Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Jika dipetakan, gerakan perempuan meliputi 3 (tiga) cakupan. Pertama, isu kepemimpinan perempuan era pra modern Islam, kolonial, kemerdekaan, pembangunan, dan reformasi. Kedua, peta gerakan perempuan di desa kota pada periode berbeda. Ketiga, tantangan dari bacaan kacamata kritis perempuan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Lies Marcoes selaku peneliti Kajian Islam dan Gender dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 dengan tema “Arsitektur Gerakan Perempuan Berkemajuan”, Kamis (14/4). Kata dia, umat Islam di Indonesia memainkan peran sejarah yang sangat penting.
“Islam Indonesia mempunyai jejak sejarah yang sangat penting dalam kepemimpinan. Tokoh-tokohnya terdiri dari Tajul Alam Syafiatuddin Syah (1664-1675), Nurul Alam Naqiyatuddin- Syah (1975-1978), Inayatsyah Zakiyatuddin-Syah (1678-1688), Kamalat ad-Din Kamalat Syah (1688-1699),” ungkap Lies.
Baca Juga: Seminar Pra-Muktamar VII: Strategi Aisyiyah pada Upaya Pemberdayaan dan Pemajuan Masyarakat
Lebih lanjut, Lies mengatakan bahwa salah satu pelopor kemajuan pendidikan perempuan di era Indonesia modern adalah R.A Kartini. R.A Kartini merupakan tokoh perempuan yang meninggalkan tulisan. Selain itu, terdapat tokoh lainnya, yaitu Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah yang merupakan tokoh pendidikan perempuan, pendiri ‘Aisyiyah.
“Pada masa era kemerdekaan, gerakan perempuan berhubungan dengan gerakan feminis negara jajahan. Berbeda halnya dengan di Eropa dan Amerika, di Indonesia tidak memiliki pengalaman negatif dalam mengambil kesempatan di ruang publik. Perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk merebut kemerdekaan dan mengisinya. Kita harus mengakui itu karena adanya keterhubungan dengan gerakan feminis di dunia internasional,” tuturnya.
Selain itu, Lies menyampaikan bahwa pada era orde lama, organisasi terbelah antara berbagai kepentingan. Pada waktu itu, perempuan harus berhadapan dengan politik, didominasi oleh cara pandang mengenai PKK, dan harus terlibat dalam pembangunan yang harus menyerahkan rahimnya. Kata dia, waktu itu, Muhammadiyah-‘Aisyiyah berani melawan kontrol negara terhadap hak-hak reproduksi perempuan.
“Pencapaian yang telah dilakukan ‘Aisyiyah, yang pertama, organisasi ‘Aisyiyah sudah bekerja dengan sangat keras melakukan upaya-upaya pelatihan, training, pendirian universitas, melakukan perkaderan. Kedua, ‘Aisyiyah beristikamah dalam pendidikan Sekolah Dasar (SD), bertahan dengan program-program untuk pendidikan PAUD, TK, dan sebagainya. Ketiga, ‘Aisyiyah memasukkan isu yang relevan dengan gerakan perempuan,” terang Lies di akhir penyampaian materi. (ditha)