
aktivisme K-Popers (foto: netz.id)
Oleh: Saraswati Nur Diwangkara*
K-Pop (Korean Pop) merupakan sejenis musik populer produk industri hiburan yang tumbuh dan berkembang di Korea dan kemudian mendunia. Para pemujanya menamakan diri mereka K-Popers. Demikian besar dan luasnya K-Pop ini sehingga di dunia maya, terutama media sosial, muncul akun-akun dengan foto profil (avatar) artis K-Pop secara massal.
Banyak orang yang menganggap, pemilik akun-akun tersebut hanyalah para K-Poper yang terlalu fanatik dalam memuja idolanya. Sebagian lagi mengira mereka ini hanyalah remaja usia sekolah yang masih “tak tahu apa-apa”. Namun, ternyata dalam banyak kasus, kekuatan dan militansi K-Popers sering menjadi garda utama dalam mengungkapkan suara rakyat di dunia maya untuk memperjuangkan hak mereka.
Di Indonesia, fenomena serupa itu juga muncul. Hal ini tampak nyata dalam aksi penolakan di dunia maya terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai tidak condong pada kesejahteraan rakyat itu. Kurang dari 24 jam, K-Popers berhasil menunggangi keputusan tersebut dengan tagar-tagar seperti #GagalkanOmnibusLaw, #TolakOmnibusLaw, hingga #MosiTidakPercaya bertengger di puncak trending topic yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia.
Tak sedikit dari mereka turun ke jalan, menolak keputusan pemerintah sambil membawa poster-poster bergambar wajah idola. Media sosial Twitter digunakan sebagai medan aktivisme para pengguna untuk merespons isu-isu sosial politik yang sedang terjadi saat itu.
K-Popers yang sadar bahwa posisi mereka bisa menjadi motor penggerak aktivisme sosio-politik mendistribusikan informasi tak hanya lewat tagar, tetapi juga poster-poster. Suara protes mereka tak hanya menggunakan bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Inggris sehingga dunia luas pun tahu.
Selain di Indonesia, kampanye digital seperti ini juga pernah berhasil dilakukan oleh para K-Popers Amerika untuk menandingi kampanye Donald Trump. Melansir situs berita tirto.id, diberitakan bahwa fans bintang-bintang K-Pop membeli secara massif tiket kampanye mantan presiden USA tersebut, tetapi mereka tidak menghadiri acaranya.
Tak hanya itu, gerakan White Lives Matters sebagai tagar supremasi kulit putih di Amerika berhasil ditenggelamkan oleh K-Popers. Kemudian para K-Popers ini mengembalikan gerakan antirasisme Black Lives Matters yang hendak digusur oleh tagar supremasi kulit putih itu.
Di samping aktivisme digital yang merajalela, secara kolektif kekompakan K-Popers untuk mencapai goal mereka bersama memang begitu luar biasa. Hal ini bisa dilihat saat mereka merespons bencana alam dengan menggalang donasi secara cepat lewat payung perkumpulan penggemar idola tertentu atau fandom. Nama-nama fandom seperti ARMY (julukan untuk penggemar BTS), aktor atau aktris Korea tertentu kerap berseliweran di dunia maya dalam penggalangan dana.
Aktivisme yang Sistemik
Bagaimana fenomena itu bisa terjadi? Menilik pada temuan Ismail Fahmi dari Drone Emprit, tren itu terjadi bukan karena bot atau robot, tetapi cara copy-paste supaya tagar melejit. Percakapannya juga tidak terpusat, tetapi menyebar. Lanjutnya, Drone Emprit mencatat tren perbincangan tentang RUU Cipta Kerja mulai berlangsung sejak 4 Oktober 2021. Pada 4 dan 5 Oktober 2021, kata kunci Omnibus Law, OmnibusLaw, Ciptaker, dan Cipta Kerja mulai jadi perbincangan sejak pukul 18.00 hingga puncaknya pukul 21.00 dengan 56.000 mention. Percakapan lalu perlahan turun ke 45.000 mention, dan seterusnya.
Kelihaian K-Popers untuk menyederhanakan narasi undang-undang yang kerap dianggap terlalu kaku menjadi amunisi utama mereka dalam mengedukasi penggemar lain. Para K-Poper ini umumnya memiliki grup chat di media sosial. Mereka berasal dari seluruh lapisan masyarakat tanpa batasan umur yang jelas serta latar belakang yang bervariasi. Tidak mau terjebak pada berita hoaks, K-Popers cenderung selektif dalam memilih sumber informasi yang akan mereka sebarkan.
Baca Juga: Belajar dari Co-Founder Pahamify: Generasi Muda Indonesia Harus Punya Mindset Bertumbuh
Aktivisime digital untuk mengkritik keadaan politik negara juga pernah dilakukan di Thailand. Ini terjadi ketika seorang aktivis gerakan antimonarki yang vokal menyenggol Pemerintah Thailand ditemukan dalam keadaan telah termutilasi di perbatasan Kamboja dan Thailand. Melalui poster-poster berbahasa Inggris, K-Popers mengerahkan massa untuk menyebarkan berita itu ke seluruh dunia.
Perlu disadari bahwa kekuatan dan militansi K-Popers tidak bisa diremehkan. Namun, kekuatan dan militansi itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi kekuatan itu bisa digunakan untuk kritik sosial dan perjuangan pro keadilan. Di sisi lain kekuatan mereka kerap digunakan untuk melakukan perundungan terhadap person atau pihak-pihak lain yang tidak mereka setujui.
Salah satu target perundungan itu adalah seorang jurnalis independen bernama Raphael Rashid. Lewat cuitannya di Twitter, Raphael mengungkapkan bahwa dirinya mendapat ancaman pembunuhan serta kalimat-kalimat rasisme (mengingat ia keturunan Timur Tengah) setelah menuliskan pandangannya tentang grup-grup pemuja idola. Rupanya pandangan itu tidak disukai oleh K-Popers.
K-Popers memang bukanlah kumpulan orang apolitis yang tak peduli negara. Mereka bisa secara sadar memanfaatkan kekuatan mereka untuk kemaslahatan bersama, tetapi tak menutup kemungkinan sekadar untuk membela kepentingan kelompok mereka saja.
*Seorang podcaster di K-ulture! dan penulis lepas