terang Rohika. Ia juga mengatakan bahwa sebenarnya regulasi yang mengatur perkawinan di Indonesia saat ini sudah cukup kuat, meskipun masih perlu diperkuat dengan beberapa peraturan teknis.

Dalam kesempatan tersebut, hadir pula memberikan materi Fitri Adhecahya dari Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana. Ia menyampaikan materi “Pencegahan Perkawinan Anak: Belajar dari Praktik Baik Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan”.

Baca Juga: Menjadi Inklusif melalui Ruang Perjumpaan Kelompok yang Berbeda

Menurut dia, Pemerintah Kabupaten Maros sudah berusaha mendorong keterlibatan berbagai pihak untuk memperkuat kebijakan pencegahan anak. Contoh konkret dari penguatan kebijakan tersebut adalah pembuatan Stretagi Daerah (Strada) demi terwujudnya Desa/Kelurahan untuk menyusun kebijakan pencegahan perkawinan anak, sehingga tercapai target jumlah perkawinan anak menurun hingga 4% pada tahun 2026.

Fitri menyampaikan bahwa akan ada sanksi yang diberikan ketika praktik perkawinan anak tetap dilakukan. Sanksi itu meliputi dua hal, yakni: (a) sanksi administratif berupa tidak diizinkan melakukan pesta perkawinan, dan; (b) sanksi sosial berupa perkawinan tidak dihadiri oleh pemerintah desa, imam desa dan dusun, dan pegawai syara’.

Selanjutnya, Agus Suryo Suripto selaku Kepala Sub Direktorat Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemterian Agama RI menyampaikan bahwa perkawinan sebenarnya menganut asas pendewasaan usia kawin. Tujuannya agar rumah tangga dapat dikelola dengan baik dan segala kebutuhannya terpenuhi, dan dapat melahirkan generasi yang berkualitas.

Kementerian Agama, kata dia, menangani persoalan perkawinan anak ini dari hulu hingga hilir. Langkah yang dilakukan Kemanag adalah memberikan pemahaman kepada 5 (lima) jenjang kelompok masyarakat. Pertama, memberikan pemahaman kepada remaja agar tidak melakukan perkawinan anak. Kedua, memberikan pemahaman kepada pemuda/pemudi dalam rangka menyiapkan perkawinan dan pencegahan stunting. Ketiga, pemahaman kepada calon pengantin dengan memberikan materi tentang kualitas keluarga. Keempat, memberikan pemahaman kepada keluarga muda dalam mengelola dinamika keluarga. Kelima, memberikan pemahaman kepada pasangan suami istri untuk mencegah terjadinya perceraian dan KDRT.

Suryo menjelaskan, Kemenag juga melakukan revitalisasi KUA dengan cara penguatan kapasitas SDM KUA dalam menyelenggarakan layanan keagamaan, penguatan pendekatan multi-stakeholder dengan pelibatan organisasi masyarakat sipil, pengembangan program layanan untuk mewujudkan keluarga sakinah yang berwatak moderat, dan pengembangan kebijakan yang memperkuat layanan. (sb)

Related posts
Berita

Tri Hastuti: Diperbincangkan Sejak Kongres Perempuan Tahun 1928, Isu Perkawinan Anak Kini Masih Menjadi PR Besar

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti mengungkapkan bahwa isu perkawinan anak sudah diperbincangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pada…
Berita

Gunakan Pendekatan GEDSI, Kepala Bappeda Garut Sambut Baik Program Inklusi Aisyiyah

Garut, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Barat, dan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Garut melakukan kunjungan ke…
Berita

Cegah Stunting dan Pernikahan Anak, PP Aisyiyah dan Dinas P2KBP3A Banyuasin Jalin Kerja Sama

Banyuasin, Suara ‘Aisyiyah – PP ‘Aisyiyah didampingi Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Sumatera Selatan dan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Banyuasin bersilaturahmi di Kantor…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *