Kalam

Marhaban Ya Ramadan: Asah Spiritualitas, Raih Derajat Muttaqi

Sc: SamaaTV
  • # ColorfulRamadan Edisi Serial Pengajian Ramadan
Sc: SamaaTV

Sc: SamaaTV

Oleh: Siti Aisyah*

Memasuki bulan Ramadan, kami haturkan “Marḥabān Yā Ramadān”. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan dengan berbagai ibadah dan amal saleh sebagai sarana mengasah spiritualitas menuju pribadi yang bertakwa. Mohon maaf lahir dan batin segala khilaf dan kesalahan Ramadan merupakan bulan yang di dalamnya kita diwajibkan berpuasa untuk mengasah spiritualitas menuju insan muttaqi (Q.s. al-Baqarah [2]: 183).

Mengikuti perhitungan hisab hakiki Muhammadiyah dengan standar wujūdul hilāl, kita menunaikan ibadah puasa tahun 1445 H pada Senin Pahing, tanggal 11 Maret 2023. Ijtimak akhir Syaʻban (29 Syaʻban), jelang Ramadan 1445 H terjadi pada Ahad Legi, 10 Maret 2024 M, pukul 16:02:42 WIB. Tinggi bulan pada saat matahari terbenam (di Yogyakarta) + 00°56’28” (hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk. Penggunaan hisab sebenarnya mempunyai landasan kuat, dari isyarat keilmuan dari Q.s. Yunus [10]: 5.

Ramadan merupakan bulan yang sarat dengan berkah, kebaikan, dan manfaat. Bulan Ramadan telah didesain Allah sebagai media pembentukan pribadi muttaqi, dengan berbagai tata aturan dan tuntunan, baik yang wajib, sunnah, maupun fadilah, diiringi dengan janji pahala dan kebaikan yang berlipat ganda dibandingkan dengan amalan yang dilakukan di luar bulan Ramadan.

Puasa Ramadan telah bertahuntahun kita tunaikan. Pertanyaannya, apakah di bulan Ramadan tahun ini Ramadan kita tetap sama, atau ada peningkatan, menjadi lebih gembira dan menggembirakan, lebih khusyuk salat tarawihnya, lebih banyak capaian tadarusnya dan mendalam kajian ilmunya, lebih banyak sedekahnya, lebih sabar, dan lebih mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak bermakna, apalagi maksiat. dll., sehingga spiritualitas kita meningkat menuju menjadi hamba Allah yang bertakwa. Atau sebaliknya, Ramadan kita hanya rutinitas, bersifat mekanistik, sekadar mencegah makan dan minum, sehingga kita tidak mendapatkan kebermaknaan shiyam. Inilah yang dikhawatirkan Nabi Muhammad saw. dalam sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ [رواه أحمد وابن ماجه]

“Dari Abu Hurairah ra., (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: Betapa banyaknya orang berpuasa, namun perolehannya dari puasa itu hanyalah lapar dan dahaga belaka. Dan berapa banyaknya orang yang melakukan qiyamul-lail, namun yang ia peroleh dari qiyamul-lail hanyalah kelelahan tidak tidur belaka.” (H.r. Ibnu Majah dan Ahmad)

Jamaah pengajian raḥimakumullāh Untuk meraih derajat muttaqi di bulan Ramadan ini, hal yang perlu dilakukan adalah mengasah spiritualitas. Kita bersama-sama menyiapkan diri agar Ramadan bermakna, menunaikan dengan kegembiraan, mendapatkan pahala dan kebaikan yang berlipat-lipat, serta dapat mengisi Ramadan dengan berbagai amalan ibadah dan ta’awun sosial. Dalam pandangan Al-Qusyairi, spiritualitas merupakan kekuatan jiwa yang halus yang diberikan oleh Allah, sehingga manusia mampu merasakan kehadiran Allah dan menjalin komunikasi ruhaniyah dengan Allah swt., yang terwujud dalam kepribadian terpuji dan perilaku ihsan.

Spiritualitas tercermin dalam kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ibadah Ramadan dengan segala ibadah dan amal sosial yang mengiringinya merupakan sarana terbaik menjalin spiritualitas dengan Allah swt. Allah menjamin kebaikan dan balasan sempurna sebagai hak mutlak Allah.

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw., bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Setiap amal anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya, dan ganjaran kebaikan itu dilipatkan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa, dia adalah untuk-Ku dan Aku yang membalasnya (dengan tanpa batasan). Orang yang berpuasa itu meninggalkan makanan dan menahan syahwatnya demi Aku, dan meninggalkan minuman dan menahan syahwatnya demi Aku. Maka puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku membalasnya.” (H.r. ad-Darimi)

Jamaah pengajian yang kami hormati, Bulan Ramadan merupakan media strategis dalam proses pendidikan, baik pendidikan keluarga maupun masyarakat. Selama satu bulan, secara intensif dan efektif dilakukan upaya-upaya pendidikan shiyam, dengan segala amaliyah Ramadan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya.

