Siapa yang dapat dikategorikan sebagai ulama? Apakah mereka yang mempunyai ilmu agama? Ataukah mereka yang berbudi luhur dan menjadi teladan bagi masyarakat? Atau sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Fathir: 28, bahwa ulama adalah mereka yang takut kepada Allah Swt.?
Terkait ayat tersebut, Siti Aisyah, Ketua PP ‘Aisyiyah menjelaskan, bahwa munasabah ayat tersebut berbicara tentang ilmu-ilmu kauniyyah, yang menunjukkan bahwa istilah ulama bukan hanya merujuk pada ulama yang menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti ilmu kauniyyah.
Secara bahasa, al-‘ulamā’ mempunyai akar kata ‘ain, lam, dan mim. Di antara bentuk derivasinya adalah kata al-‘ilm yang berarti lawan dari kebodohan (naqīḍu al-jahl). Dengan demikian, seorang ulama akan berbicara dengan landasan ilmu.
Siti Aisyah menambahkan bahwa ulama sebagai orang yang berilmu bukan saja mereka yang menguasai ilmu agama tetapi juga ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu kauniyyah atau ilmu tentang alam dan jagad raya hingga ilmu ijtima’iyyah atau ilmu kemasyarakat termasuk ilmu-ilmu sosial. Ia mencontohkan, Majelis Tarjih dan Tajdid, saat membahas tentang kesehatan maka juga akan melibatkan ulama kesehatan atau ahli dalam bidangnya.
Para ulama, tambah Aisyah, dengan keilmuannya, diharapkan dapat memecahkan masalah yang dialami oleh masyarakat. Dalam pandangan Muhammadiyah-‘Aisyiyah, terang Aisyah, ulama juga merupakan seorang penggerak sehingga berbekal keilmuannya dapat mewujudkan perubahan yang lebih baik.
Menjawab Kebutuhan Masyarakat
Senada dengan itu, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti menjelaskan bahwa ulama mempunyai peran berupa kontribusi pemikiran dengan perspektif agama. Ragam persoalan yang terjadi di sekitar masyarakat menurutnya harus mampu dicarikan solusinya oleh para ulama, sehingga agama tidak dianggap kehilangan relevansinya.
Oleh karena itu, selain harus mempunyai penge-tahuan yang mendalam tentang agama, ulama harus juga mempunyai basic keilmuan yang lain. “Para ulama itu harus punya pengetahuan selain agama. Punya kemampuan ilmu filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Jadi tidak semata-mata belajar ilmu agama itu agama an sich, tetapi mengkontekskan pada situasi, misalnya. Karena agama itu kan lahir pada kondisi sosiologis dan antropologis tertentu,” ucap Tri.
Perpaduan antara ilmu agama dan ilmu lain inilah yang nantinya menjadi dasar untuk melakukan analisis sosial, se-hingga “analisis dan pemikiran yang dihasilkan akan kontekstual dan menjawab kebutuhan masyarakat,” jelasnya. Untuk mampu merealisasikannya, lanjut Tri, ulama harus mampu menganalisis persoalan melalui pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
Ulama Penggerak
Jika merujuk definisi ulama menurut para mufasir, peran ulama bukan sekadar sebagai penyampai ilmu. Lebih dari itu, ilmu yang dimiliki mesti diaplikasikan dan mampu merubah kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik. Ulama, oleh karenanya, bukanlah orang yang berada di menara gading. Ia harus berada di tengah masyarakat. “Saya kira yang namanya ulama itu bukan berada di menara gading, tetapi ulama itu juga intelektual, cendekiawan yang dia juga ulama penggerak. Ulama itu harus mampu menjadi ulama penggerak,” tegas Tri.
Untuk menjadi ulama penggerak, maka ia tidak cukup hanya berdakwah melalui ucapan (bil lisan), tetapi juga dengan perbuatan (bil hal). Tri mencontohkan Kiai Dahlan sebagai perwujudan dari seorang ulama penggerak. Kiai Dahlan, menurutnya, selain mempunyai ilmu agama yang luas, juga mampu menjadi teladan bagi masyarakat dan membawa umat menuju suatu peradaban yang berkemajuan.
Semangat Kiai Dahlan terutama didasari atas pemahamannya terhadap QS. al-Maun: 1-7. Melalui pemahaman atas ayat al-Qur’an yang disertai perhatiannya terhadap penderitaan yang dialami umat manusia itulah Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah (Mulkhan, 2010: 109).
Problem Keulamaan
Sayangnya, dewasa ini Muhammadiyah-‘Aisyiyah dinilai kurang produktif dalam melahirkan ulama. Hal ini dikonfirmasi oleh Tri Hastuti, yang mengatakan bahwa di Muhammadiyah memang minim ulama perempuan. Minimnya ulama di tubuh Muhammadiyah-‘Aisyiyah tentu menjadi keprihatinan, mengingat posisi Muhammadiyah-‘Aisyiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan yang mengusung misi Islam Berkemajuan.
Atas kondisi tersebut, menurut Tri, keberadaan PUTM putri maupun ‘Aisyiyah Boarding School cukup membawa angin segar. “PUTM putri menjadi hal bagus untuk melahirkan ulama-ulama perempuan yang berperspektif Islam Wasaṭiyyah dengan nilai-nilai Islam Berkemajuan,” jelas Tri. Oleh karenanya, “nilai-nilai Islam Berkemajuan dan Islam Wasaṭiyyah itu harus menjadi mainstream dalam semua pembelajaran di PUTM,” lanjutnya. (Sirajuddin)
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 1 Januari 2020, hlm. 14-15
Sumber ilustrasi : https://www.kiblat.net/2018/06/12/ini-waktu-yang-disunnahkan-untuk-mengkhatamkan-al-quran/