Baca Juga: Antara Gibah dan Kritik

Beberapa tuntunan ibadah dan amalan sosial yang diharapkan dapat mengasah spiritualitas kita antara lain: mampu memaknai dan mengedukasi diri dengan melakukan pengendalian diri dalam memenuhi kebutuhan primer dan kesenangan diri dengan mengacu pada tata nilai agama, etika dan moral. Ia tidak hanya mengikuti kepentingan egonya, tapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat dan tata lingkungan alam secara luas, sehingga terbangun pola hidup yang berorientasi Ilahiyah tauhidiyah (Q.s. al-Baqarah [2]: 187).

Rasulullah juga mengajarkan agar umat beriman mengendalikan diri dari perbuatan tercela yang akan mengurangi nilai shiyam, meski tidak membatalkan puasa (H.r. Bukhari dari Abu Hurairah). Di bulan Ramadan, mengasah spiritualitas dengan menunaikan ibadah mahdah semisal pembiasaan salat wajib secara berjamaah, qiyāmul-laīl (salat tarawih) berjamaah di masjid, musala, dan tempat suci lainnya; atau dilaksanakan sendirian di rumah, memperbanyak salat sunah rawatib, salat duha, salat syukrul wudu, zikir, doa dan tadarus al-Qur’an, dan iktikaf.

Setiap malam di bulan Ramadan, baik yang dilakukan setelah salat jamaah Isya maupun di tengah malam atau dua pertiga malam, seorang mukmin secara khusyuk membangun komunikasi spiritual dengan Allah. Spiritualitas diasah dengan memperbanyak membaca doa, zikir, dan tadarus untuk melakukan komunikasi batin secara langsung dengan Allah. Suara lirih, khusyuk, tadharru’, merendahkan diri di hadapan Allah, bermunajat mohon ampunan, rahmah, dan hajatnya langsung kepada Allah.

Target tadarus bukan sekadar menghatamkan al-Qur’an selama Ramadan, tetapi juga untuk menyempurnakan bacaan dan memahami beberapa ayat al-Qur’an, khususnya ayat-ayat tematik ibadah shiyam maupun tema-tema lain yang menarik dan aktual, mengamalkannya dalam kehidupan, dan mendakwahkannya. Di bulan Ramadan, Rasulullah senantiasa bertadarus alQur’an dan kadang muraja’ah bersama serta dibimbing langsung oleh malaikat Jibril.

Melalui ta’awun sosial, spiritualitas ditingkatkan kualitasnya. Berbagi dan menaruh perhatian pada dhuafa-mustadhafin, berbagi ifthar dan sahur, akan menghadirkan rasa simpati dan empati, juga membangun komunikasi spiritual dengan Allah. Karena Allah bersama setiap orang yang menolong dan membantu menyelesaikan orang-orang yang perlu dibantu.

Untuk mengakhiri dan menyempurnakan ibadah puasa Ramadan, seorang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil, budak maupun orang merdeka, wajib mengeluarkan zakat fitri (zakat fitrah). Untuk itulah disebut zakātul-fiṭri atau ṣadaqatul-fiṭri. Kadar zakat fitrah dalam hadis disebutkan satu sha’ dari bahan makanan pokok kurma atau gandum, cantel, jamid, zabib.

Di Indonesia, dibayarkan dalam bentuk makanan pokok beras, jagung, atau sagu, sesuai dengan yang dimakan sehari-hari. Zakat fitrah dapat dibayarkan dan dibagikan dalam bentuk uang, setara dengan kadar satu sha’ yaitu alat ukur sukatan (takaran) yang digunakan penduduk Madinah yang volumenya sama dengan 4 mud (2,5 kg beras).

Tujuan zakat fitri yang bersifat perseorangan adalah sebagai upaya meningkatkan kualitas spiritual melalui pembersihan diri (tazkiyatun-nafs) dan tujuan yang bersifat sosial adalah sebagai ungkapan solidaritas melalui pemberian layanan sosial kepada mustahik zakat fitri.

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.,ia berkata: Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan diri orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum salat ‘Id, maka itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah salat ‘Id, maka hanyalah sekadar sedekah.” (H.r. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim) [2/24]

 *Ketua PP ‘Aisyiyah

Related posts
Finansial

Efek Positif Ramadan dan Lebaran bagi Ekonomi Umat

Oleh: Leonita Siwiyanti* Selama bulan Ramadan, pasar tradisional menjadi pusat aktivitas pedagang dalam menjajakan berbagai makanan khas untuk berbuka puasa. Hal ini…
Berita

Santunan Keluarga Aisyiyah Digelar MKS PCA Kotagede

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pada Jumat (5/4) di rumah keluarga Ari, Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) Kotagede  menggelar Taawun…
Berita

Refleksi Ramadan 1445 H, Haedar Nashir: Lulus dengan Predikat sebagai Insan yang Bertakwa

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Ramadan 1445 H berakhir, tentu yang diharapkan dari yang menjalankan Ibadah Puasa Ramadan adalah lulus dengan predikat sebagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *